Biasanya desa identik dengan potensi alam yang dikelola menjadi sebuah paket wisata. Namun ada yang berbeda dengan Desa Sukunan di Kecamatan Gamping, Kab. Sleman (Yogyakarta). Desa Sukunan menjadi desa wisata berkat sampah.
Sampah hingga saat ini nyatanya masih menjadi persoalan pelik khususnya di kota besar. Menjamurnya usaha waralaba seperti minimarket semakin menambah beban sampah, khususnya plastik. Namun sampah plastik ini rupanya mampu dikelola secara swadaya oleh masyarakat Desa Sukunan sehingga menjadi barang yang bermutu kembali.
Warga Sukunan tidak hanya mengelola sampah plastik menjadi barang kerajinan tangan saja. Warga di Sukunan juga mengembangkan pengelolaan sampah untuk dijadikan pupuk kompos. Peralatan seperti komposter buatan juga dibuat sendiri di Desa Sukunan.
Desa Sukunan juga memiliki bangunan khusus untuk memilah sampah. Bangunan ini dipisah menjadi 2-3 sekat, masing-masing sekat terdiri dari sampah yang berbeda komponennya. Pemisahan ini mudah dilakukan karena warga telah memiliki tiga jenis wadah sampah di kediaman masing-masing.
[caption id="attachment_355245" align="aligncenter" width="533" caption="Bangunan yang digunakan warga Sukunan untuk mengumpulkan sampah plastik"]
Sampah ini ada yang diangkut langsung oleh mobil pengangkut sampah, dan ada yang dikelola warga untuk membuat pupuk kompos. Keberhasilan warga Sukunan mengelola sampah ini ternyata mampu mengundang banyak kunjungan.
Biasanya yang berkunjung dari lembaga sosial, perangkat desa dan mahasiswa. Biasanya perangkat desa yang berkunjung ke Sukunan ingin belajar dan melihat langsung pengelolaan sampah tersebut, kemudian mencoba diterapkan di desanya. Bagi pengunjung yang ingin merasakan langsung kehidupan sehari-hari di Desa Sukunan juga bisa menikmati paket wisata tersebut.
Namun dari hasil obrolan singkat saya ke salah satu perangkat desa tersebut mengatakan bahwa konsep pengelolaan sampah di Sukunan belum tentu bisa sama berhasilnya jika diterapkan di desanya. Biasanya warga perlu bukti terlebih dahulu baru bergerak.
Pemberdayaan masyarakat terkadang mengalami kendala pada tahapan keberlanjutan program. Kondisi ini saya alami ketika mengikuti kuliah kerja lapang, desa tempat saya melaksanakan KKL juga memiliki tingkat partisipasi warga yang rendah untuk pembangunan desa.
Umumnya sebagian besar mengandalkan kegiatan di sektor pertanian untuk meningkatkan pendapatan. Sehingga pengembangan inovasi pembangunan desa yang kesannya muluk-muluk tidak bertahan lama.
Hal yang sama terjadi ketika, saya mencoba mencari desa yang memiliki pabrik pengolahan tempe di daerah Cangkringan (Sleman). Informasi yang saya peroleh bahwa pabrik pembuatan tempe tersebut dijalankan oleh warga setempat. Ketika hendak melihat langsung pabrik tersebut, saya diberi tahu salah satu penduduk di Desa Kuwang bahwa programnya belum berjalan maksimal.
Hari itu saya belum sempat berbicara langsung dengan pengelola sampah di Desa Sukunan mengenai keberlangsungan program mereka. Tentu sangat menarik kita ketahui mengenai proses yang dimulai sejak awal untuk menarik minat masyarakat Sukunan menjadikan Desa Sukunan sebagai desa mandiri dalam pengelolaan sampah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H