Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Becak Kang Suto

5 September 2014   15:20 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:33 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_357351" align="aligncenter" width="610" caption="Sumber: Afandi Sido"][/caption]

Setiap subuh, kesibukan di dalam gubuk pinggir jalan selokan Mataram ini sudah mulai terdengar. Suara seorang bapak mulai terdengar mengumandangkan azan subuh tidak kalah merdunya dengan suara muadzin di mesjid sekitar.

Sedikit-sedikit terdengar suara rengekan kecil dari buah hatinya. Sang Ibu berusaha menenangkan anaknya, takut konsentrasi shalat suaminya terganggu.

Subuh hari adalah awal kehidupan bagi Kang Suto, saat muda-mudi labil baru pulang dari tempat hiburan malam menjelang subuh, Kang Suto sudah bersiap-siap menyambut kehidupannya.

Sementara muda-mudi ini asik berkendara di subuh hari, kelelahan berjoget ria semalam suntuk, botol minuman kerasnya secara tidak sengaja dibuang begitu saja. Botol minuman itu mengenai dinding gubuk Kang Suto, dia kaget dan mengintip keluar.

“Ah dasar anak muda tidak tahu diuntung, senangnya main lempar sana, lempar sini. Sudah pakai kendaraan tapi otak masih dudul aja”. Kang Suto menggerutu sendiri didengar oleh istrinya.

Setelah shalat subuh, Kang Suto mulai mengeluarkan becaknya, dan merapikan seluruh perlengkapan bekerjanya. Tidak lupa  Kang Suto mencium kening istrinya, digendongnya sebentar sang buah hati.

“Sabar ya nak, bapak nyari uang dulu, kamu jangan rewel ya, kasian ibumu kalau rewel terus”. Anaknya pun tiba-tiba tidak lagi bersuara, benar-benar tidak rewel, mungkin paham bahasa bapaknya, walaupun masih kecil.

“Sudahlah Pak, bapak berangkat sana, biar dapat rejekinya banyak, ibu cuma ada air hangat saja pak hari ini, gulanya sudah habis. Istri Kang Suto berusaha membujuk suaminya agar tidak terlalu khawatir dengan dirinya dan anaknya.

“Hehehe, nda apa-apa to buk, sekali-kali nda usah minum teh, ntar diabetes lagi, itu kan penyakit mahal, nda mampu kita bayarnya”. Ucapan Kang Suto justru memancing reaksi cepat dari istrinya.

“Lha di Jakarta katanya bisa tuh orang-orang berobat gratis Pak, rumah sakitnya sampai penuh semua, dokternya juga sibuk sekali Pak”. Sang Istri rupanya mengikuti berita-berita nasional dari koran-koran bekas yang biasa dibawa suaminya.

“Sudahlah Bu, kalau kita bisa nda sakit kan nda ada salahnya, sekalipun gratis, mereka-mereka ini juga dipusingkan sama ngurus surat sana sini, kita kan bukan penduduk sini. Mau ngurus KTP? Surat keterangan tinggal? buat apa to Buk?”.

Dari nada suara Kang Suto, istrinya sudah bisa memahami, sekaligus menerima kenyataan kalau hidup orang susah memang jangan sengaja dibuat susah.

Program gratis-gratis dari pemerintah memang enak didengarnya, gratis di atas, tapi di bawah bukan main punglinya. Kalau kata si Abdur Comic Suci 4, katanya yang gratis-gratis itu ibarat seperti ini, tidur itu gratis tapi tutup mata bayar.

Kang Suto meninggalkan rumah dan mulai mencari penumpang di sekitar jalan Selokan Mataram, masuk di perumahan, siapa tahu ada yang mau di antar sampai Shelter Trans Jogja. Keberadaan becak memang sudah tidak begitu banyak di kota Gudeg ini. Kang Suto hanya satu-satunya yang masih bertahan dengan mata pencaharian dari becak.

Rekanannya yang lain sesama penarik becak sudah banyak yang pulang kampung. Maklum sebagian kawannya rata-rata punya lahan garapan di kampung. Sementara Kang Suto dari dulu hanya dapat warisan becak dari seorang Juragan becak yang mangkal di kawasan Malioboro.

Dari kejauhan seorang pemuda yang membawa ransel terlihat melambai-lambaikan tangannya. Kang Suto menyadari kalau lambaian itu untuk dirinya, dengan gesit dia mengayuh becaknya menuju arah pemuda tersebut.

“Ini rejeki pertama saya, rejeki kita nak, mudah-mudahan kamu sehat-sehat, jangan sakit-sakitan, kita bukan orang kaya”. Pikiran Kang Suto melayang-layang membayangkan mahalnya biaya berobat di rumah sakit.

“Pak tolong antar saya sampai Shelter Trans Jogja ya”. Suara pemuda itu begitu jelas di telinga Kang Suto. Pemuda ini rupanya diam-diam memperhatikan Kang Suto, dia sebenarnya sementara melakukan penelitian, ya pemuda ini seorang Mahasiswa.

“Bapak sudah lama narik becak?” kembali anak muda ini memecah keheningan diantara mereka berdua. Ah dasar, pertanyaan mahasiswa paling dasar, paling dangkal, basa-basi, begitu pikir Kang Suto.

“Iya Dek, sudah sejak seumuran SMP saya bawa becak, soalnya tidak ada keterampilan lain juga”. Kang Suto berusaha memancing ketertarikan mahasiswa ini, walaupun hanya penarik becak, Kang Suto juga pandai menjadi lawan bicara, teman berdiskusi, apalagi dengan mahasiswa.

“Dengar-dengar katanya ada peraturan baru Pak, becak sudah dilarang sering-sering lewat atau angkut penumpang di jalan, mengganggu lalu lintas katanya”. Begitu kata pemuda itu, dia tahu ucapannya ini akan menimbulkan protes dari si penarik becak, Kang Suto.

“Aduh Dek, kita ini ganggu apanya ya? Emang penarik becak seperti saya ini ngebut dijalan, trus apa pernah adek liat kalau yang bikin macet jalan itu gara-gara becak?”.

Justru kawan-kawan seumuran Adek ini yang sering ugal-ugalan di jalan, pakai mobil pakai motor seunak dhewe. Kok malah becak yang dilarang Dek?”. Ternyata Kang Suto memang benar-benar terpancing emosinya.

Mahasiswa ini akhirnya tersenyum, dia sudah dapat apa yang dia cari untuk penelitiannya. Pemuda ini kemudian mengenalkan diri jika dia sebenarnya ingin mengadakan penelitian mengenai moda transportasi di kota Yogya, dan dimulai dengan moda transportasi becak.

“Oalah, Adek rupanya mau meneliti? Kehidupan orang-orang seperti saya ini memang suka diteliti ya Dek, jangan-jangan kemiskinan itu dipelihara biar calon dosen dan staf menteri di negara ini bisa punya acara diskusi dengan sejawatnya yo”.

Pemuda ini seperti kesetrum, dia ingin marah tapi dia berusaha menenangkan dirinya. mahasiswa tersebut rupanya tersinggung dengan ucapan Kang Suto. “ Ah bapak kok bisa bicara seperti itu, pemerintah kan juga sudah bekerja maksimal pak, sudah bikin program macam-macam yang ditujukan menyejahterakan penduduk di negara ini”.

Kang Suto menganggap ini kesempatannya membuat si mahasiswa bungkam. Kang Suto kenyang dengan bahasa-bahasa yang dipakai si mahasiswa. Kenyang di telinga Kang Suto tapi tidak cukup mengeyangkan perut anak dan keluarganya.

“Dek, kalau kemiskinan hanya dipakai untuk meluncurkan macam-macam teori di kampusmu, kamu percuma jadi mahasiswa. Kamu memang hebat membuat bagan-bagan aneh yang membuat kami orang kecil makin tidak bisa berfikir. Kamu bicara kemiskinan di dalam gedung ber-AC, kami ini hanya jadi sampelmu saja”.

“Kami ini hanya pelengkap data-data statistikmu agar penelitianmu terlihat ilmiah, orang-orang seperti saya hanya pelengkap bahan diskusi kalian, menonjolkan kepongahan kalian bicara soal kemiskinan. Seakan-akan kalian yang paling merasakan apa itu kemiskinan, tapi mimpi tidur digubuk ogah”.

Suara Kang Suto tidak terdengar marah tapi menusuk di hati si Mahasiswa, ini curahan hati paling getir dan paling membuat dia merasa malu.

Dan akhirnya sampai juga mereka di shelter Trans Jogja, bagi Kang Suto bodoh amat kalau mahasiswa ini tidak terlalu mendengar ocehannya. Si mahasiswa ini pun sebenarnya belum hilang rasa terkejutnya dengan kata-kata Kang Suto, dipandanginya sekali lagi wajah Kang Suto, dan dia pun mengucapkan terima kasih pada Kang Suto.

Setelah becak Kang Suto berlalu, mobil jemputan si mahasiswa pun muncul berencana hendak menjemputnya. Kepada seorang perempuan cantik yang sudah menunggunya di dalam mobil, si mahasiswa ini pun berkata, “Maaf, kali ini saya naik Trans Jogja dulu, kamu pergilah”.

Wajah perempuan cantik ini tiba-tiba berubah jadi masam, cemberut dan si mahasiswa tidak peduli lagi. Kang Suto kembali mengayuh becaknya, mencari penumpang atau mangsa yang mencoba menjadikannya sampel penelitian.

*Ide tulisan ini muncul setelah baca buku Pramoedya Ananta Toer "Bukan Pasar Malam"

Terima kasih sudah membaca :)

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun