Saya mengenal sebuah keluarga di Depok Jawa Barat. Keluarga itu punya tiga anak semuanya laki-laki, dua orang sudah mendapat pekerjaan di luar kota. Tinggal di bungsu yang kuliah di tahun awal, tinggal bersama ibunya. Ayah mereka bekerja di Kalimantan dan pulang ke Depok sebulan sekali bahkan sering dua bulan sekali.
Mungkin karena mengganggap sudah berhasil membuat dua anak tertuanya mandiri sehingga sang ibu bersikap santai mendampingi anak bungsunya, seperti halnya dua kakaknya. Ternyata anak bungsu ini berbeda. Suatu hari, sang ibu mendapatkan sang anak tidak pulang. Ditunggu sehari, dua hari tidak ada kabar. Sampai seminggu tidak ada kabar dan sang ibu sudah mencari ke teman-temannya bahkan lapor polisi. Sang ayah yang bekerja di Kalimantan pun kembali ke Depok untuk mencari anak bungsunya.
Tepat tiga minggu setelah " hilang" si bungsu kembali ke rumah keluarga itu. Dia menjadi sangat pendiam dan berbeda dari sebelumnya. Tidak mau bergaul dengan tetangga dan memberi aturan kepada ibunya sendiri atas beberapa soal. Semisal, melarang ibu untuk ikut arisan Dasar Wisma yang ada di lingkungan rumahnya. Dia juga mengkritik cara ayahnya dalam salat dan berdoa. Juga beberapa hal lainnya.
Setelah ditelaah lebih jauh, dimana ayahnya sampai mendatangkan uwaknya yang paham agama untuk mengobrol dengan sang bungsu, didapat kenyataan bahwa sang bungsu telah terpengaruh oleh faham agama dengan aliran berbeda. Aliran berbeda di sini bisa disamakan dengan intoleransi yang menjurus pada aliran radikal.
Ada beberapa ciri khas adalah mereka merasa eksklusif, menyendiri, dan menganggap cara beragama orang lain salah karena beberapa alasan . Jika aliran ini dibiarkan tumbuh pada seseorang atau komunitas, bisa diperkirakan radikalisme seperti ini akan menjurus ke terorisme.
Mungkin kita masih ingat isi surat wasiat pelaku bom gereja katedral Makassar dan gadis pelaku penyerangan di Mabes Polri tahun lalu. Beberapa pesan dari mereka nyaris sama, seperti menghindari bank dan riba, melakukan salat dengan benar dll. Dua pelaku ini tidak saling mengenal dan tidak ada hubungan secara kasat mata, namun mereka 'tersambungkan' dengan ideologi yang mereka yakini merupakan jalan agama yang benar. Itulah faham radikal.
Sehingga, harus ada upaya yang begitu keras untuk memecahkan rantai tak terlihat kasat mata yang bernama radikalisme itu.
Bagaimana caranya ? Kita harus berkolaborasi multipihak atau lima pihak yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, pelaku usaha, media, dan komunitas/masyarakat termasuk pelaku seni dan budaya. Hanya dengan kolaborasi masalah ini akan terselesaikan dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H