Ramai pemberitaan rusuh rumah tahanan dibeberapa daerah cukup menyita perhatian publik Tanah Air. Diantaranya adalah rusuh lapas Tanjung Gusta di Medan, dan lapas Labuhan Ruku yang menyebabkan kaburnya tahanan kurang lebih 200 tahanan di lapas TG dan pembakaran lapas di lapas Labuhan Ruku. Berbagai spekulasi pun muncul mengenai penyebab kaburnya para tahanan. Terlepas dari isu politik yang turut mewarnai kerusuhan lapas Tanjung Gusta, satu isu atau spekulasi yang cukup menarik menurut saya adalah mengenai masalah sarana dan prasarana dalam lapas serta kapasitas daya tampung lapas.
Penjara pada hakikatnya merupakan wujud arsitektur untuk memperbaiki diri dan menjadi tempat layak huni oleh seseorang terhukum dalam jangka waktu yang singkat maupun lama. Oleh karena itu desain dan kelengkapan sarana mutlak menjadi tanggung jawab bersama pengelola lapas dan pemerintah sebagai upaya untuk tetap memberikan “hak” hidup bagi tahanan. Lantas jika fakta yang ada dilapangan menyebutkan bahwa kapasitas lapas sudah tidak memenuhi daya tampung bagi penghuninya, kebutuhan dasar tidak terpenuhi seperti air bersih dsb, maka tidak mengherankan bila terjadi aksi anarkisme yang dilakukan oleh tahanan.
Percobaan yang dilakukan pada tikus yang dimasukkan pada sebuah wadah dengan jumlah populasi tikus yang “overgrowth” melebihi kapasitas daya tampung menyebabkan tikus stress dan saling menyerang. Dampak teritorialitas dapat terjadi pada semua mahluk hidup. Sudut pandang yang menilai bahwa penjara merupakan tempat “penghukuman” bagi orang yang didawkwa bersalah atas tindakan melanggar hukum tidak lantas menjadi sebuah pemakluman atas kondisi penjara yang tidak layak huni. Beberapa peneliti menemukan pengaruh desain penjara pada perilaku narapidana. Misalnya adalah layout arsitektur ruang penjara mempengaruhi kesehatan tahanan.
Sesuai dengan namanya yaitu Lembaga Pemasyarakatan, maka semua hal yang terkait dengan proses untuk membina masyarakat semuanya memiliki unsur yang mendukung pemberdayaan tersebut termasuk media pemberdayaannya. Media pemberdayaan dapat berupa hunian lapas yang layak huni (tidak melebihi daya tampung), kebutuhan air bersih, listrik tercukupi bagi para tahanan. Intinya layak huni yang dimaksud adalah seluruh kegiatan pengadaan sarana prasarana lapas yang menjunjung tinggi hak asasi manusia secara manusiawi dan merata untuk semua tahanan.
Memasuki abad ke-21 banyak penjara di Indonesia yang mirip dengan penjara abad ke-15 dan 16. Penjara pada abad 15-16 dicirikan dengan kamar yang lebih mirip seperti sel mengerikan. Seperti kondisi yang terlihat pada Panti Bina Laras, penghuninya bukanlah narapidana, melainkan orang-orang yang sakit mental namun diperlakukan tidak berperikemanusiaan. Orang-orang yang sakit mental ini dianggap membahayakan sehingga kaki mereka harus dirantai. Desain penjara dan ketersediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan tahanan tidak bisa kita abaikan begitu saja. Desain penjara harus lebih diperhatikan karena lingkungan dalam penjara merupakan harapan satu-satunya bagi tahanan untuk memperbaiki sikap dan menata kembali moral mereka.
[caption id="" align="alignnone" width="495" caption="Kondisi Panti Bina Laras Cipayung, Jakarta Timur (vincentius.blogdetik.com)"][/caption] [caption id="" align="alignnone" width="498" caption="sumber gambar :www.fotografer.net"][/caption]
Desain Penjara Modern
Kompleks penjara Leoben (Austria) merupakan ciri lembaga peradilan/pemasyarakatan modern dan berani. Mengapa berani? Karena desain arsitektur penjara Leoben berani “keluar” dari pakem model bangunan penjara yang ada saat ini. desain penjara Leoben mempertimbangkan beberapa hal, seperti menyediakan lingkungan yang lebih manusiawi, menggantikan menara jaga dengan halangan yang bersifat natural, menambahkan lampu dan warna agar tidak membosankan. Ruang sipir dan ruang sel tahanan berdekatan agar memudahkan interaksi. Data Cox (1982) menemukan fakta perubahan desain dapat membantu mengurangi rasa takut akan terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh sesam tahanan sekitar 30-90%. Aksi vandalism juga berkurang dan berkurangnya perkosaan sesam jenis (homoseksual).
Begitu banyak kesaksian memilukan dan tragis yang dialami oleh tahanan ketika dalam penjara. Sangat disayangkan pula jika kekerasan akibat kebobrokan moral, mental yang terjadi dalam penjara adalah peristiwa biasa saja. sesuai dengan namanya yakni lembaga pemasyarakatan, sudah seharusnya pola yang kita bentuk adalah desain penjara dan kondisi lingkungan sosial yang bersahabat dan humanis.
Efek negative dari program kunjungan juga perlu kita waspadai, karena program kunjungan ini merupakan celah “potensial” untuk menyelundupkan narkoba. Meningkatkan kesiagaan oleh pengawas dengan memeriksa dan menggeledah barang yang dibawa oleh pengunjung. Area kunjungan dapat dirancang dengan sistem pengontrolan yang maksimal dan memadai, dengan menyediakan ruang yang cukup untuk pengawasan visual.
Desain area kunjungan lebih terbuka, dan terkesan akbrab satu sama lain. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan kontak antara pengunjung sehingga kualitas hidup mereka semakin baik, tidak ada rasa saling curiga karena mereka merasa seperti keluarga. Keadaan psikologi tahanan yang stabil, merasa dihargai dan memiliki keluarga diantara sesame tahanan, bahkan sipir penjara tentu akan menambah rasa percaya diri dan tanggung jawab. Tahanan memiliki semangat kerjasama yang tinggi dan terhindar dari kegiatan negatif yang merugikan seperti penghancuran harga diri. Keberhasilan pengelola lembaga pemasyarakatan adalah apabila narapidana bisa merasakan kembali menjadi manusia berguna bagi lingkungannya.
[caption id="" align="aligncenter" width="350" caption="tampak depan kompleks penjara Leoben, Austria (www.arsitekonline.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H