Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Ruang Publik dan Ruang Seolah-olah Publik: Tantangan Pengetahuan

30 September 2015   11:43 Diperbarui: 1 Oktober 2015   14:45 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kawasan Kilometer Nol di Yogyakarta. Di kawasan ini berbagai macam komunitas berbaur dengan individu-individu. Pementasan ini dilakukan oleh komunitas difabel (berkebutuhan khusus). Foto: Ratih Purnamasari"][/caption]Istilah Pops (Privately Owned Public Spaces) ini pertama kali saya temukan di laman The Guardian Cities ditulis oleh Bradley L Garret (peneliti dari University of Southampton). Garret, seorang akademisi di bidang geografi perkotaan melihat ada perbedaan mencolok ketika mencari ruang publik di kota Los Angeles dan Phnom Penh, Kamboja. Saat berada di Los Angeles, Garret bertanya ke salah seorang kerabatnya yang bahasa Indonesianya kira-kira begini “Di mana kita bisa temukan ruang publik di LA?” dan secara mengejutkan, temannya menjawab, “Apa, untuk kamu beli?”

Respon ini dinilai agak sarkastis oleh Garret. Namun kemudian rekan Los Angeles-nya itu menunjukkan artikel yang berisikan informasi tentang bagaimana kota bisnis itu tengah menjual “tanah beton”-nya lalu kepada sistem privat untuk berbagai kegiatan usaha, meskipun semuanya nampak terbuka bagi publik.

Pengalaman cukup berbeda dirasakannya ketika berada di Kota Phnom Penh. Di sebuah stadion Nasional Phnom Penh ia mengamati kegiatan orang-orang. Stadium Nasional Phnom Penh dilihatnya lebih hidup karena ada ribuan orang di dalamnya, beraktivitas dan bebas. Ada berbagai macam lapisan masyarakat berbaur untuk berolahraga, menjajakan makanan makanan, bermain dengan anak-anak kecil, atau sekadar berjemur di bawah matahari pagi. Bagian penting yang ditekankan Garret soal Stadium Phnom Penh adalah bahwa di tempat yang di satu sisi tidak terawat itu, semua orang bebas beraktivitas, bergerak tanpa dikontrol, tidak diatur/monitor ruang geraknya oleh cctv dan satpam, serta melibatkan hampir semua jenis lapisan masyarakat untuk terlibat bebas di dalamnya.

Di Indonesia, fenomena Ruang seolah-olah Publik padahal dimiliki Privat (Pops) mungkinlah masih “barang” baru.

David Harvey, pakar Geografi dan Antropologi dari University of New York menjelaskan bahwa Pops berwujud ruang terbuka, kebun kota dan atau taman yang memang terlihat seperti ruang publik, padahal nyatanya tidak. Ruang-ruang seperti ini terbuka bagi banyak orang, tetapi terbatas pada kalangan tertentu menurut pengertian sang pengelola. “Walupun masalah/isu ini menjadi pembahasan ilmiah sembari kita makan siang di bangku taman privat, kenyataannya konsep Pops memengaruhi seluruh penilaian secara personal dan kita tidak bisa mencegahnya,” tulis Harvey dalam laporannya.

Ya, kita mungkin pernah ingin memotret tempat yang kelihatannya sebagai ruang publik tapi ternyata harus berurusan dengan satpam yang berjaga di sekitar area tersebut. Dari pengalaman Garret kita bisa bertanya-bertanya, mengingat-ingat kembali, apakah ruang publik di kota kita sudah menjadi ruang publik sebagaimana mestinya atau ternyata itu hanya ruang yang berisi sekelompok orang dengan gerak dan aktivitas terbatas karena desainnya cenderung kaku?

Ruang Publik Sepengetahuan Kita

Di Indonesia, desain pengembangan ruang publik yang nampak sangat tertata. Di banyak kota, pemerintah-pemerintah daerah setempat berlomba membangun ruang-ruang interaksi publik mengikuti “tren positif” beberapa kota pendahulu yang berhasil, semisal Bandung, Surabaya, dan Malang. Ruang bersih dan teratur biasanya di bangun dalam satu kawasan kota mandiri (kota satelit). Disana tempat-tempat seperti ini memang terlihat ramai, menarik perhatian banyak kepentingan kembali berbaur di atas rumput di antara gedung-gedung beton nan menjulang tinggi.

Tetapi apakah tempat ini benar-benar bisa digunakan oleh semua orang? Persoalannya, bagian mana kita menyebut fasilitas ini sebagai ruang publik? Bagaimana kita membedakan bahwa, katakan saja, saat berada di sebuah taman di bawah jalan layang, dengan stiker reklame sebuah perusahaan telekomunikasi terpampang di bangku-bangkunya, atau melingkupi atap-atapnya, atau di prasasti peresmiannya, apakah itu masih tetap disebut ruang publik? Ataukah justru ruang seolah-olah publik (Pops)?

Yogyakarta yang dikenal sebagai kota paling atraktif memang masih beruntung karena memiliki ruang publik seperti Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan, kilometer nol dan kawasan Grha Sabha Pramana UGM. Setidaknya saya masih bisa merasakan dinamika, kebersamaan, keberagaman ketika berada di tiga tempat itu. Khusus di Grha Sabha Pramana, setiap sore hari kawasan ini selalu ramai didatangi anak-anak sekolah tingkat SMA untuk kegiatan ekstrakurikuler hingga rapat kelompok. Selain itu, GSP juga cukup ramah untuk hewan peliharaan. Orang-orang muda trendi sampai sosialita ramai-ramai dog-walking sembari menikmati keramaian jauh dari polusi pekat. Keriuhan bercampur-campur seperti ini mulai sulit ditemukan sejak Yogyakarta diserbu pembangunan hotel dan apartemen di blok-blok kota.

[caption caption="Kawasan Graha Sabha Pramana UGM, sore hari kawasan ini selalu diramaikan lapisan sosial masyarakat. Foto: Ratih Purnamasari"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun