[caption id="attachment_121853" align="alignnone" width="300" caption="Mimik muka Romo Mangun tampak berseri"] [/caption]
“Mereka bisa memperbaiki permukimannya asal dikasih kesempatan. Penggusuran tak akan menyelesaikan masalah sebab mereka akan mencari tempat lain untuk tempat tinggal mereka. Beri kesempatan untuk memperbaiki lingkungannya sehingga mereka tidak hidup kumuh.”
Itu adalah pernyataan dari Y.B Mangunwijaya ketika peristiwa penggusuran kampung code tahun 1986. Y.B Mangunwijaya atau yang akrab disapa Romo Mangun sampai rela mogok makan demi mempertahankan daerah yang dianggap kumuh oleh Pemerintah. Awal mulanya kampung itu hanya berbentuk petak rumah yang terbuat dari kardus bekas, karung goni, dan plastik bekas.
Karena jasanya untuk kampung Code, masyarakat di kampung ini menganggapnya sebagai tokoh yang tak kan terlupakan dalam sejarah kampung Code. Menurut Bandung, penduduk asli Code dulu ketika Romo Mangun tinggal di Code. Ia sempat merasakan bagaimana Romo Mangun mendidik warga. “Romo Mangun itu disegani oleh semua orang, bahkan preman yang ada disini dulu juga patuh dengannya” ujar Bandung.
Bangunan Kampung Code yang dibuat oleh Romo Mangun seringkali mendapat kritikan oleh para ahli arsitektur. Bagaimana tidak? ia membangun rumah di atas saluran pembuangan kotoran yang seharusnya tidak dapat untuk pondasi sebuah bangunan. Namun, Justru desain arsitekturalnya ini terbilang unik dan mempunyai struktur yang kokoh. Bahkan orang-orang Jepang pun kagum ketika gempa melanda Jogja, ‘bangunan’ yang pernah dikritik oleh para ahli arsitektur itu justru tetap kokoh berdiri hingga kini.
Romo Mangun sempat mengenyam pendidikan arsitektur di ITB pada tahun 1959. Tak puas menimba ilmu ia kemudian melanjutkan ke Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, di Jerman pada tahun 1960.
Ia lahir tahun 1929. Selama hidupnya ia habiskan untuk menjadi seorang rohaniawan, arsitek dan sastrawan. Dedikasinya untuk masyarakat kaummiskin begpitu besar. Ia memiliki pribadi yang sungguh Humanis. Terbukti dari berbagai karya arsitekturnya hampir semua bangunan yang ia design berfungsi untuk kepentingan masyarakat. Beberapa karya arsitekturnya menonjolkan kekuatan sosial budaya dan lokalitas sebagai akar proses berdesain.
Bangunan yang telah ia rancang tak sedikit jumlahnya. Beberapa karya arsitektural itu antara lain Komplek Sendang Sono, Gedung Keuskupan Agung Semarang, Gedung Bentara Budaya Jakarta, Gereja Katolik jetis Yogyakarta.
Ia adalah sosok arsitek yang memiliki karakter religius dan sangat peduli terhadap kaum kecil. Jarang dapat ditemui sosok arsitek yang berkepribadian seperti dirinya, melihat banyak arsitek lebih mementingkan proyek-proyek kepentingan profit daripada untuk masyarakat marginal
[caption id="attachment_121854" align="alignnone" width="300" caption="Romo Mangun berbaur dengan warga kampung Code"]
Tahun 1992,Romo Mangun mendapatkan penghargaan arsitektur internasional yaitu Aga Khan Award for Architecture atas karyanya karena konsep arsitekturalnya yang sukses ditujukan kepada kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam bidang desain kontemporal, sosial housing, pengembangan dan pembangunan komunitas.
10 Februari 1999, Romo Mangun meninggal dunia. Ia meninggal pada saat rehat acara Simposium. Waktu itu Ia sedang berbincang dengan Mohammad Sobari lalu tiba-tiba tubuhnya memberat dan jatuh terkulai. Meskipun Mangunwijaya telah tiada semangat kemanusiaannya selalu dikenang oleh masyarakat Kampung Code. Tidak pernah hilang sosok dirinya dalam sejarah Kampung ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H