[caption id="" align="alignnone" width="614" caption="sumber: http://nextcity.org/"][/caption] Musik adalah seni, secara umum akan dijabarkan demikian, dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya adalah pelaku seni. Setiap hari kita mendengarkan musik, baik dari ponsel pribadi, radio di kamar, musik di mal, atau musik di pusat perbelanjaan lainnya. Ketika menggunakan transportasi umum seperti bus, kita akan menemukan beberapa pengamen yang memainkan sepotong lagu untuk menghasilkan uang, begitu juga dengan pengamen yang mangkal di warung lesehan, tujuannya untuk menghasilkan uang. Lantas bagaimana dengan pemutaran musik untuk kepentingan bisnis terutama di tempat umum? Suatu ketika, saat mencari makan siang di daerah Nologaten (Sleman) saya dikejutkan dengan suara musik yang berasal dari salah satu outlet/toko pakaian yang berhadapan dengan warung makan yang saya tuju. Dentuman suara bas yang begitu kencang membuat saya tidak betah berlama-lama di tempat makan. Saya sempat dibuat kesal kemudian bertanya-tanya. Apakah warga setempat atau tempat usaha lain tidak ada yang merasa terganggu dengan dentuman musik dari outlet tersebut? Secara tidak sengaja, beberapa warung makan yang saya kunjungi di daerah kampus UGM umumnya memasang/menempel kertas berisi informasi surat izin gangguan, di bawahnya dibubuhi tanda tangan ketua RT. Mungkin karena warung makan tersebut berada dalam kompleks pemukiman warga, sehingga masih bisa terkontrol. Kondisi ini berbeda jauh dengan yang terdapat di daerah Nologaten dan Babarsari, izin gangguan kebisingan itu nampaknya tidak begitu berpengaruh meredam kencangnya dentuman musik dari bangunan hiburan malam. Beruntung lingkungan tempat tinggal saya masih dihuni oleh mayoritas penduduk asli Jogja, belum bercampur dengan kegiatan lain non pemukiman. Saya membayangkan bagaimana bisingnya suatu lingkungan ketika orang-orang tinggal dalam satu kawasan dan berbaur dengan beberapa macam fungsi kegiatan seperti, kos-kosan, tempat praktik kesehatan, kafe, toko dsb. Lingkungan padat dan beragam fungsi seperti ini tidak hanya menimbulkan kebisingan suara, masalah parkir dan sampah tentu akan jadi masalah baru. Mengatasi masalah di atas kemudian coba diatur dalam peraturan zonasi atau yang dikenal dengan istilah Zoning Regulation. Merupakan turunan rencana dari Rencana Detail Tata Ruang Kota. Sebenarnya peraturan zonasi ini bertujuan untuk mengatur fungsi masing-masing kawasan berdasarkan zonasi peruntukannya. Misalnya jika menjadi kawasan permukiman, maka fungsi kegiatan lain selain pemukiman akan dibatasi. Namun hal tersebut masih terkendala pelaksanaannya, karena regulasi untuk menekan berjamurnya usaha-usaha rumahan belum seketat izin membuka usaha skala menengah ke atas. Umumnya usaha jasa dan komersil skala menengah ke atas menyediakan tempat dan lokasi sendiri, misalnya di ruko. Sedangkan usaha kelas rumah tangga, seperti membuka warung lalapan, menjual gorengan, atau menjual jus di halaman depan rumah, membuka tempat praktik kesehatan, studio musik, hotel/penginapan terselubung konsep kos-kosan siapa yang bisa menertibkannya? Saya juga masih berkutat dengan kebuntuan tersebut, khususnya mengenai masalah tata ruang. Mengapa begitu sistematisnya rencana tata ruang mengatur fungsi kawasan namun dalam pelaksanaannya ternyata masih terdapat banyak pelanggaran. Jawaban salah satu pejabat daerah di kota ini semakin menambah kebuntuan saya. Soal ini dijawab beliau dengan pernyataan berikut “bahwa rencana tata ruang tidak mudah diimplementasikan karena peraturan tata ruang mengatur kepentingan publik di atas kepentingan privat”. Selamat berdiskusi :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H