[caption id="attachment_106116" align="alignnone" width="300" caption="Pak Tukiran bersama pengunjung"][/caption] [caption id="attachment_106118" align="alignnone" width="300" caption="Pak Tukiran di kandang kuda balap Mutiara gading"][/caption] [caption id="attachment_106119" align="alignnone" width="300" caption="Istri Pak Tukiran meracik makanan kuda"][/caption]
Apakah alat transportasi tradisional yang murah bagi wisatawan dan juga sebagai simbol budaya di Yogyakarta? Andong lah jawabannya.
Andong sebagai simbol pariwisata menjadi sebuah promosi wisata yang nyaman dan mengesankan bagi wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri. Yogyakarta merupakan salah satu kota yang cocok sebagai tempat penarik andong beraktualisasi. Malioboro menjadi tempat berkumpul para kusir andong untuk mengais rezeki.
Pak Tukiran, potret kusir andong berkepribadian baik, sopan, ramah, rapi dan murah senyum. Ia bukan merupakan kusir andong yang suka menonjok harga mahal kepada penumpang, ia tidak pernah memasang tarif tinggi. Malah ia dengan suka rela memberi ongkos lebih murah dari kusir andong lainnya, masih boleh ditawar pula.
Ribuan kusir andong di Yogyakarta. Namun, tidak semua memiliki sifat seperti Pak Tukiran. Ketika ditanya mengenai pengaruh munculnya alat transportasi Trans Jogja, ia berujar "Penghasilan tiap orang itu sudah diatur sendiri- sendiri sama Gusti Allah, jadi saya ikhlas saja berapapun yang saya dapat, saya syukuri, yang penting saya enjoy dengan pekerjaan saya"
Ia bertempat tinggal di Kota Gede tepatnya Desa Bantul, Kenalan, Banguntapan RT.04/RW.04. tempat itu ditempuh sekitar satu jam dari kota. Di desa itu masih terlihat asri dan belum mendapat sentuhan pembangunan dan pengembangan dari pemerintah. Kondisi jalan desa masih macadam (jalan berbatu). Di sisi kanan dan kiri jalan banyak genangan air karena hujan.
Beberapa tetangga mengenal baik sosok Pak Tukiran. Ia dikenal warga sebagai penarik andong, juga guru ngaji bagi anak-anak di Kenalan.
Selama sepuluh tahun bekerja sebagai kusir andong, ia tidak pernah mengeluh menjalani pekerjaannya. "Saya mencintai pekerjaan ini dengan segala resikonya." Ujar pria kelahiran Bantul, 30 Desember 1952 silam.
Pria rendah hati ini mengaku pernah diwawancarai oleh Metro TV. Ia senang sekali. Ia tidak pernah menyangka dari proses wawancara itu ternyata ia diberi imbalan sebesar 1 juta rupiah dari stasiun televise milik Media Group itu. Hal itu diluar dugaannya, dirinya tidak mengira akan semujur itu. "Saya gak tau, saya kira cuma mau tanya-tanya aja. Saya bingung kok andong saya yang dipilih buat diwawancarai padahal masih banyak andong lain yang lebih bagus daripada andong saya? Ya Alhamdulillah Puji syukur" ucapnya tersenyum
Andong miliknya merupakan warisan turun temurun. Kini di rumahnya terdapat Sembilan ekor kuda milik keluarga besar Pak Tukiran. Tidak semua dimanfaatkan unyuk dijadikaan kuda andong. Ada kuda balap, namanya Mutiara Gading. Kuda berwarna cokelat muda itu pernah menjuarai lomba balap kuda di beberapa daerah. Piala-piala yang diraih oleh kuda tersebut dipampangnya di ruang tamu.
Seiring berjalannya profesi Pak Tukiran selama sepuluh tahun, kereta andongnya telah banyak mendapat sentuhan modifikasi. Awalnya kereta andongnya masih sangat sederhana, tanpa aksesori tambahan. Kini andongnya diberi cat kuning menyala. Bagian pijakan tangga diberi batu hias. Warna kulit jok, ia ganti dengan warna merah muda. Dengan perubahan masif ini ia bisa meningkatkan pendapatan.