[caption id="attachment_319821" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]
Back to the city, kembali ke kota, apa yang membuat orang kembali ke kota, selain harapan hidup yang lebih baik
Sekumpulan anak-anak bermain di gang sempit, menendang bola ke arah gawang yang sudah dijaga kawannya. Mereka asyik bermain, tidak peduli tempat bermain yang dilakukan di jalan sebuah gang. Suara deru kendaraan roda dua sesekali menghentikan aktifitas mereka. Kadang tatapan mawas sang pemilik rumah menatap aksi bocah-bocah ini. khawatir bola ini ditendang dan mengenai kaca jendela rumah. Senyum anak-anak ini tidak pernah hilang sampai tiba waktu maghrib, semuanya kembali ke rumah masing-masing.
Back to the city, slogan itu begitu ampuh untuk menarik kunjungan orang untuk memilih kota sebagai tempat tinggal. Pembangunan superblock, apartemen dan fasilitas perbelanjaan kaum urban di prioritaskan di pusat kota. logikanya, jika di bangun di daerah pinggiran kota, siapa yang akan memilih lokasi tersebut untuk bertempat tinggal.
Paradigma lokasi strategis menyebabkan terjadinya penjajahan atas ruang-ruang di dalam kota. Kawasan strategis yang berada di pusat kota disulap menjadi mega superblock, sebuah bentuk pengukuhan strata sosial warga kota. Mengisolasi lingkungan, ekonomi dan pergaulan. Sementara penduduk lain, masyarakat biasa akan terlempar jauh ke daerah pinggiran.
Alasan untuk meningkatkan kualitas kawasan dengan melakukan peremajaan kawasan, justru dimanfaatkan pengembang besar untuk membangun pusat-pusat bisnis di pusat kota. Peningkatan nilai properti kemudian meningkatkan gelombang kedatangan warga kelas menengah ke atas. Sementara warga asli yang miskin terdepak jauh dari lingkungan aslinya. Fenomena ini dikenal dengan fenomena gentrifikasi, atau sebuah sistem penjajahan bagi ruang-ruang perkotaan untuk warga kelas menengah ke bawah.
Lahan strategis di perkotaan menjadi incaran pengembang untuk mendirikan berbagai macam mega properti berkelas. Jika sebelumnya masih terdapat lapangan untuk bermain bola atau berolah raga bagi warga kota, kini lahan tersebut sudah menjadi kawasan berbayar (karebosi link). Apa daya, taka da lagi ruang publik untuk anak-anak sekadar bermain bola, semua digiring ke indoor. Bagi warga kelas menengah ke bawah, anak-anak mereka cukup bermain di gang sempit.
Kalau di Jogja, saya sering mengamati kampung di sepanjang sungai Code. Apakah mereka sebagian warga asli Jogja yang hanya mampu menempati tanah di sepanjang kali Code?. Tidak jauh dari tempat tinggal mereka berdiri satu hotel megah, sangat jomplang pemandangan ini. Mengapa pembangunan properti di kota selalu terkesan di paksakan? Seperti mengabaikan lingkungan sekitar (kehidupan sosial) yang sudah terbangun puluhan tahun silam?
Gentrifikasi telah mengikis nilai sejarah dan sosial kawasan perkampungan di dalam kota. Gentrifikasi dianggap mampu memindahkan kemiskinan ke lokasi yang memiliki profit rendah. Alternatively a diversity of grassroots neighbourhood groups have opposed gentrification because of its effects in displacing the poor and vulnerable (Marcus 1989: Atkinson 2001a, 2001b ; Slater 2002).
Kawasan strategis di pusat kota sangat minim dengan resiko lingkungan, oleh karena itu nilai lahannya memberi keuntungan yang sangat besar. Warga kelas menengah ke atas ingin mendapatkan hunian terbaik, lingkungan yang asri dan yang paling utama adalah bebas banjir. Akibatnya daerah resapan di tengah kota dirubah menjadi kawasan elite (Jakarta).
Untuk kota-kota lain seperti di Yogyakarta, kita dapat menyaksikannya di balik gedung-gedung bertingkat yang berada di jalan-jalan utama. Kampung-kampung warga ini terjepit/ diapit di antara gedung raksasa. Kehidupan warga kelas menengah semakin terdorong ke belakang, menjauhi pusat-pusat keramaian.
Gentrifikasi membentuk semacam emancipatory city, bahkan dapat pula memicu agresivitas warga kota. Kaum urban pioneer perlahan-lahan membawa budayanya yang baru dalam satu kawasan. Kemudian berkembang, menjadi komunitas sendiri. kaum pioneer ini dianggap memiliki toleransi yang tinggi terhadap penyakit kota, seperti kriminalitas dan lingkungan (D.K Halim).
[caption id="attachment_319783" align="aligncenter" width="600" caption="kampung di sepanjang sungai Code"]
Masalah sosial yang ditimbulkan oleh fenomena gentrifikasi di Amerika Serikat terbukti meningkatkan konflik sosial. Keberagaman sosial di dalam ruang kota justru hendak diporak-porandakan dengan membentuk kluster-kluster strata sosial.
Bagi warga yang memiliki kemampuan ekonomi lebih maka punya kesempatan yang spesial untuk menempati hunian atau lingkungan yang terbaik dalam kota. Sedangkan kaum minoritas, ekonomi rendah, terpaksa menempati kawasan-kawasan yang cukup buruk dari sisi lingkungan.
[caption id="attachment_319784" align="aligncenter" width="598" caption="Jogja bagian selatan banyak kolam renang (sumber foto : Marko kusumawijaya)"]
Upaya kita untuk meningkatkan kualitas hidup warga kota justru dilakukan dengan membabat satu warga kelas ekonomi menengah ke bawah. Dengan menggeser mereka jauh di pusat kota dianggap telah menyelamatkan masalah lingkungan di kota. Pemikiran ini teramat kejam dan picik.
Heterogenitas kota (keberagaman) tidak tepat dianggap sebagai hambatan dalam pembangunan kota. Membangun kawasan (revitaslisasi) sebenarnya bisa memberi manfaat apabila kita meninjau terlebih dahulu kawasan yang akan direvitalisasi, seperti apa kondisi lingkungan dan sosial masyarakat di sekitarnya. Bukan malah menutup akses, sehingga jika dilihat dari foto udara nampak jelas seperti pulau hijau yang berada di sekeliling padang pasir.
Heterogenitas ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan kota melalui kelompok pendapatan campuran dengan populasi etnis yang beragam. Saya pernah berkunjung ke salah satu kawasan perkampungan di Malaysia, di dalamnya tinggal perkampungan dengan berbagai macam etnis, seperti melayu, dan india. Kawasan ini malah menjadi destinasi wisata yang tumbuh dengan sendirinya.
Bukan cara yang bijak jika membangun kota justru dilakukan dengan menghanguskan perkampungan warga asli dalam satu kota. pemerintah kita justru dapat melakukan perbaikan kualitas lingkungan di kawasan perkampungan yang sudah mulai using di makan jaman. Bukan semakin mempersempit ruang gerak mereka diantara gedung-gedung bertingkat, yang menghilangkan/menjauhkan mereka untuk menikmati pemandangan langit sore, dan menikmati udara segar.
Semoga pembangunan kota kita kedepannya tidak hanya berorintasi fisik belaka. Ingatkan para perencana kota, urban design dan arsitek untuk memperhatikan mahluk hidup yang tinggal di dalamnya, agar tidak ada lagi kelompok masyarakat yang memusuhi kotanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H