Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ini Curhat Saya dan Curhat Pak Ganjar

28 November 2014   14:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:38 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_378768" align="aligncenter" width="600" caption="Pak Ganjar saat mengisi acara di Kompasianival 22 November 2014. Fotonya kurang jelas, karena sorot lampu di panggung yang terang sekali dan posisi tempat duduk saya agak jauh dari Panggung"][/caption]

Selepas Maghrib giliran Pak Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) yang mengisi acara nangkring Pemimpin Masa Depan di Kompasianival minggu lalu. Kali ini saya lebih antusias dengan fakta-fakta yang disampaikan Pak Ganjar. Pak Ganjar menekankan program utamanya pada infrastruktur jalan. Kualitas jalan di hampir seluruh kabupaten kota Jawa Tengah masih jauh dari layak. Kenyataan ini juga diakui oleh Pak Ganjar langsung di hadapan seluruh kompasianer.

Saat sesi pertanyaan dimulai, seorang penanya yang berasal dari Cepu bertanya kepada Pak Ganjar. Penanya ini menanyakan soal lambatnya perbaikan jalan di daerah Cepu dan menghubungkannya dengan sumber daya minyak yang ada di Cepu. Pertanyaan ini sempat dijawab Pak Ganjar dengan pertanyaan balik yang menohok. Pak Ganjar menanyakan asal daerah dan tempat tinggal si penanya, yang rupanya sementara menetap di Tangerang. Pak Ganjar menantang santai kira-kira mau tidak si penanya ini pulang ke Cepu membangun daerahnya?

Misteri minyak dan pembangunan yang dinilai lamban di Cepu akhirnya dijawab juga Pak Ganjar. Menurut Pak Ganjar, masalah perizinan yang berbeli-belit yang menyulitkan perusahaan melakukan pengeboran di daerah Cepu. Kondisi ini dilihat ditangkap sebagai peluang oleh Kabupaten Bojonegoro, dan memberi ijin pengeboran di daerahnya sekarang dikenal dengan sebutan Blok Bojonegoro. Hasilnya sangat jauh berbeda, Bojonegoro dan Cepu jaraknya berdekatan, namun jalan di Bojonegoro jauh lebih baik dibanding Cepu. Catatan perjalanan saya selama di Cepu bisa di baca juga disini,(Cepu)

Kembali pada pembahasan infrastruktur jalan, Saya punya pengalaman kurang menyenangkan karena kondisi jalan di daerah Purwodadi, Grobogan, Blora, dan Pati. Setelah keluar dari Kota Jogja dan Solo, perbedaan kondisi permukaan jalan baru terasa, bedanya sangat jauh. Gara-gara buruknya kondisi permukaan jalan itu, saya menempuh perjalanan dengan sepeda motor dari Jogja – Pati hingga 8 jam, padahal normalnya bisa 5-6 jam.

Rata-rata, kondisi jalan yang bagus dan lumayan mulus ini hanya ada di kota kabupaten saja, begitu keluar dari kota kabupaten maka jalan berlubang, aspal retak sana-sini ditambah beban volume kendaraan angkutan barang yang tiap hari lalu lalang semakin memperburuk kondisi jalan di jalur tersebut. Saya melakukan perjalanan menuju Jogja-Pati sekitar bulan April 2014 tahun ini. Bulan Agustus tahun ini saya kembali melewati jalur Purwodadi-Blora menuju Cepu dan kondisi jalannya masih sama, krutuk-krutuk. Kecuali di daerah Blora, sedang ada pengaspalan jalan. Kata Pak Supir yang mengantar saya, tiap tahun setiap mau lebaran jalan-jalan ini di kerja kembali.

Dua hari yang lalu saya kembali menempuh perjalanan cukup jauh dari Jogja menuju Tegal. Perjalanan dari Jogja ke Purwekerto tadinya lumayan asiklah, karena saya masih bisa tidur di bus tanpa merasakan jalan krutuk-krutuk atau jalan rusak. Nyatanya sampai di Purwekerto karena harus mengganti bus khusus ke Slawi (Tegal) dan tidak ada pilihan selain naik bus biasa (tidak ada AC).

Tidak apa-apa tidak ada AC yang penting jalanannya masih nyaman dilalui, begitu pikirku. Dengan kondisi badan yang masih remuk gara-gara semalaman tidur di bus kemudian lanjut di masjid, saya akhirnya meninggalkan Purwokerto lalu menuju Slawi. Ternyata bayangan saya soal jalanan mulus itu buyar sudah.

Semakin jauh busnya berjalan bukannya jalan yang semakin membaik, tapi kondisinya makin buruk. Masuk Bumiayu, Margasari kepala saya makin oleng, tiba-tiba mabuk darat menyerang, ditambah sebagian penumpang di bus yang merokok, perasaan saya makin kalut.

Ini perjalanan paling menyiksa bagi saya, saya sudah jahat barangkali, karena sepanjang perjalanan itu saya tidak bosan-bosannya mengomel. Mengomel sama keadaan, sama pemerintah dan juga masyarakatnya. Saya agak heran, kenapa penumpang di bus ini mukanya biasa-biasa aja, padahal busnya sudah oleng sana oleng sini. Sementara saya harus berperang dengan perasaan mual hebat saat itu.

Sebenarnya, saya belajar banyak juga dari perjalanan dan kesempatan melihat beberapa kabupaten di Jawa Tengah, dari ujung timur dan barat Jawa Tengah (kecuali Magelang, Semarang, Kudus kondisinya jauh lebih baik). Namun selebihnya di daerah Purwodadi dan arah Purwekerto – Tegal, saya merasa miris.

[caption id="attachment_378771" align="aligncenter" width="600" caption="Alun-Alun Slawi, salah satu ikon kota Slawi adalah Tugu Poci, daerah ini dikenal sebagai sentra produksi teh poci."]

14171338151018226255
14171338151018226255
[/caption]

Ini opini pribadi saja, mengamati apa yang terjadi khususnya masalah sistem transportasi di beberapa daerah Jawa Tengah. Saya mencoba menjawab pertanyaan yang ada di kepala saya, soal mengapa orang-orang di bus terlihat santai-santai saja. Apakah mereka tidak pernah bepergian ke daerah lain selain daerah asalnya? Coba saja mereka sempatkan jalan-jalan ke Jogja dan merasakan transportasi di Jogja, mungkin mereka bisa protes.

Tapi tidak relevan juga membandingkan kabupaten kecil dengan Kota Jogja, lagi-lagi urusannya pasti mengenai anggaran dan bla-bla. Orang-orang yang saya amati di bus dalam perjalanan pulang-pergi Purwekerto-Slawi mungkin sudah bersyukur, sangat bersyukur dengan transportasi yang sementara ada selama ini.

Pandangan umum soal kebutuhan orang desa, orang di daerah perbatasan wilayah selalu dipandang tidak muluk-muluk. Infrastruktur seadanya sudah cukup memuaskan mereka, dibanding harus jalan kaki. Pertanyaan lain seperti “kebutuhan orang desa apa sih, sampai harus disediakan bus yang nyaman, jalannya cepat-cepat diperbaiki?”

Pertanyaan sinis ini yang menjadikan orang desa senang-senang saja dengan apa yang mereka dapat sekarang. Mereka belum punya kesempatan untuk melihat yang lebih baik, infrastruktur yang lebih baik. Satu hal yang saya pelajari adalah, orang desa sudah cukup sabar, sangat sabar malahan dengan keadaan serba terbatas di daerah mereka. Mudah-mudahan Pak Ganjar dan janji Presiden Jokowi untuk pembangunan desa segera terealisasi (cukup sering dibahas dalam debat capres-cawapres), khususnya pada masalah infrasturktur jalan.

----

[caption id="attachment_378774" align="aligncenter" width="448" caption="Saya ikutkan foto narsis saya di depan booth Evercoss, soalnya reportase saya kemarin oleh beberapa teman dianggap kurang meyakinkan hadir di acara Kompasianival ;)"]

1417134314350224184
1417134314350224184
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun