Sangat kompleks persoalan siapa dan apa yang bertanggung jawab atas rusaknya kualitas air di kota-kota besar kita. Jika mengadu ke pemerintah, yang sering ditemui adalah pengelakan teknis dan atau penjelasan lain bahwa sudah ada kebijakan untuk menjaga kualitas air, namun penerapannya belum maksimal.
Ada pula yang merasa ragu-ragu, merasa bahwa Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) belum tersedia dan atau sudah terakomodasi dalam studi lebih lengkap seperti RT-RW dan Rencana Detil Tataruang (RDTR), sebagaimana dikeluhkan Yogyakarta pada 2015.
Selebihnya, pemerintah lokal kita merasa kewalahan dengan ledakan urbanisasi penduduk (Bandung, Surabaya dan DKI Jakarta).
Ada pula yang menyalahkan besarnya influx wisatawan (Kawasan Raja Ampat di Papua, Yogyakarta dan Bali), Industri pertambangan (hampir semua Kalimantan dan Bangka Belitung), bahkan pola hidup masyarakat kotanya sendiri.
Hanya saja, siapa yang akan disalahkan bukanlah tujuan jitu dari keprihatinan melihat air sungai dan sumber-sumber air lain di sekeliling kita tidak lagi memantulkan bayangan. Struktur demografi, aturan longgar soal urbanisasi, dan buruknya peraturan tata ruang kota menjadikan para pemangku kebijakan kota kita berada di titik tengah jembatan rapuh.
Mereka telanjur mewarisi buah kebijakan pendahulu yang tidak berpihak pada ruang gerak kota dan kawasan konservasi airnya. Tidak ada kota di Indonesia yang DAS-nya aman dari ancaman pemukiman liar, pertambangan galian C, ataupun aksi perburuan yang tidak adil.
Dengan kondisi yang terlanjur memburuk ini, sedikit pencegahan yang dapat dilakukan hanyalah memengaruhi keputusan-keputusan warga pemukiman di kawasan hulu agar menghindari aksi-aksi polutif, dan mengajarkan warga di hilir agar menghargai aliran air yang dikirimkan lewat kota-kota mereka.
Agak getir membaca artikel The Guardian beberapa waktu lalu yang menggunjingkan "kecerdikan" Gubernur DKI Jakarta yang, setelah mengupayakan berbagai cara membersihkan air sungai-sungai yang akan dilewati (dan mungkin disaksikan) para kontingen Asian Games, mereka memilih menutupi atap sungai dengan jaring-jaring hitam pula, dan mengecat tanggulnya dengan warna-warni lucu guna mengalihkan perhatian dari kotor dan baunya air.
Setelah ajang olahraga terbesar di Asia tersebut berlalu, sangat besar kemungkinan jaring-jaring kedok tadi akan dicopot dan atau dibiarkan rusak hingga hanyut.
Ini sedikit dari cara lemah untuk mengupayakan pembersihan sungai. Di banyak tempat lain di kota-kota kita, kelompok-kelompok pecinta dan pemerhati lingkungan tengah berupaya keras mengaji, mengukur dan mengampanyekan hasil temuan mereka soal air agar kita sebagai konsumen terbesar, memahami potensi polusi yang semakin mengancam di masa depan. Dan, paling tidak berpikir untuk membantu mengurangi pencemaran dengan cara paling sederhana.
Kita berbenturan dengan industrialisasi, regulasi yang lemah, pola hidup yang terbelakang, dan minimnya dukungan finansial dan moral bagi organisasi-organisasi pelindung air.