[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="sumber: Supriadi Takwim"][/caption]
Orang Kajang, masyarakat di Sulawesi Selatan sudah tidak asing lagi dengan suku Kajang. Pakaian serbahitam menjadi ciri khas suku ini, bahkan mitos yang berkembang di masyarakat sering mengidentikkan suku kajang dengan kekuatan ilmu supranaturalnya.
Suku ini terletak di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba (Sulawesi Selatan). Suku Kajang sendiri masuk di wilayah administrasi desa Tana Toa dengan luas wilayah 729 ha. Saya tertarik dengan tesis teman saya Supriadi Takwim (Mag.Perencana Kota & Daerah) yang membahas mengenai kearifan lokal suku Kajang dalam memanfaatkan lahan (ruang) di dalam kawasan adat.
[caption id="attachment_312046" align="aligncenter" width="432" caption="sumber: Supriadi Takwim"]
Suku Kajang memiliki nilai kearifan budaya yang diaplikasikan dalam pengelolaan kawasan hutan. Suku kajang membagi ke dalam tiga (3) bagian untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Pembagian kawasan ini dikenal dengan sebutan Borong Karamaka (hutan keramat) yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara-acara ritual.
Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat. Borong Luara’ (Hutan Rakyat) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat. Apabila mengacu pada peraturan kementerian pertanian mengenai klasifikasi pemanfaatan hutan, akan ditemukan konsep yang sama dengan kearifan lingkungan yang telah dijalankan suku Kajang selama bertahun-tahun.
[caption id="attachment_312038" align="aligncenter" width="600" caption="perbandingan kriteria pemanfaatan hutan kementan dan suku Kajang"]
Masyarakat suku Kajang mempercayakan setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan kepada seorang ketua adat yang bergelar Ammatoa. Ammatoa dan masyarakat suku Kajang menerapkan sanksi dan aturan yang keras bagi masyarakatnya yang melanggar aturan.
Dalam tesis Supriadi Takwim dijelaskan bahwa masyarakat suku Kajang sampai saat ini masih memegang teguh adat dan nilai-nilai yang berlaku dalam komunitas Ammatoa. Ammatoa memiliki tugas mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan adat istiadat beserta nilai-nilai yang berlaku di dalam komunitas adat Desa Tana Toa.
[caption id="attachment_312043" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber: Supriadi Takwim"]
Satu falsafah hidup yang sangat sederhana namun memiliki nilai pemeliharaan lingkungan adalah pemilihan tipe bangunan. Masyarakat suku Kajang memilih tinggal dalam rumah panggung disbanding harus membangun rumah dari batu bata.
Menurut masyarakat suku Kajang, walaupun penghuni rumah yang tinggal di rumah (terbuat dari batu bata) masih hidup, mereka menganggap penghuni rumah tersebut sudah meninggal karena sudah dikelilingi tanah. Membangun rumah dari batu bata dianggap sebuah pantangan karena untuk membangunnya harus menggunakan kayu bakar.
Batu bata yang digunakan bahan bakunya adalah tanah setelah itu dicetak kemudian dibakar. Tahapan menghasilkan batu bata inilah yang dianggap merusak hutan. Padahal mereka sangat ketat melindungi hutan adatnya, sehingga bangunan dari batu bata menjadi pantangan bagi mereka. Jika ditinjau dari dari aspek lingkungan, kita akan temui kebenaran (rasionalitas) kepercayaan masyarakat suku Kajang dalam melestarikan hutan adat.
1.Membangun rumah dari batu bata membutuhkan tanah liat, untuk menyediakan bahan baku tanah diperoleh dengan melakukan pengerukan tanah.
2.Pembakaran batu bata membutuhkan banyak kayu bakar, yang bersumber dari hutan.
3.Menghasilkan polusi udara, akibat pembakaran batu bata
4.Limbah bangunan batu bata tidak banyak yang bisa digunakan, berbeda dengan kayu yang masih bisa didaur ulang.
Masyarakat suku Kajang juga memiliki ajaran Pasang, ajaran ini merupakan ajaran tata aturan yang mengatur jaringan dan hubungan Suku Kajang yang muncul sebagai implementasi dari doktrin-doktrin dan ajaran yang dikandungnya. Salah satu ajaran Pasang yang memberi pesan bahwa sejarah masa lalu tidak jauh berbeda dengan sejarah sekarang dapat kita simak melalui wawancara Supriadi Takwim dengan ketua adat suku Kajang, Ammatoa:
Cobami ringkuanaki hojainjo ripangkuaya sajarana ri olo kipasittei konjo, kituju konjo, kipasittappai konjo nipahangiya, ri bicara rioloa, anre kulle nasisalantu. Punna sisala, rie’ runnambaintu mange, niyaka nangurangi. Kanre anre nakulle ni tambai pasangnga, nasaba’ iya nakua bicarayya Lontara ri Gowa, Pasang ri Kajang, Kitta ri Luhu. Mingka punna rie’ tunnambai rie’to’ tau doraka. Iyaka narie’ tau ngurangi ampasisala konjo ri pangkuayanjo tallua passala ri kuayya Lontara ri Gowa, Pasang ri Kajang, Kitta’ ri Luhu appasiainjo sinna, arennaji batuanna hata’bage, naiyya pada tujuanna, se’re tujuan.
Cobalah anda mencari tentang apa yang dikatakan dalam sejarah masa lampau. Anda cocokkan dan selidiki tentang apa yang dikatakan dalam sejarah masa lampau tersebut, dengan keadaan sekarang. Apa yang dikatakan sejarah masa lampau dengan keadaan masa kini, tidak berbeda. Kalau ada perbedaan, pasti ada yang menambahinya. Orang yang menambah atau mengurangi dari informasi masa lampau itulah orang yang durhaka. Dalam hal yang berkaitan dengan Pasang ri Kajang ditetapkan bahwa tidak dapat ditambah sebagaimana yang tertulis pada Lontara di Gowa, Pasang ri Kajang, dan kitab di Luwu. Tetapi jika ada yang menambah, itulah orang durhaka, sebab ia telah membedakan yang telah dikatakan dalam Lontara di Gowa, Kitab di Luwu dan Pasang ri Kajang. Yang membedakan antara ketiganya hanyalah namanya, sementara tujuannya hanya satu.
(Ammatoa, wawancara 2013).
Salah Kaprah Menilai Mitos
Kearifan lingkungan dan budaya suku Kajang adalah kekayaan tidak ternilai yang dimiliki bangsa Indonesia. Sayangnya selama ini kita sudah terjebak dalam salah kaprah mengenai mitos. Saya sudah membaca tesis rekan saya Supriadi Takwim mengenai kearifan lokal suku Kajang.
Saya melihat bahwa, ajaran suku pedalaman atau suku yang hidup terpencil jauh dari pesatnya pembangunan kota kadang dianggap sebagai mitos. Inilah yang saya maksud sebagai paham yang menjebak. Ketika berbicara tentang mitos, selalu mengarah pada hal yang sifatnya mustahil, tahayul dan tidak dapat dipercaya kebenarannya.
Mempercayai mitos dianggap masyarakat kuno, tidak modern atau terbelakang. Jika sudah demikian semakin diperburuk dengan keadaan “percaya” begitu saja. Padahal jika kita mencoba menggali lebih jauh tentang mitos yang dipercaya bertahun-tahun, kita temukan pesan penting dari mitos tersebut.
Saya pernah menyaksikan siaran tv National Geographic yang menceritakan tentang proses penelusuran asal mula tattoo, yang ternyata berasal dari Indonesia terdapat di suku Mentawai. Orang yang tertarik meneliti kajian tersebut adalah warga negara asing. Inilah kelemahan kita, penelitian mengenai kearifan budaya dan lingkungan masih dianggap kurang menarik.
Orang asing yang berkunjung ke Indonesia memanfaatkan betul potensi kearifan lokal di Indonesia. Penelitian mereka di masa di masa kini akan menjadi penemuan penting bagi ilmu pengetahuan di masa depan. Hebatnya adalah nilai tradisi, adat istiadat, mitos yang mereka dapatkan dapat diterjemahkan dalam kajian ilmiah, sehingga bisa diterima secara luas dan sumbernya ada di tanah kita, Indonesia.
Menjadi bangsa yang besar, dapat dilakukan jika ada keinginan untuk menghargai hal-hal sederhana disekeliling kita. Tradisi, budaya, adat istiadat bahkan mitos sekalipun adalah rangkaian pengetahuan yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Tidak pernah ada habisnya membahas kekayaan bangsa ini, semoga kita tidak lagi merasa miskin, dan kerdil menjadi warga Indonesia.
----------------------
Sumber data: Kearifan Lokal Suku Kajang dalam Penataan Ruang (Supriadi Takwim)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H