Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mewujudkan Investasi Hijau Melalui RDTR OSS dan Taxonomi Hijau

31 Juli 2022   23:55 Diperbarui: 1 Agustus 2022   00:12 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu RDTR OSS dan Taksonomi Hijau?

Rencana detail tata ruang atau disingkat RDTR adalah instrumen penataan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang. Sebagai instrumen, RDTR menjadi alat utama dalam menilai dan menindak dengan sanksi hukum pada penyelenggaraan tata ruang yang tidak sesuai peruntukan kegiatan dalam raperda (sekarang ranperkada) yakni rancangan peraturan daerah. Namun pada sisi lainnya, RDTR juga berfungsi sebagai pendorong berbagai kegiatan investasi sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Cipta Kerja, bahwa RDTR selain berfungsi sebagai pengendalian ruang juga berperan dalam memacu investasi daerah.

Tentu saja, makna investasi dalam kegiatan RDTR ini adalah tata kelola kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kaidah pembangunan berkelanjutan. Mengapa RDTR memiliki peran sentral yang cukup penting dalam fungsi pengendalian dan pendorong kegiatan investasi? Karena penyusunan peta pola ruang dalam RDTR telah melalui tahapan di berbagai level, mulai dari tingkat kabupaten, provinsi hingga lintas sektor/kementerian. Materi Teknis RDTR juga diuji dengan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) sehingga dapat dipastikan, bahwa rencana pola ruang yang terlampir dalam ranperkada telah melalui proses validasi lintas sektor, kelembagaan, institusi sosial dan metode ilmiah.  

Sebagai penggerak utama dan pintu masuk kegiatan investasi, RDTR OSS (Online Single Submission) sebagai sistem perijinan usaha elektronik menjadi bagian penting dalam menilai atau dapat dijadikan indikator performa pola ruang untuk kegiatan investasi hijau. Indikator dalam menggerakkan investasi hijau diawali melalui taksonomi hijau. 

Taksonomi hijau sendiri adalah langkah awal pada roadmap keuangan berkelanjutan tahap II yang direncanakan oleh pemerintah (Otoritas Jasa Keuangan) sebagai bentuk dan rujukan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait dalam mengembangkan inisiatif-inisiatif pembiayaan inovatif. Sebagai rujukan, taksonomi hijau dapat mewujudkan tercapainya target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Perubahan Iklim menjadi sebuah agenda penting bagi para pemimpin. Dengan demikian, penerapan investasi hijau melalui taksonomi hijau akan menjadi "new normal" bagi berbagai sektor jasa keuangan.

Otoritas jasa keuangan telah merilis resmi panduan taxonomi hijau Indonesia edisi 1.0 -- 2022. Penyusunan taksonomi hijau telah melibatkan delapan kementerian terkait, yang mencakup sekitar 43 Direktorat Jenderal dan Unit Eselon I lainnya untuk mengkonfirmasi ambang batas (threshold) kriteria hijau yang tercantum dan telah didasarkan pada kebijakan, serta ketentuan yang berlaku. Taksonomi hijau bertujuan menjadi alat bantu dalam proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit/ pembiayaan/investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing).

Yang menarik dari penyusunan taksonomi hijau adalah integrasi KBLI atau klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia dimanan KLBLI ini tidak hanya fokus pada subsektor/kelompok/kegiatan usaha yang dikategorikan sebagai hijau, namun disertakan juga sektor/kelompok/kegiatan usaha yang belum terklasifikasi ke dalam kategori hijau. Klasifikasi kriteria pada taksonomi hijau dibagi menjadi tiga kategori yaitu: Hijau (do not significant harm, aplly minimum safeguard, provide positive Impact to the environment and align with the environmental objective of the Taxonomy), Kuning (do no significant harm), dan Merah (harmful activities).

Lantas, Bagaimana Penerapan atau Integrasi KBLI RDTR OSS dengan Taksonomi Hijau?

Taksonomi hijau merupakan bagian dari pembahasan dalam presidensi G20, dimana lembaga keuangan didorong untuk melakukan obligais hijau. Bank Indonesia sendiri mencatat jumlah obligasi hijau di Indonesia telah tumbuh signifikan, sebesar USD 482 Miliar. Taksonomi hijau terdiri dari lima sasaran utama untuk meminimalisir dampak finansial sistem investasi konvensional. 

Transisi investasi konvensional menuju investasi hijau memiliki tujuan besar dalam mengurangi dampak negatif perubahan iklim yakni kerusakan fisik aset (infrastruktur perkotaan), gangguan pada produksi, gangguan pada rantai pasokan, gangguan pada harga bahan baku dan perubahan pada permintaan produksi. Melalui transisi menuju investasi hijau, pemerintah menyasar lima aspek dari taksonomi hijau yakni (1) membangun keuangan berkelanjutan, (2) implementasi: pelaporan aspek lingkungan, (3) pengembangan program, (4) inovasi produk dan layanan keuangan berkelanjutan, dan (5) kampanye nasional keuangan berkelanjutan.

Pada bagian implementasi pelaporan aspek lingkungan, taksonomi hijau menggunakan pendekatan kegiatan usaha berwawasan lingkungan (KUBL) yang terdiri klasifikasi/simbol perwarnaan hijau, kuning dan merah. Setiap warna ini merupakan kode dengan level risiko lingkungan yang berbeda-beda. Melihat sasaran dari taksonomi hijau tersebut maka hal ini rupanya juga sejalan dengan sistem peraturan zonasi dalam RDTR (Rencana Detail Tata Ruang).

Pertama-tama, kita melihat bagaimana format dari levelling klasifikasi kegiatan usaha berwawasan lingkungan yang dimaksud dalam dalam penyusunan taksonomi hijau.  Levelling klasifikasi taksonomi hijau adalah sebagai berikut:

Tabel di atas terdiri dari panduan bahwa kegiatan berwarna hijau merupakan kegiatan usaha yang melindungi dan meningkatkan kualitas perlindungan lingkungan hidup. Kemudian kegiatan berwarna kuning adalah kegiatan usaha yang memenuhi beberapa kriteria ambang batas hijau. Lalu kegiatan kategori merah artinya tidak memenuhi kriteria ambang batas hijau dan kuning. Lantas apakah semudah itu memahami cara kerja taksonomi hijau?. Pertanyaannya, (1) seperti apa metode penilaian kegiatan usaha yang masuk pada kategori hijau, kuning dan merah? (2) Tools apa saja yang digunakan dalam menyusun taksonomi hijau? Ok, mari kita lihat hasilnya:

  • Seperti apa metode penilaian kegiatan usaha yang masuk pada kategori hijau, kuning dan merah?

Sebagaimana dipaparkan pada pembahasan sebelumnya bahwa penyusunan taksonomi hijau adalah hasil integrasi KBLI. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha perlu diketahui merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam RDTR OSS. Proses penyusunan RDTR OSS adalah sebuah kegiatan rencana pola ruang telah dikonversi ke dalam format dan nomenklatur KBLI. Rencana pola ruang tersebut, selain dikonversi ke dalam format KBLI juga memuat panduan dalam peraturan zonasi yang terdiri dari keterangan: Izin, Terbatas, Bersyarat dan Terlarang. Empat muatan peraturan zonasi yang mengatur seluruh kegiatan ber KBLI tersebut nampaknya sejalan dengan tujuan dari taksnomi hijau. Bila diterapkan dengan mengintegerasikan kolom tabel ITBX RDTR dengan klasifikasi taksonomi hijau maka akan membentuk skema seperti ini:

Tabel ITBX RDTR OSS
Tabel ITBX RDTR OSS

Penjelasan dari tabel integrasi matrik ITBX RDTR OSS dengan Taksonomi Hijau adalah, kode kegiatan KBLI yakni I, T, B, dan X adalah kegiatan-kegiatan yang dengan pertimbangan dan hasil analisis tata ruang akhirnya mengatur tentang ambang batas, syarat serta larangan seluruh kegiatan usaha di dalam tata ruang. Terbatas pemanfaatannya artinya, ada ketentuan teknis seperti KDB, KLB dan KDH yang mengatur kegiatan dalam satu zona sedangkan bersyarat artinya, kegiatan usaha perlu mendapatkan persetujuan masyarakat dan izin lingkungan.

(2) Tools apa saja yang digunakan dalam menyusun taksonomi hijau?

Tools yang digunakan dalam integrasi tabel ITBX RDTR OSS dengan taksonomi hijau adalah perangkat software dan hasil analisis spasial. Namun sebenarnya cukup dengan tabel ITBX saja sebenarnya maka proses penyusunan taksonomi hijau bisa dilakukan. Tahapan yang paling penting disini adalah ketersediaan akses data atau materi teknis RDTR sehingga penyusunan taksonomi hijau dapat dilaksanakan.

Bagaimana Tata Cara Inventarisasi Data Spasial Untuk Kepentingan Investasi Hijau?

Bila sebelumnya telah diurai bentuk integrasi tabel ITBX RDTR OSS dengan klasfikasi taksonomi hijau, maka sekarang saya mencoba menggambarkan proses inventarisasi data spasial sebagai langkah awal penyusunan data base investasi hijau. Dalam kasus ini saya menggunakan konsep pemetaan energi terbarukan kawasan perkotaan. Pemetaan energi bertujuan untuk menyediakan informasi dan mengevaluasi sistem penggunaan energi saat ini pada kelompok bangunan perkotaan. Tujuannya adalah sebagai dasar dalam menyusun neraca pemanfaatan energi terbarukan.

Selain itu pemetaan energ juga bertujuan untuk penyusunan data potensi pemanfaatan energi terbarukan seperti zonasi kawasan yang akan menggunakan solar cell dan konsumpsi energi yang dibutuhkan setiap rumah. Pemetaan energi terbarukan menjadi sangat penting dalam menyiapkan bentuk investasi energy bersih yang disiapkan oleh pemerintah daerah.

Dalam kerangka kebijakan strategis, pemetaan energi ini menjadi panduan bagi pemerintah daerah dalam mengarahkan besaran nilai investasi di bidang energi, dampaknya terhadap lingkungan dan manfaatnya bagi masyarakat.  Pemetaan ini juga akan memberi gambaran tentang kapasitas energi terbarukan yang dibutuhkan. Lantas bagaimana penerapannya?

Skema Penerapan Investasi Hijau Energi Terbarukan dengan Pendekatan Spasial
Skema Penerapan Investasi Hijau Energi Terbarukan dengan Pendekatan Spasial

Skema Penerapan Investasi Hijau Energi Terbarukan dengan Pendekatan Spasial
Skema Penerapan Investasi Hijau Energi Terbarukan dengan Pendekatan Spasial

  Kesimpulan:

1. Saat ini, percepatan RDTR dan Peraturan Zonasi dilaksanakan untuk mempermudah/mempercepat kegiatan investasi di daerah, khususnya pada kawasan perkotaan.

2. Konsep berpikir pemerintah daerah dan investor itu sendiri masih melihat investasi sebagai penggerak ekonomi atau sumber pendapatan daerah. Pemerintah daerah juga perlu berinisiatif mengarahkan agar perusahaan yang akan berinvestasi melakukan CSR ke arah investasi berkelanjutan atau investasi hijau.

3. Contohnya, setiap perusahaan yang akan berinvestasi di daerah perlu melaksanakan MoU CSR di bidang energi. Misalnya berinvestasi dengan pengadaan solar cell pada kawasan ekonomi khusus.

4. Pemetaan energi merupakan data dasar yang dapat digunakan pemerintah daerah dalam menggenjot kegiatan invetasi atau CSR di bidang energi berkelanjutan. Selama ini belum ada penyusunan data base penggunaan energi (eksisting) dan terpetakan dengan baik, sehingga arah investasi hijau belum memiliki lokus koordinat, sasaran personal dan langkah taktis tentang siapa dan pada apa.

                                                                                                                           ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun