Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Adat untuk Unilever

24 Desember 2014   06:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:35 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_385461" align="alignnone" width="551" caption="Atas: Kondisi dapur dan penerangan salah satu warga suku Kajang. Bawah: sumur dan sumber air di kawasan adat Kajang. Sumber:Supriadi Takwim,2013"][/caption]

Sebelum mengakhiri mata kuliah kala itu, dosen saya memaparkan perihal gagalnya proyek pembangunan rumah layak bagi warga di salah satu distrik Papua. Sebelumnya warga Papua yang berada di distrik tersebut tinggal di dalam hanoi. Proyek ini ternyata gagal, warga Papua tidak menempati rumah yang dibuat oleh konsultan tersebut, mereka kembali ke hanoi dan tinggal seperti sebelumnya.

Saya lalu tertarik dengan isu pembangunan infrastruktur jalan yang ada di kawasan adat Suku Kajang. Kawasan suku Kajang berada di Kecamatan Kajang, kabupaten Bulukumba, waktu tempuhnya dari kota Makassar kira-kira 4-5 jam. Kegagalan proyek pembangunan rumah bagi warga Papua ini hampir sama dengan yang terjadi di masyarakat adat Suku Kajang.

Suku Kajang menolak moderinitas dan segala bentuk-bentuk kegiatan yang bertujuan merubah kebiasaan, atau menghadirkan benda-benda baru yang asing di kehidupan mereka. Penjelasan seperti ini yang sudah sering saya dengar sejak kecil, dan sedikit cerita mistis lain yang ada di kawasan adat ini. Melalui teman yang melakukan penelitian di kawasan Suku Kajang (Supriadi Takwim,2013), saya memperoleh pengetahuan baru, lebih dari sekadar cerita mistis yang beredar, serta alasan masyarakat suku Kajang menolak perbaikan jalan dan pemasangan jaringan listrik di desa mereka.

Ajaran Kamase-mase

Jujur, untuk membahas tentang ajaran Kamase-mase suku Kajang ini tidak akan selesai hanya dalam 3-4 lembar tulisan saja. Saya merasa tidak memiliki kapasitas untuk “menguliti” ajaran suku Kajang hingga tuntas. Apa yang saya bagi dalam artikel ini hanya sekelumit saja.

Ajaran Kamase-mase mencakup seluruh sisi-sisi kehidupan suku Kajang seperti ajaran mengekang hawa nafsu (dunia), mengutamakan kejujuran dan tidak merugikan orang lain. Ini yang menjadi alasan mengapa masyarakat adat Kajang menolak teknologi modern seperti listrik atau telepon. Bagi masyarakat adat, keselarasan dan keseimbangan alam harus terus terjaga. Benda-benda canggih dan modern dianggap tidak sesuai dengan ajaran leluhur masyarakat Kajang.

Dalam melestarikan kekayaan alam seperti hutan adat, masyarakat Kajang menjalankan ajaran Pasang. Ajaran Pasang ini mengatur masyarakat Kajang dalam memanfaatkan sumber daya alam, dengan membagi zona-zona kawasan dengan fungsinya masing-masing.

Pembagian zonasi ini yang menurut saya sangat mengagumkan dari suku Kajang. Mereka tanpa belajar teori tata ruang, dimana saya sendiri perlu bertahun-tahun mempelajarinya, ternyata mereka sudah memahami ilmu tata ruang itu lebih dulu. Berikut bunyi ajaran Pasang yang saya kutip dari penelitian Supriadi Takwim (2013:58)

Talakullei nisambei kajua,

Iyato’ minjo kaju timboa.

Talakullei nitambai nanikurangi borong karamaka.

Kasipalli tauwa a’lamung-lamung ri boronga,

Nasaba’ se’re wattu la rie’ tau angngakui bate lamunna

Artinya:

Tidak bisa diganti kayunya,

Yaitu kayu yang tumbuh.

Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu.

Orang dilarang menanam di dalam hutan

Sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.



Bagaimana masyarakat suku Kajang mengelola mata air?

Rasanya terkesan berjarak jika kita padankan antara masyarakat adat dan istilah sanitasi. Padahal untuk infrastruktur jalan saja mereka menolaknya, lalu apakah masyarakat adat mengalami masalah dengan kesehatan mereka karena persoalan sanitasi?

Suku Kajang sangat hati-hati dalam memanfaatkan sumber daya air terutama dalam proses penggalian sumur. Ada batasan kedalaman untuk penggalian sumur di kawasan ini bahkan ada etika dalam proses penggalian sumur.

Seperti pada ajaran Pasang yang berbunyi “Jangan ada yang merubuhkan tanah ke bawah (menggali), karena kegiatan (penggalian) itu akan merusak tanah.” Jika kita coba memahami maksudnya, bahwa Suku Kajang melihat alam sebagai bagian dari kehidupan mereka, jika merusak alam, berarti lingkungan sebagai sumber kehidupan mereka juga akan rusak.

Menjaga mata air, dengan tidak mencemari sumber mata air bertujuan agar tanah pertanian mereka tetap subur. Hutan dijaga agar sungai dan air bawah tanah terus tersedia, ini akan menyuburkan tanaman mereka di kebun. Sampah dedaunan tidak dibakar, justru dibiarkan membusuk bersama tanah yang akan menjadi pupuk alami bagi tanaman mereka.

Saran untuk Unilever

[caption id="attachment_385463" align="alignnone" width="600" caption="Gambar 2: Komitmen dan program Unilever dalam bidang lingkungan"]

1419351537741491275
1419351537741491275
[/caption]

Gambar 2  salah satu brosur yang saya ambil saat acara Kompasianival berisi kegiatan Unilever dan targetnya dalam mengurangi dampak lingkungan. Sasarannya adalah mengurangi masalah pemanasan global, air, dan limbah yang dihasilkan dari limbah produk Unilever. Media kampanye seperti ini sangat bagus, agar publik tahu bentuk tanggung jawab Unilever pada lingkungan dan sebesar apa komitmennya.

Saran sebagai konsumen yang sebagian besar produknya saya gunakan adalah mari belajar dari adat, terutama dari cara mereka hidup. Unilever bisa melakukan kajian atau eksplorasi mendalam di kawasan adat yang ada di Indonesia, dari sini jika ada yang bermanfaat, tentu akan bermanfaat dalam komitmen Unilever mengurangi beban lingkungan dari produk-produknya.

Nilai-nilai adat adalah aturan yang tidak tertulis, masyarakat adat belajar menjaga keseimbangan dengan alam. Mereka tidak membatasi diri dengan perlindungan anti kuman, karena mereka mengenal apa yang  dimasukkan ke dalam tubuhnya. Bukankah ini sesuatu yang menarik ketika kita menyerahkan semuanya pada teknologi untuk menyelesaikan masalah lingkungan, namun di tempat lain ada masyarakat adat yang mempelajarinya justru dari alam.

***

Supriadi Takwim, 2013. Kearifan Lokal Suku Kajang Dalam Penataan Ruang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun