Karung-karung cabe itu sudah mulai penuh, dan Ibu Wati masih semangat bercerita tentang anak laki-laki satu-satunya yang ia harap bisa berhasil di kemudian hari.
“Mudah-mudahan ya Nduk, anak saya bisa sekolah yang benar, di sekolah bisa pintar, biar tidak kayak bapak sama ibunya”.Ibu Wati benar-benar berharap anaknya bisa membanggakan kedua orang tuanya.
Baik Ibu Wati dan Suaminya, belum tahu jika sebentar lagi rencana pembebasan lahan untuk pembangunan bandara baru desa Glagah segera dilaksanakan akhir tahun ini.
“Tahun ini pembebasan lahannya sudah mulai dilaksanakan ya dek?”, waduh saya baru tahu berita itu. Soalnya warga belum pernah diajak sosialisasi atau ngbrol-ngbrol soal bandara dek”.
Saya dan teman akhirnya menjelaskan jika kabar ini kami dapatkan dari berita media online yang hendak kami konfirmasi kebenarannya. Ternyata informasi soal pembebasan lahan ini memang belum diketahui oleh warga Glagah (Temon, Kulon Progo) khususnya ibu Wati.
Menurut ibu Wati dirinya siap jika harus berpindah ke lokasi lain untuk berkebun cabe, karena ibu Wati masih punya lahan baru yang terletak di bagian utara desa Glagah. Namun bagaimana dengan warga lain?. Hal ini belum terjawab hingga akhirnya kami bertemu dengan pejabat desa di Glagah.
“Sebenarnya kami tidak ingin berbicara banyak dulu, bukan berarti tidak ingin membantu adik. Hanya saja sebagai tuan rumah kami tidak suka jika ada yang memanfaatkan rencana pembangunan bandara untuk membuat warga saling berselisih paham untuk tujuan tersembunyi”.Tutur salah satu pejabat desa Glagah.
Menurut salah satu pejabat desa Glagah, sampai saat ini memang belum ada komunikasi antara pihak Angkasa Pura dengan warga Temon, sehingga kejelasan soal pembebasan lahan dan pembangunan bandara masih simpang siur.
Beliau menyesalkan adanya pihak-pihak yang memperkeruh suasana dengan memanfaatkan perpecahan pendapat diantara warga untuk kepentingannya sendiri.
“Adek lihat sendiri, di halaman rumah warga sini banyak terpasang atirbut penolakan di setiap rumah warga. Itu yang memang berani menunjukkan penolakannya, tapi kita tidak tahu, sebenarnya ada yang justri mendukung tapi tidak ingin bermasalah dengan yang berbeda pendapat jadi memilih diam”.
Memang benar sepanjang perjalanan kami mengitari jalan-jalan di desa Glagah, hampir setiap rumah yang kami lewati memasang papan pemberitahuan penolakan rencana pembangunan bandara. bergeser ke arah barat, keadaan justru berbalik, di daerah ini justru memasang atribut yang bisa ditangkap jika warga di sisi barat Glagah lebih proaktif menaggapi rencana pembangunan bandara.
“Pada dasarnya tidak ada yang ingin kehidupannya itu terganggu, dan kami khawatir pembangunan bandara akan mengganggu cara hidup kami sehari-hari. Sebelum ada rencana pembangunan bandara, hubungan sosial warga Glagah berlangsung normal, namun beberapa tahun ini, kami lebih berhati-hati”.Tutur pak Edi yang juga adik ibu Wati.
Saat ditanya apakah Pak Edi dan Bu Wati mendukung pembangunan bandara, mereka tersenyum sembari menjawab dengan jawaban normatif. Namun bukan masalah setuju atau tidak setuju yang mereka persoalkan. Kekhawatiran Pak Edi dan Ibu Wati lebih dititik beratkan pada dampak yang timbul setelah pembangunan bandara.
Masalah kebisingan, air bersih, irigasi pertanian dan perubahan alih fungsi lahan di sekitar kawasan bandara akan mengejutkan mereka yang terbiasa hidup dalam suasana tenang, sehari-hari hanya bertani, menggunakan sepeda. Tiba-tiba lalu lintas sekitar desa mereka semakin padat, bangunan baru berjajar, gaya individu semakin di tonjolkan.
Perubahan sosial dan lingkungan tidak dapat dipandang sepele, karena perubahan ini akan bersinggungan dengan nilai-nilai sosial yang sudah berjalan selama bertahun-tahun. Jika pendekatan yang dilakukan oleh Angkasa Pura dan pemerintah sebatas “take and give”itu sama saja mendahului cara-cara santun yang lebih dipahami masyarakat desa yakni bermusyawarah, duduk sama rata, dan rembuk desa.
Pengalaman serupa terkait penolakan warga Kronggahan terhadap pembangunan Real Estate oleh pengembang besar di daerah Mlati, bertumpu pada masalah komunikasi. Padahal penolakan ini bisa dihindari, seandainya kesantunan dan cara komunikasi yang digunakan pihak pengembang lebih memasyarakat.
Komunikasi yang dibangun dengan warga Glagah akan membuka jalan bagi pemerintah dan Angkasa Pura untuk mendalami masalah dasar penolakan rencana bandara ini. Masalah kebisingan, irigasi, dan perubahan fungsi lahan perlu dibahas lebih mendalam. Misalnya bagaimana menghindari dampak kebisingan di kawasan bandara, bagaimana menjaga kondisi sawah irigasi dan dampak pembangunan fasilitas jasa seperti hotel yang turut mengeruk sumber daya di sekitar tempat tinggal warga Glagah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H