Tahun 2010 Merapi (Sleman) telah memporak-poranda desa yang berada di lereng Merapi. Seorang juru kunci Merapi fenomenal Mbah Marijan, mengakhiri cerita duka korban erupsi saat itu. Siapa yang tidak mengenal Mbah Marijan, sosok ini begitu menyita perhatian saya empat tahun yang lalu ketika menyaksikan pemberitaan di TV karena keteguhan hatinya ingin tetap menjaga Merapi.
Saat itu Mbah Marijan mengajarkan pesan moral yang sangat penting bagi anak bangsa di negeri ini. Dedikasi dan tanggung jawabnya menjalankan tugas sebagai juru kunci dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Hingga hari ini sosok Mbah Marijan masih begitu dikenal di tanah para raja Yogyakarta. Saya beruntung, karena urusan sekolah, akhirnya saya bisa mengunjungi tanah seribu kisah yang sebelumnya hanya bisa saya saksikan di TV.
Nama dusun itu, dusun Kuwang berjarak sekitar empat kilometer dari Merapi. Dusun Kuwang berada di desa Agromulyo, Cangkringan. Berangkat dari rasa penasaran setelah seorang teman sekelas menyajikan makalah tentang kehidupan masyarakat pasca erupsi, akhirnya saat itu saya berniat akan bertandang ke dusun Kuwang.
Di gerbang tepatnya pada gapura tersemat nama dusun yang ingin saya kunjungi, dusun Kuwang. Hari itu bertepatan dengan pemilihan legislatif, saya memanfaatkannya untuk jalan-jalan dan memilih Kuwang sebagai tujuan jalan-jalan hari itu.
salah satu fasilitas umum (mesjid) yang terdapat di dusun Kuwang
Memasuki dusun Kuwang, saya merasa tidak berada di sebuah dusun pada umumnya. Dusun ini lebih mirip kompleks perumahan, bahkan infrastrukturnya jauh lebih bagus di dusun Kuwang. Jalan-jalan di setiap blok tidak ada yang rusak, sebagian paving blok dan pada sisi kanan kiri seperti terbuat dari material cor.
[caption id="attachment_331509" align="aligncenter" width="450" caption="Setiap rumah sudah dialiri air PDAM, kondisi drainase dan jalan blok masih bagus dan berfungsi"]
Rumah-rumah penduduk juga berjajar rapi dan bentuknya seragam dilengkapi dengan fasilitas memadai seperti air bersih PDAM serta jaringan listrik. Sistem pengelolaan sampah sepertinya sangat diperhatikan juga, karena setiap blok memiliki tempat penampungan sampah sementara yang dibagi berdasarkan jenis sampahnya. Rumah yang tadinya saya anggap perumahan ini disebut sebagai huntap atau hunian tetap, sebelumnya warga mendiami rumah huntara (hunian sementara).
[caption id="attachment_331511" align="aligncenter" width="450" caption="Ini adalah hunian tetap warga di dusun Kuwang"]
Informasi yang saya temukan dari plakat atau prasasti yang terdapat di beberapa blok menjelaskan bahwa bangunan dan keseluruhan pembangunan huntap di Kuwang adalah bentuk kerja sama pemerintah, kementerian Pekerjaan Umum dan REKOMPAK (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas).
Siang itu suasana di dusun Kuwang sangat lengang, penduduk sepertinya baru saja pulang ke rumah setelah mencoblos. Saya keliling melihat kondisi rumah tiap blok dan akhirnya saya bertemu dengan salah seorang warga. Setelah berkenalan saya pun tahu kalau namanya Mawar.
“Mari Mbak, saya pikir mahasiswa yang mau nyusun skripsi, biasanya dusun ini sering dikunjungi mahasiswa,” kata Mawar.
Siang itu terlihat Mawar sedang menemani anaknya sambil menjaga warung kelontong kecil-kecilan miliknya. Dari keramahannya tidak ada yang menyangka kalau empat tahun silam Mawar dan warga dusun lainnya pernah mengalami dan menyaksikan erupsi Merapi memporak-porandakan desa mereka.
“Kami memang merasa bersyukur saat ini sudah memiliki tempat tinggal, awalnya saya dan keluarga masih menempati huntara.”
Mawar merasa bantuan dari berbagai pihak sangat maksimal, baik itu pemerintah maupun pihak swasta serta bantuan lembaga masyarakat lainnya. Mawar sebelumnya tidak berharap banyak setelah bencana terjadi, apalagi perekonomian keluarganya sangat bergantung dari hasil pertanian. Pemerintah juga memberikan bantuan berupa dana stimulan untuk renovasi rumah sebesar Rp30 juta.
[caption id="attachment_331516" align="aligncenter" width="600" caption="dana stimulan yang diberikan oleh pemerintah untuk renovasi rumah"]
[caption id="attachment_331517" align="aligncenter" width="600" caption="nama salah satu pemilik rumah huntap"]
[caption id="attachment_331518" align="aligncenter" width="600" caption="bak penampungan sampah yang tersedia di setiap blok"]
[caption id="attachment_331519" align="aligncenter" width="600" caption="Bangunan yang menjadi titik kumpul bagi warga ketika ada tanggap darurat bencana"]
Saat ini Mawar merasa kondisinya jauh lebih baik, anak-anaknya masih bisa bersekolah, punya tempat tinggal dan masih bisa membuka warung kelontong baginya sudah sangat membantu keluarganya untuk segera bangkit. Mawar tidak sedikit pun menunjukkan keluh kesahnya, atau mengutuki keadaan yang pernah menimpa penduduk desa mereka.
Sesekali Mawar hanya menyinggung soal air bersih PAM yang beberapa minggu terakhir agak sulit mengalir. Sementara ini Mawar menggunakan air sumur untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Sekitar dua blok memang memiliki tandon-tandon penampungan air, namun tetap saja Mawar merasa kebutuhan air mereka masih kurang. Mawar berharap agar program pemberdayaan masyarakat masih bisa terus berjalan atau segera dimulai seperti pembuatan tempe.
Merapi adalah guru bagi kehidupan, hidup mereka terpaut erat dengan berkah Merapi yang menjadikan tanah di sawah dan kebun menjadi subur. Karena berkah Merapi pula mereka mengamalkan sejarah dan menjunjung tinggi nilai budaya, pesan moral masyarakat Jawa yang sangat kental dengan tradisi welas asih. Senasib sepenanggungan, sabar menghadapi cobaan, merasa saling melindungi, membangun bersama-sama dan tangguh.
Cerita Mawar menyiratkan pesan penting bagi siapa saja, bagaimana memaknai hidup, memilih dan menentukan sikap. Bukan kemelaratan atau keterpurukan tiada henti yang mereka keluhkan atau memanfaatkan situasi. Mawar hari itu membuka mata saya agar kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi saudara-saudaranya yang lain. Agar korban bencana di mana pun berada agar terus optimis menatap hidup yang lebih baik.
Dalam perjalanan pulang saya teringat dengan gempa bumi dan tsunami di Jepang, warga Jepang juga diberi apresiasi oleh warga dunia karena budaya antrinya yang masih terjaga walaupun kondisi mereka saat itu sudah darurat. Bencana justru semakin mematangkan sikap mereka menghadapi situasi paling buruk sekalipun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H