'Jika ada yang bertanya kepadaku, apakah Surga yang telah nampak di dunia ini? Aku menjawabnya: Ibu.'_Ratih Maryam_.
Aku tak dapat berhitung berapa kali airmata terurai, dan isak dibalik senyum yang kukembangkan pada dunia. Airmata sebagai wewakil dari sakit hati, ketidak-ikhlas-an menerima penolakan dari beberapa pilihan hidup. Bagaimana mungkin aku memilih melawannya dengan ucapan? Sementara pada dirinya telah bernaung keindahan janji Illahi.
Surgaku. Separuh tubuh, separuh darahku: Ibu. Lama, aku merangkum kata demi kata yang terlontar atas upaya juangku sebagai hardik. Aku dikerdilkan Surgaku sendiri. Surgaku tak pernah memujiku!
Bukan sekali, aku berandai Ibuku seperti Ibu-ibu kawanku. Jika berkata-kata halus terdengar, mengusap kepala dan memberi senyum bangga sambil mengucap rasa bangga atas perbuatan jerih payah kerja kawanku. Aku iri. Aku mengingkari kehadiran Ibu kandungku sendiri yang kupertanyakan: mengapa tak sesuai inginku sendiri?
Pernah. Ibu menolak tumpukan puisi yang ku sodorkan sebagai bacaan disela waktu luang. Tak pernah memuji pada setiap piagam kejuaraan, wajahnya masam. Beliau tidak sebangga Guru-guru yang kian memuji kepiawaian urai kalimat yang selalu hadir di Mading sekolah.Â
Pernah. Ibu dingin atas aksi sosial. Berbagi ilmu agar terhapus buta aksara. Ibu bilang, "cari kerja yang dapat uang!, tolong diri sendiri!".
Pernah. Aku berniaga sebagai pilihan kerja. Ibu murka. "Susah payah sekolahkan tinggi! Seandainya menjadi seperti ini, cukuplah sekolah dasar!".
Beliau nampak lebih bangga pada Pegawai di gedung-gedung tinggi. Ibu tersenyum saat tubuhku berbalut jas dan sepatu tinggi. Pengabdi Negeri, menjadi seseorang yang patuh pada sistem yang dibuat orang lain. Sistem yang selalu bertolak belakang dengan pemikiranku.
Apakah bertahan lama? Tidak. Ibu tak pernah tersenyum lagi saat seketika tahu jumlah upah sebagai Pengabdi Negeriku sendiri. "Tigaratus ribu? Bahkan ongkos sekolahmu selama sebulan melebihi angka itu!"
Kalimat-kalimat intonasi tinggi. Seolah serbuan anak panah yang dengan sengaja diarahkan pada dadaku, menembus jantungku. Dan mampu memberi tenaga ekstra pada kedua kakiku untuk beranjak dari rumah. Ibu...Ibu...Ibu ... Surgaku, kapan bangga dan memujiku?Â
Suatu petang, handphoneku berbunyi. "Pulang, ada sayur bambu muda, kesukaanmu." Aku sedang berapa dalam ruang kamar berukuran tiga kali empat meter. Ruang yang kusewa sebagai ruang kerja yang tak jauh dari kawasan tempat tinggalku. Aku beranjak agar tak lagi serbuan anak panah menembus jantungku. Kesukaanmu? Aku menangis hingga segukanku. Aku pulang.