Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kompetisi Tiga Ruang di Pantai-Pantai Bantul

18 September 2014   20:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:18 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14110196951374224556

[caption id="attachment_359828" align="aligncenter" width="595" caption="(Di tengah terik matahari siang itu, seorang Bapak sedang berjalan di bibir pantai Parangtritis dengan membawa bambu di belakangnya) Foto: Ratih Puranamasari"][/caption]

Tidak seperti Pantai Depok dan Parangtritis, Pantai Parangkusumo nampak lengang siang itu. Padahal jika dibandingkan dengan Depok dan Parangtritis yang selalu diramaikan pengunjung, Parangkusumo justru seperti pantai yang tenang, diam, kadang hanya beberapa orang yang terlihat di sekitar pantai ini.

Satu penelitian mengenai Tata Ruang  Lokal yang terbangun di Kawasan Parangtritis telah menjelaskan bagaimana posisi Parangkusumo yang diapit oleh dua pantai, Depok dan Parangtritis. Merunut sejarah, sekitar tahun 1949 orang-orang dari luar Parangkusumo ikut berdatangan di pantai ini, termasuk (maaf) PSK (Pekerja Seks Komersial).

Kawasan Parangkusumo sebagai ruang spiritual bagi penduduk sekitar bahkan penduduk dari luar Pulau Jawa. Cepuri Parangkusumo menjadi ruang ritual yang mendatangkan keuntungan bagi pengunjung dan juga PSK. Konon kabarnya, PSK ini menguasai halaman dalam benteng Cepuri Parangkusumo pada malam Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon.

“Tidak hanya penduduk sekitar Bantul saja Mbak yang datang ke tempat ini, sampai Jawa Timur pun ada yang ingin berziarah dan melakukan upacara ritual setiap malam Selasa dan Jum’at,” tutur Nutriningsih (39) yang kami temui di Pantai Prangtritis.

Nutriningsih sendiri sehari-hari berjualan baju di Pantai Parangtritis. Ketika teman saya mencoba mengulik informasi lebih jauh tentang Parangkusumo, Nutriningsih nampak tidak ingin terlibat pembicaraan yang terlalu jauh. Barangkali sesama pedagang, atau apa pun profesinya hubungan antara pelaku ekonomi di ketiga pantai ini saling menguatkan, sekalipun kompetisi ruang ekonominya sangat mencolok.

Perjalanan saya lanjutkan ke Parangkusumo, tatapan mata penuh curiga diarahkan pada saya waktu itu. Mungkin kehadiran saya di warung makan seorang pedagang wanita siang itu dianggap tidak benar-benar ingin makan. Baru saja saya memulai menanyakan hal remeh-temeh sebagai basa-basi perkenalan, oleh wanita itu saya disarankan menemui kepala dukuh saja.

Penjelasan itu akhirnya saya dapatkan dari seorang perangkat desa (tidak saya sebutkan namanya), mengungkapkan keadaan di Parangkusumo. Parangkusumo sudah berhenti beroperasi seperti biasa, tidak ada lagi kegiatan malam, sekarang pedagang dan PSK tidak melakukan aktivitasnya seperti biasa.

Menurutnya, kehadiran PSK di kawasan wisata Parangkusumo tidak dianggap hal tabu atau menjadi pertentangan sosial, justru dianggap bagian dari pelaku ekonomi dan mendapat tempat dalam aktivitas ekonomi. Tapi ada pengecualian apabila pedagang di Parangkusumo tidak peduli dengan syarat tinggal di Dukuh Grogol (Parangkusumo).

“Kalau ada ribut-ribut kami tidak mau ngurusi, kan ndak pernah melapor di dukuh. Jadi kami tidak perlu tanggung jawab sama mereka, cukup dilaporkan ke polsek dekat sini kalau ada yang ribut-ribut.”

Kompetisi ruang ekonomi terlihat sangat jelas mencolok di ketiga pantai eksotik ini. Entah apa penyebab jelasnya, Parangkusumo memiliki konsep tersirat mengenai aktivitas “ekonomi” apa saja yang berlaku di sana. Dinamika daya tarik wisata seringkali dihubungkan pada jasa “seks” yang dinilai lebih menjual ketimbang konsep ekonomi yang dicanangkan pemerintah.

Kompetisi ruang yang terjadi di ketiga pantai ini bisa digolongkan dalam tiga bagian, kompetisi ekonomi, kompetisi ruang publik dan kompetisi ruang spiritual. Ketiga pantai ini punya cara menonjolkan kekahasannya masing-masing yang mengenalkan pola tata ruang dan tata sosial. Tata ruang berkaitan dengan tata ekonomi, dan ekonomi ini membentuk tata sosial di dalam kawasan tersebut.

Saya berfikir ala kadarnya waktu itu dengan menanyakan soal perbedaan kegiatan ekonomi antara Parangtritis, Depok dan Parangkusumo. Mengapa tidak mengajak pedagang di Parangkusumo berdagang seperti pedagang di pantai Depok? Narsum saya nampaknya agak bosan menjawab pertanyaan ala mahasiswa seperti saya. Memahami sepenuhnya jika apa yang saya lihat mungkin tidak sesederhana apa yang mereka pikirkan.

Adapun masa depan Pantai Parangkusumo dari segi pariwisata mungkin tidak seperti Parangtritis dan Depok. Keberadaan Cepuri Parangkusumo tetap menjadi daya tarik di Pantai Parangkusumo. Informasi dari Nutriningsih yang berdagang di Parangtritis pun mengeluhkan tentang masa depan Parangtritis yang tidak berjaya seperti lima tahun silam.

Masalah nasional seperti pengeboman Bali rupanya berdampak juga di Parangtritis, dengan berkurangnya jumlah wisatawan mancanegara. Sedangkan Pantai Depok masih bertahan dengan wisatawan lokal yang mengejar candu kuliner khas lautnya. Hanya saja kini pedagang di Parangkusumo juga menerka-nerka nasib menyusul pelarangan aktivitas PSK di sekitar kawasan tersebut. Tetap tenang seperti biasa atau tenang dengan cara mereka sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun