Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemungkina Adanya Isu Publik yang Menyertai Childfree

15 Februari 2023   22:41 Diperbarui: 15 Februari 2023   22:45 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Childfree (https://www.tribunnewswiki.com/)

Beberapa waktu yang lalu media sosial kembali dihebohkan dengan trending di Twitter terkait komentar Youtuber Gita Savitri soal Childfree. Saya sendiri tidak menyoroti pro dan kontra atas pilihan terhadap memilih Childfree atau tidak mendukung Childfree. Namun perdebatan yang bergulir tersebut pada akhirnya membuat beberapa tokoh publik ikut berkomentar, bahkan tokoh wanita yang selama ini menyoroti situasi perpolitikan di Indonesia juga ikutan berkomentar soal Childfree. Lantas dimana letak kesimpangsiuran maksud dan pesan terhadap Childfree yang selama ini cenderung dilontarkan oleh Gita Savitri?

Ok, Anda memilih atau tidak memilih Childfree, So what?

Terlepas dari pilihan individu dengan individu lainnya soal Childfree, saya melihat ada pesan atau konteks yang sudah bergeser dari perdebatan liar di media sosial. Saya atau Gita Savitri atau individu lainnya yang mendukung Childfree melihat pemikiran ini urusan yang sangat domestik atau personal. Lucunya, komentar yang bergulir atau opini yang menyerang Gita Savitri hanya melihat pada pilihan itu sendiri, bukan pada alasan mengapa seseorang memilih Childfree. Saya termasuk pengikut Gita Savitri di saluran Yotubenya dan sangat menikmati opini dia pada berbagai isu yang sedang dia soroti. 

Menurut saya opini melahirkan berbagai macam sudut pandang yang kaya dan itu sah-sah saja selam tidak menyerang sisi personal seseorang. Sayangnya, saya melihat serangan sebagian besar "emak-emak" millenial atas pilihan Gita Savitri terhadap Childfree tidak lepas dari gaya komunikasi Gita sendiri dalam menggiring opini di media sosial. Beberapa opini atau komentar Gita Savitri terhadap hatersnya apalagi yang menyangkut Childfree ini cenderung defensif dan memposisikan dirinya punya pemikiran yang lebih terbuka ketimbang hatersnya, sehingga hal ini membuat persona dia cenderung negatif. Padahal saya melihat dia punya pemikiran mendalam dan selalu punya dasar dalam menentukan sikap atau pilihan hidupnya. 

Ketika Gita atau mahluk tuhan paling seksi lainnya memilih Childfree, so what? Anda atau publik sebenarnya tidak perlu melakukan penyerangan atas pilihan tersebut sama seperti ketika Anda memilih Childfree rasanya juga tidak perlu menyerang perempuan lainnya yang memilih memiliki anak atau keturunan. Ada banyak kondisi situasional, lingkungan dan ruang lingkup akses informasi yang menyebabkan seseorang mengambil pilihan penting dalam hidupnya. Ini sama ketika sebuah keluarga memutuskan Frugal Living dan keluarga yang tidak menerapkan Frugal Living yang artinya ketika tidak menjadi salah satunya bukan berarti kita membenci pilihan yang bersebarangan. Kedua hal yang bertolak belakang seringkali menjadi "asik" dibenturkan oleh sebagian orang di media sosial, semata-mata hanya untuk menunjukkan pilihannya lebih baik dan orang lain tidak cukup baik.

Padahal bila ingin bertukar pikiran lebih jauh mengapa seseorang menjadi Childfree, kita sebenarnya bisa mengurai banyak benang merah. Misalnya, Gita Savitri memilih Childfree bukan melulu persoalan yang dituduhkan netizen seperti ingin bebas dan phobia terhadap anak kecil. Saya mencoba melihat lebih jauh, misalnya dia dan suaminya yang tinggal jauh di negeri seberang, dengan isu rasisme Islam Phobia yang sangat kental, bisa saja menjadi pertimbangan penting mengapa  Gita memilih tidak memiliki anak. Beda dengan kita yang tinggal di Indonesia dengan dukungan keluarga dan birokrasi yang masih bisa nego sana sini, serta tanpa ada isu atau konflik sosial yang cukup genting maka membesarkan anak sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan.

Isu-isu Publik yang Mendorong Childfree

Sepanjang membaca komentar dan pro kontra Childfree di media sosial,fokus perhatiannya ada pada isu personal. Seperti yang saya jelaskan di atas bahwa pilihan menjadi Childfree dituduhkan bahwa seseorang sudah terpapar liberalis atau label-label bullying yang sangat kejam, misal phobia anak kecil. Tapi pernahkah kita melihat adanya unsur sebuah isu publik yang menjadi alasan seseorang memilih Childfree?. Bila kita bisa mengulik lebih jauh perihal ini, alih-alih menyerang pilihan tersebut kita mungkin cenderung akan menghargai pilihan yang tidak lazim ini. Saya tidak bermaksud mengajak Anda bersimpati atas pilihan Childfree tersebut, tujuan saya adalah melihat isu publik yang mendorong pilihan seseorang menjadi Childfree.

Seorang penulis asal Jerman, Melanie Christina Mohr mengatakan bahwa kecenderungan terjadinya ketidakadilan seperti rasisme agama dan asal usul ini paling banyak terjadi pada kelompok masyarakat muslim. Diskriminasi ini menyebabkan seorang anak dikucilkan berbagai sikap intoleran yang menimpa si anak bahkan hingga dewasa. Situasi ini bisa mendorong seorang anak melakukan tindakan menyimpang akibat depresi dan bisa bermuara pada paham kekerasan dengan dalih balas dendam. Artinya, ada banyak faktor yang bisa diungkap dengan data mengapa kawan-kawan kita yang tinggal di negara lain (tidak hanya Eropa) memilih menjadi individu atau sepasang suami istri cukup. Isu publik misalnya menjadi warga kelas dua, sehingga butuh waktu dan pengorbanan yang tidak main-main untuk bisa survive ternyata kondisi itu saja sudah cukup melelahkan, apalagi ditambah dengan urusan memiliki anak.

Bila dari sisi lain seorang mengatakan bahwa Childfree ini bertolak belakang dengan unsur-unsur keagamaan atau adanya kekhawatiran penyalahgunaan pemahaman Childfree di kalangan remaja masa kini maka sudah saatnya kita menggunakan momentum ini untuk membuka ruang diskusi untuk meluruskan sudut pandang tersebut. Menjadi Childfree atau tidak bukan suatu perkara yang harus dibenturkan, melainkan menjadi opsi, pilihan yang pada akhirnya dijalani dengan suka cita, dan penuh tanggung jawab. Nampaknya memang agak aneh ketika Childfree ini dibenturkan pada kondisi "lu mau punya anak atau enggak?", padahal seharusnya dua hal ini paralel saja dan bisa berjalan beriringan. Justru akan sangat menarik melihat dampak dari kebijakan publik suatu negara, isu sosial dan budaya yang melandasi lahirnya berbagai pilihan dalam hidup. 

Kita toh sebenarnya tinggal menyetel saja tempelate mana yang paling realistis dengan situasi dan dukungan negara saat ini hingga 20 tahun ke depan. Mungkin akan lahir pilihan baru lagi, Childfree temporer artinya saat ini Childfree, tapi 5 atau 10 tahun lagi beralih ke pilihan lain. Pada akhirnya individu tidak bertanggung jawab secara moral atas kelaziman dalam suatu masyarakat sepanjang masih menjunjung tinggi toleransi dan hidup dengan tenang. Perkara pilihan-pilihan, ada banyak faktor yang mempengaruhi, bukan soal pilihan mana yang lebih baik tapi sejauh mana pilihan tersebut membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dan saling menghargai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun