www.fantom-xp.com
Mengenal Indonesia?, sejauh mana saya mengenali negeri ini?. Pertanyaan itu sering muncul dalam kepala saya ketika menyaksikan kesuksesan negara lain dalam berbagai event internasional, seperti olahraga, seni dan budaya. Tentang seni dan budaya? apa kurangnya Indonesia? beragam suku, bahasa dan adat istiadat apakah tidak cukup semua itu untuk membuat Saya mencintai Indonesia?.
Cinta Indonesia, maaf saya belum ada di tahapan ini. Saya malu mengakui keadaan ini. Saat orang lain telah banyak berbuat untuk negara ini, tidak peduli sekecil dan sebesar apapun yang mereka lakukan, saya justru bersedih. Apa gunanya pendidikan saya selama ini, saya hidup di negara yang telah menjamin kelahiran dan kematian saya, tapi apa yang bisa saya berikan?
Setiap hari saya mengutuki masalah politik yang menjijikkan, menjemukan, dan memuakkan yang muncul di berbagai media elektronik. Setiap hari saya berjumpa dengan kemacetan, gerakan massal seolah menunjukkan semuanya berlomba menyambut kedatangan pertumbuhan ekonomi dengan hadirnya mobil-mobil murah.
Sementara di negara lain yang kotanya sangat maju, mobil kini mulai ditinggalkan. Saya juga terkejut melihat remaja belia yang seperti tak diajarkan bagaimana tenggang rasa, apalagi di ruang publik. Inikah wajah anak-anak Indonesia? rekan-rekanku di masa depan?
Saya juga muak melihat aksi anarkis yang sering ditampilkan para ormas agama di negara ini. Mengapa di negara mayoritas selalu mendengki dan membenci minoritas?. Mayoritas menduduki kekuasaan, siapa yang mayoritas mereka yang berkuasa, yang berkuasa berhak atas pilihan minoritas. Jika menolak, bersiaplah ditembaki, dilempari, dikucilkan, dianggap racun masyarakat. Mengapa hingga hari ini ubun-ubun kita masih ditarik-tarik atas persoalan mayor dan minor?
Ada apa dengan negara ini? Saya pun iseng bertanya ngalor ngidul pada teman. “Apakah Tuhan hanya mengurusi nasib orang per orang saja?” “Apakah Tuhan juga mengurusi nasib sebuah negara”? Apakah kekacauan dan keterlambatan peradaban di negara ini harus kita terima sebagai nasib”?. Oh ternyata pada akhirnya saya kadang menyesali mengapa terlahir di negara ini.
Saya sedih, geram saat menyaksikan banyak orang hebat negara ini yang akhirnya bisu. Bisu dinegara sendiri tapi berkarya di negara lain. Saya ingin mengikuti mereka, ingin pergi dan bergumul dengan lautan manusia yang serba acuh namun hidup dalam keteraturan, dan peradaban. Negara mereka dijuluki kafir, atheis tapi toh cerminan rasa saling menghargai dan tenggang rasa justru lahir di negara kafir ini.
Perasaaan rindu, bangga dengan Indonesia akhirnya terobati saat saya menyaksikan Tari Kecak Bali. Oh Tuhan, tangan saya menggigil, dan jantung saya berdegup. Belum pernah saya menyaksikan pemetasan budaya semegah ini. Tari Kecak yang saya saksikan membuat saya menyesali perasaaan acuh saya pada bangsa ini. Sesederhana itu? entahlah bagi saya budaya menjadi pengikat yang kuat untuk membangun jalinan mesra antara saya dan Indonesia.
Jalinan mesra ini akan semakin kuat jika tidak ada pihak ketiga seperti politik membabi buta yang menarik kami. Jika saya bisa memilih, saya ingin hidup di negara yang berbudaya saja, dimana tidak ada racun korupsi, racun politik, kekerasan oleh mayoritas. Racun-racun ini sudah meracuni diri dan pikiran saya untuk mengenali Indonesia, karena pikiran dan energi disedot oleh racun tersebut.
Sekarang saya ingin mencari penawar, saya ingin berbagi lewat uraian kata yang tidak sehebat Andrea Hirata atau Paulo Coelho. Saya hanya seorang Ratih, mencoba menemukan ruang di Kolom Kompasiana. Menuliskan apa yang saya rasakan, amati. Saya akan bercerita banyak soal kota, karena di ruang inilah drama manusia bermunculan, saling menyikut, saling berbagi dan saling menghancurkan. Apakah ini nasib baik atau bukan, saya siap dan menerimanya, kita akan bertanding dengan drama itu dalam sebuah tulisan. Tulisan untuk kota, untuk Indonesia.