Mohon tunggu...
Ratih Putri
Ratih Putri Mohon Tunggu... Pengacara - Perenung Ulung

Aku menulis maka aku abadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sringingi Menjadi Lampu

5 November 2011   05:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:02 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sringingi Menjadi Lampu

Namanya Sri. Nama panjangnya Sringingi. Lebih sering dipanggil Sri walau tidak sedikit pula yang memanggilnya ngingi. Perempuan eksotis kelahiran tanah sunda. Sunda sejati, logat teh mah da-nya belum bisa hilang penuh. Giginya gingsul disebelah kiri atas, seksi kalau sedang tersenyum malu. Di pipi kanannya ada lesung pipi setitik jari, kalau tertawa manisnya luar biasa. Berkulit sawo matang bersih, walau agak legam matahari di siang bolong menjadi lighting paling indah untuk kulitnya. Kakinya lajang, lurus dan tinggi bila sedang menggunakan heels tingginya termasuk pada kategori standar model internasional. Dahsyat memang si cantik asal SMA Negeri 5 Bandung ini.

Di suatu pagi yang dingin, di deretan Perumahan Pharmindho Bandung tangannya bergetar hebat, berlahan membuka amplop putih dengan kop surat Institut Seni Indonesia. Seperti berkomat kamit, mulutnya melafalkan kalimat kata per kata dengan hati-hati sampai pada kalimat “ selamat anda diterima pada jurusan Tata Rupa Panggung”. Ia meloncat girang, berteriak dengan vokal yang merdu. Teriakannya tak beraturan, keras, lantang dan menimbulkan nada. Aneh, indah betul teriakannya layaknya koor yang bersamaan. Sinting! Berteriak saja sudah merdu.

Tiga hari setelah dirinya yakin bahwa surat itu memang ditujukan untuknya, Sri mengemasi barang-barangnya. Membawa 3 koper besar yang dengan susah payah ia bawa. Satu koper baju kece, satu koper baju santai dan satu koper baju ‘nyeni’. Tiga koper dan isinya hanya baju. Entah apa yang ada di benaknya, satu-satunya sepatu yang ia bawa hanya converse butut yang sekarang dikenakannya, bahkan peralatan mandi atau tas-tas kecil tidak terpikirkan sedikitpun untuk dibawa. Hanya ransel body pack ukuran gunung dengan dompet Milk Teddy dan laptop Samsung kesayangannya beserta charger didalamnya. Sungguh aneh! Perjalanan Bandung-Semarang dilanjut Solo dengan nekatnya pula ditempuh dengan bus ekonomi Sahabat. Lima puluh ribu rupiah sampai jawa tengah, padahal Sri pamit dengan ayah bundanya untuk berangkat menggunakan pesawat seharga lima ratus enam puluh ribu rupiah.Oh Tuhan, perempuan ini gila!

Setelah merasakan ugal-ugalan versi abang bus, oper bus berkali-kali dengan alasan berbeda tujuan akhir, pengamen buas yang meminta kalung rolling stone yang tengah ia kenakan hingga om genit yang jika Sri lugu akan menjadi korban traficking. Sri sampai juga pada terminal tirtonadi Solo. Akhirnya Solo menyapa Sri dengan ramah.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku hanya diam. Lemas tertunduk setelah argumentasiku tentang panggung melayang dibantah habis-habisan. Proyek mustahil katanya, hanya ada diangan-angan dan tidak mungkin terwujud. Sri memandang nanar padaku, memicingkan sebelah matanya dan berbisik pada Bima. Entah apa yang dibisikkan namun bisikkan Sri berhasil membuat Bima tertawa terpingkal-pingkal.

Aku mematikan layar presentasiku, menggulung kertas desain panggungku dan membereskan beberapa berkas tercecer. Ruang ini kosong, tinggal aku sendirian. Refleks aku naik ke atas mini panggung disebelah meja presentasi. Membaca beberapa dialog monolog yang kutulis sendiri dengan ekspresif. Menangis, tertawa dan berceloteh seorang diri. Meliuk-liuk lentur beberapa kali. Sampai pada plot terakhir. Aku berteriak kencang, keras tapi tidak merdu. Nafasku tersengal, hampir mati.

Masih dalam keadaan nafasku yang memburu, aku mencoba berfikir jernih tentang sosok 173 cm yang dengan misterius meyodorkan air mineral dihadapanku. Sambil meneguk air mineralnya dan berpura-pura tidak terlalu kelelahan dengan monologku, aku mengulurkan tangan mengajaknya berjabat. Ia tersenyum dan berkata “ aku Dudung”

“ Konsep panggung melayangmu gak mustahil kok” dia yang bernama Dudung memulai pembicaraan penuh kharismatik. Aku yang masih dengan sekuat tenaga mengatur nafasku setengah kaget dengan perkataannya.

“ Itu jenius! Artistik sekali” Dudung melanjutkan kalimatnya. Aku mendengarkan dengan seksama, nafasku yang mulai tenang sangat membantu untuk berkonsentrasi pada pembicaraannya.

“ Pantaslah kebanyakan anak TRP menolaknya, karena idemu terlalu bagus! tidak cocok dengan naskah yang akan dipentaskan. Naskah murahan dengan konsep panggung mega” Ia berbicara setengah marah. Mengepalkan tangannya dan meninju lantai beberapa kali.

“ Ngomong-ngomong, aku anak teater tingkat lima. Dua tahun diatasmu. Tadi aku datang terlambat di presentasi konsep panggungmu. Ketika semua orang mulai mencecarmu dengan banyak pertanyaan bodoh aku justru tertarik dengan konsep itu. Tadinya aku ingin berbincang lanjut tentang konsep panggungmu, tak sengaja aku melihatmu sedang bermonolog. Daripada kau terganggu, aku menungguimu hingga selesai. Ternyata kau berbakat juga ya” Dudung berbicara panjang lebar sembari sesekali berhenti untuk menatapku yang terbelalak dengan penjelasannya. Ia tersenyum dan menjelaskan lebih jauh tentang proyek pentas keliling kota ke semua kota berawalan huruf B. Aku hanya tercengang, tak sanggup berbicara banyak. Di depanku sedang berkumpul ilmuan dunia yang terwakili oleh diri satu orang. Dudung kau dewa.

Semenjak kejadian itu aku mulai dekat dengan si Dewa Ide. Berdiskusi banyak hal dari mulai panggung, naskah hingga filsafat. Aku sungguh menikmatinya. Dekat dan selalu berada di sisi bintang kampus ini. Nyaman sekali berada dengannya, semua ide mustahilku berlahan-lahan ia bantu untuk diwujudkan. Pada beberapa proyek teatrikalnya, tanpa segan ia melibatkanku. Jadilah aku yang dulu pemalu, pesimistis, dan selalu ketakutan berubah menjadi si konseptor penuh percaya diri.

Sampai pada sebuah waktu. Ketika semua orang berlomba untuk turut serta dalam proyek ini. Ketika para sponsor berlomba-lomba untuk mensponsori acara megah ini. Ketika semua seniman dari seluruh dunia rela menyisihkan waktunya untuk datang melihat monolog paling hebat sepanjang tahun. Dengan arif Dudung menolakku untuk turut serta.

Aku hanya diam, menghujani Dudung dengan makian dalam hati. Beberapa hari aku tak bicara dengannya. Beberapa hari juga aku tak datang ke kampus. Hanya mengurung diri di dalam kamar dan terus menangis. Bagaimana mungkin ia tidak melibatkanku dalam proyek raksasa ini? Padahal ini adalah kesempatan yang kutunggu-tunggu untuk merealisasikan semua ideku.

Suara kamarku diketuk pelan hampir tak bersuara. Aku tak bergeming menyangka itu hanya ranting pohon yang tak sengaja terkantuk pintu. Ketukan berikutnya terdengar jelas, diketuk dengan nada. Aku bangkit dari tidurku, membuka pintu kamar dengan wajah tak karuan.

Fiksi, akan kujelaskan beberapa hal” Dudung berdiri dihadapanku. Berpakaian T-Shirt dengan tulisan ‘God is a Script Writer’. Wajahnya masih rupawan dan jarinya tentu saja masih keriting. Aku menggeleng dan hendak menutup pintu kamarku. Dengan sigap Dudung mencegahnya dan berlutut padaku.

“ Fiksi maafkan aku. Sekarang aku sangat membutuhkanmu. Tidak ada yang bisa kuajak berdiskusi semenegerti kamu fik. Tidak ada yang bisa menterjemahkan isi kepalaku sebaik kamu. Aku sungguh-sungguh butuh kamu. Bahkan Sri tidak bisa memainkan monolog ini dengan jiwanya. Ia datar dan kaku meskipun intonasi dan lafalnya indah sekali. Aku butuh kamu untuk menumbuhkan jiwa itu” dudung merengek.

“ Tunggu 10 menit lagi, aku mandi dulu” aku menjawab singkat dan ketus. Dudung bangkit dari posisi berlututnya dan memelukku. Diam-diam aku menangis, rindu sekali dengan sosoknya.

Kusaksikan dengan mata kepalaku seorang aktris berbicara tanpa makna. Kurasakan dengan segenap pori-pori diseluruh tubuhku seorang manusia ciptaan Tuhan yang elok ini tidak bisa membaca penuh rasa. Kupandang dengan mata dan telingaku seorang juara Monolog Nasional bermain monolog dengan buta, tanpa pandangan penuh hayat. Gagal total latihan kali ini. Hambar tanpa rasa.

Seorang astrada mendekatiku, berbisik pelan untuk segera mengevaluasi penampilan Sri. Aku mengangguk menyuruhnya lekas mengumpulkan seluruh divisi keaktrisan. Perlahan kuhela nafas panjang, berdag-dig-dug dengan irama jantungku. Kucoba mengumpulkan segenap tenagaku agar mampu berbicara jujur untuk keseluruhan evaluasi kali ini.

Lingkaran selesai dibuat. Dudung memulai pembicaraan, mengevaluasi beberapa hal sepele yang berdampak besar. Terus berbicara dengan nada penuh emosi sementara yang diajak bicara diam tak paham apa maksudnya. Ya, aku mengerti betul perasaannya. Kumpulan orang dungu disini. Mengeksplorasi sendiri saja susah apalagi berinisiatif. “ Mengenai keaktrisan akan dievaluasi Fiksi” Dudung melemparkan wajahnya padaku.

Semua mata beralih padaku. Memandangku dengan tatapan heran. Aku maklum saja, tidak mungkin mereka akan mempercayai saran dari seorang desainer panggung yang konsepnya tidak pernah diterima. Mereka pasti tidak percaya kalau aku jelaskan tentang keharusan seorang aktris menyatu dengan naskahnya.

“ Sri, kau tidak menyatu dengan peran dalam naskah” aku sontak berbicara itu. Tidak ada yang terfikir selain ucapan tadi. Aku tersenyum pada Sri mencoba menghilangkan kesan sok tau.

“ Kamu gila? Bagaimana mungkin aku menyatu dengan lampu? Aku tidak akan pernah bisa menjadi lampu sinting!” benar dugaanku, Sri akan menjawab seperti itu.

“ Peranmu menjadi lampu Sri, kau harus bisa menyatu sebagai lampu. Dirimu haruslah merasakan menjadi lampu” aku kembali menjawabnya dengan susah payah. Takut Sri keberatan dengan saranku.

“ Bagaimana caraku agar bisa seperti lampu?” Tebakanku meleset. Ternyata Sri mempertimbangkan saranku. Ia terlihat tak peduli padaku, tapi matanya berrbicara padaku untuk minta bantuan.

“ Mulailah dengan berfilsafat tentang lampu. Cari hakikat lampu. Pelajari dan dalami. Karakter itu pasti melekat padamu Sri. Kau aktris berbakat, pasti tidak sulit untukmu” aku meyakinkan Sri. Mencoba berkomunikasi dengan tekanan pada nada bicaraku.

Sri bangkit dari duduknya, keluar dari kerumunan kami. Semua hening, bingung harus berbicara apa. Karena kenyataan itu memang benar. Sri tidak bermain dengan lepas. Ia terlalu terikat pada naskah. Peran sebuah lampu pada monolognya dimainkan tanpa kelekatan yang dekat. Ia tanpa rasa. Jiwanya hilang jauh dari karakter lampu yang seharusnya ia bawa ke atas pentas.

Malam harinya, Dudung datang ke kosku mengajakku makan nasi kucing seharga seribu lima ratus rupiah. Aku mengiyakan dengan cepat, perutku memang sulit diajak bertahan. Sampailah pada angkringan langganan kita, tepat di depan gerbang Naga ISI. Mengisi perut yang sedari tadi merongrong kelaparan.

“ keren deh tadi evaluasi kamu. Mulailah dengan berfilsafat tentang lampu. Hahahaha kok bisa kepikiran yah kamu wahai nona fiksi si milikiti weleh weleh” Dudung memperagakan gaya bicara Tukul dengan versinya sendiri.

“ Bukankah semuanya kembali pada filsafat?”

“ Betul. Tepat sekali. Makanya aku gak nyangka kamu bicara sampai situ. Emang sih Sri terlalu datar. Aku bisa merasakannya itu. Kau harus membantunya fiksi, karena melekat dengan lampu itu sulit sekali”

Diskusi panjangpun dimulai. Sebuah proyek mega yang dihadiri dan dirindui jutaan seniman dunia ternyata lahir dari sebuah tempat angkringan di kota Solo. Panggung hebat serta mahakarya lainnya diciptakan dari para petualang ilmu yang hanya makan nasi kucing seharga seribu lima ratus rupiah. Ternyata tempat makan dan apa yang dimakan tidak bisa dijadikan alasan pembeda sebuah kualitas diri. Hahahaha lucu.

Pukul 01.00 dini hari. Dudung mengumpulkan kertas coretan kami, memesan segelas lagi kopi hitam kesukaannya. Aku mulai diserang kantuk yang hebat namun Dudung tetap pada posisi duduknya dan enggan beranjak. Aku menelungkupkan kepalaku pada meja di depanku. Hanya mencoba tidur sebentar. Tanpa sadar tidurku pulas. Capek rasanya hari ini.

Setengah sadar aku terbangun. Kudapati tubuhku tidak berada di tempat terakhir aku memulai tidur. Aku berada di punggung seseorang dengan sesekali guncangan akibat ketidakseimbangannya menopang tubuhku. Dudung menggendongku dengan tertatih. Aku terlonjak bangun dan meminta Dudung menurunkanku. “ Tidurmu nyenyak, tak kuasa membangunkan ruhmu untuk kembali sejenak. Kau pasti sedang mampir di surga”. Aku tersenyum, berterima kasih padanya. Tiba-tiba kantukku hilang.

Pagar kosku sudah terkunci rapat. Beberapa teman kos tidak menjawab telfonku untuk membukakan pintu gerbang. Aku nekat, kupanjat pagar setinggi 4 meter itu. Tak peduli beberapa laki-laki menyorakiku dengan naif. Aku mengacungkan jari tengahku pada mereka setelah berhasil melewati pagar tinggi itu. Untung Dudung tak melihatku sekonyol ini.

Aku berjalan mengendap menuju kamarku di ujung blok ketiga dari rumah utama. Kupasang kupingku baik-baik, ada yang masih menonton tv sambil sesekali cekikikan. Ada yang lampu kamarnya mati dan hening tanpa suara, ia sudah tidur pastinya. Tidak sedikit pula kudengar suara tertawa seorang laki-laki yang ditahan karena takut ketahuan, itu pasti dari kamar si Mimin yang menyelundupkan pacarnya diam-diam di kamarnya.

Sampai pada depan blok ketiga, aku terbelalak kaget. Di depan kamarku Sri menungguku sampai tertidur. Ia membawa 3 koper dan satu boneka Elmo besar yang dipelukknya. Sri sadar dengan kedatanganku ia segera bangun sambil menguap lebar. Tangannya memberikan isyarat agar aku segera membuka pintu kamarku. Aku mengangguk sebelum bertanya banyak padanya.

Dengan sembarang, Sri menyimpan kopernya dan siap tidur di kasurku. “ Aku tidur di kosmu dulu sampai aku bisa melekat dengan peranku”. Itu saja kalimatnya dan ia benar-benar tertidur pulas. Aku tersenyum, menyelimutinya dengan sarung butut yang kutemukan di masjid kota Semarang ketika tengah travelling kesana.

“ Harus kumulai dari mana Fiksi?” Sri bersemangat sekali memulai sesi belajar kita malam ini.

“ Kau pahami dulu tentang lampu. Apakah lampu itu?” aku bertanya curiga.

“ Benda padat. Penerang” Sri serius menatapku.

“ Apa hubunganmu dengan lampu?” aku berselidik penuh ingin tau. Sri tampak berpikir sebentar lalu berkata

“ Aku dan lampu adalah sepasang kekasih. Kami bersatu tanpa jarak. Aku dan lampu adalah dekat. Dekat sedekat ruas jari. Kami merekat” Sri menerawang jauh.

“ Tidak Sri bukan begitu, kau beretorika tapi tidak merasakannya”

Sri mulai frustasi dengan perannya. Ia kesulitan untuk menjiwainya. Beberapa kali latihan namun tidak ada hasil. Koreografer Sri mulai kesal dan marah-marah padanya. Tarian atau gerakan tubuhnya tidak menyatu dengan perannya. Terlihat seperti ada lubang besar diantaranya yang sulit dilompati.

Suatu malam aku mematikan lampu kamarku untuk bersegera tidur. Kupikir Sri sudah tertidur seperti biasa. Tiba-tiba Sri menjerit ketakutan memintaku menyalakan lampu kamar. Aku terheran-heran dengannya. Sudah hampir 1 minggu ini aku selalu melakukannya berulang namun baru kali ini kulihat Sri ketakutan dengan gelap.

“ Tidakkah kau merasa silau bila lampu kamar ini terus menyala?”

“ Tidak fiksi, aku takut gelap”

“ Sungguh? Bukankah biasanya aku mematikan lampu kamar ini juga?”

“ Ya, aku menahannya untuk tidak takut. Tapi sekarang aku ketakutan sekali”

Sri bangun dari tidur-tidurannya. Mengajakku berlatih sekali lagi. Aku sempat menolaknya dengan alasan kesehatan tapi Sri tetap memaksaku untuk menemaninya berlatih.“ Dengarkan saja kalimat yang kuucapkan” pintanya setengah memaksa. Aku mengangguk, tak kuasa terus-terusan menolaknya.

“ cukup Sri, kau terlalu keras berusaha” aku memegang pundaknya penuh simpati.

“ Sebegitu buruknyakah aku?” Sri bersandar pada dinding.

“ Tidak Sri, kau hanya belum tau makna lampu itu sendiri” aku mendatarkan nada suaraku, berharap ia tak kecewa.

“ Harus kumaknakan apa lagi?”

“ Apakah kau yakin terang itu diciptakan?”

“ Ya, fiksi.. lampulah yang menciptakan keterangan itu”

“ Lalu apakah gelap juga diciptakan?”

“ Ya gelappun diciptakan oleh lampu yang mati”

“ Tidak Sri. Gelap tidak diciptakan, tapi sudah tercipta. Gelap hanyalah ketiadaan cahaya. Tidak ada yang bisa mengukur seberapa gelapnya kegelapan. Tapi orang bisa mengukur seberapa terangnya cahaya dalam kegelapan. Itu yang kau butuhkan, suatu perenungan. Bukan lagi pemberian makna baru untuk lampu itu sendiri”

Sri termenung. Mengacuhkanku yang tidur dengan menghabiskan seluruh tempat untuknya. Ia terlihat tersentak dengan perkataanku. Sepertinya ia mulai sadar betapa pentingnya suatu proses perenungan. Sri selama ini hanya mericau kesana kemari tanpa mencari tahu sendiri. Yang ia tahu tentang lampu hanya sebatas definisi dan kegunaannya belaka. Tidak mendalaminya lebih jauh.

Beberapa hari pasca tragedi itu Sri terlihat pendiam daripada sebelumnya. Selidik punya selidik kegiatan baru Sri sekarang adalah mengamati lampu. Dari mulai lampu-lampu indah di sekeliling solo sampai lampu lalu lintas. Aku dan Dudung pernah memergokinya tengah duduk di bawah Trafick light dengan pandangan serius. Bima teman kampus sekaligus mantan pacar Sri pernah melihat Sri sedang mengutak-atik lampu penerang jalan. Serta beberapa cerita lainnya tentang Sri.

Pengamatannya pada lampu sedikit demi sedikit membuahkan hasil yang berarti. Beberapa plot monolog yang ia mainkan mulai terasa berasa. Meskipun masih sedikit namun perubahan itu terasa besar. Aku dapat merasakannya, kesakitan akibat ketidakmengertian.

Kamarku dipenuhi lampu sekarang. Sri membeli beraneka macam lampu dengan beragam bentuk pula. Dari mulai lampu tidur, lampu belajar sampai bohlam lampu ia kumpulkan. Rutinitasnya malamnya melamun di depan lampu. Setiap kuajak bicara ia menunjuk bibirnya agar aku diam.

Solo diguyur hujuan deras. Anginnya kencang dan menakutkan. Ada pohon tumbang yang menimpa lampu jalan. Sri berteriak-teriak meracau pada pohon itu. Menginjak-injak pohon itu dengan geram. Aku yang datang terlambat setelah kerumunan orang mengerumininya, menggeret Sri yang basah kuyup untuk segera pergi. Ketikaa kuseret tangannya ia masih sempat mengacungkan jari tengahnya pada pohon itu.

“ Kau tahu mengapa orang Budha vegetarian?” aku bertanya pada Sri, malam hari setelah peristiwa pergulatannya dengan pohon.

“ Ya, karena biksu tak ada yang gendut” Sringingi menjawab asal, masih asik dengan senter ditangannya.

“ Bukan, karena mereka hanya memakan makhluk hidup yang tidak punya rasa sakit. Jadi ketika mereka memakannya tidak ada yang tersakiti” aku menatap Sri mencobanya untuk yakin.

“ Lalu?”

“ Lalu mengapa kau marah-marah pada pohon? Benar ia makhluk hidup namun ia tidak beremosi seperti kita atau binatang. Jadi mana ia tahu kalau ia hendak merobohkan lampu jalan”

“ Oh no Fiksi! Pohon itu jahat ia membunuh lampu yang tak berdaya padahal lampu sangat bermanfaat untuk hidup kita dibandingkan pohon”

“ pohon yang lebih bermanfaat Sri. Dia menyaring udara untuk kita. Dia menghasilkan oksigen, membuat rindang Solo”

“ Tidak Fiksi, lampu lebih utama. Jika tidak ada lampu kita tidak bisa hidup. Dunia gelap gulita. Kekacauan dimana-dimana”

“ Sri Thomas Alfa Edison menciptakan lampu karena oksigen yang diberikan pohon”

“ Fiksi lampu itu sudah takdirnya tercipta oleh Thomas dengan atau tanpa pohon yang turut serta”

“ Sri lampu hanya dibutuhkan saat gelap. Tapi pohon dibutuhkan pada saat terang dan gelap”

Jep. Tiba-tiba lampu mati. Hujan deras ini mengakibatkan pemadaman listrik di malam hari. Sri berteriak-teriak tak karuan. Ia berlari kesana kemari ketakutan. Jika sudah lelah ia duduk di pojok kamar sambil teriak-teriak ketakutan dan menangis. Aku hanya diam menyaksikannya, menikmati reaksi aneh pada dirinya.

Pukul 23.00 malam. Listrik masih belum nyala jua. Sri semakin menjadi-jadi, berteriak tak lelah. Merengek-rengek padaku minta dinyalakan lampunya. Terus berulah tak henti. Teman sebelah kamarku sampai menggebrak pintu kamarku menyuruh diam. Sri tak peduli, terus saja menggeliat tak tenang.

Dalam siluet kegelapan aku melihat Sri mengacak-acak laci meja belajarku. Mencari sesuatu yang terlihat penting. Sri mendapatkannya, seperti berbentuk tabung kecil sedikit pipih dan bewarna biru. Ia membuka plastiknya dan memasukkannya dalam mulut. Seperti meminum obat, langsung menelannya. Lalu ia tersedak. Aku kaget, kupukul punguknya agar benda itu keluar. Tetapi gagal. Sri tercekat tenggorokannya hampir menemui kematian.

Dudung disebelahku, duduk menenangkan diriku yang bingung. Tangannya mengelus rambutku. Menciumi kumpulan helaian rambut coklatku. Diam membisu menunggu seseorang keluar dari ruang ICCU di depan kami untuk menjelaskan apa yang terjadi. Kami saling berfikir, mencoba menebak-nebak apa yang terjadi pada Sri.

Seorang dokter keluar dengan tutup hidungnya masih terpasang. Aku dan Dudung spontan berdiri. Menanyakan keadaan Sri yang sedari tadi ditangani dokter ganteng ini. Dokter yang ternyata bernama dokter ikhsan ini berhenti sebentar dan menjelaskan sesuatu pada kami. “ Teman kalian menelan batu baterai aktiv, untung cairan kimia di dalamnya tidak keluar jadi tidak sampai keracunan. Lain kali berhatilah mungkin dikiranya itu makanan”

Dudung terduduk sebelum sempat mengucapkan terima kasih pada dokter Ikhsan. Aku menemani disisinya. “ Itu bukan ketidaksengajaan, aku melihat sendiri Sri mencari sesuatu dan kemudian memakannya. Ternyata ia memakan batu baterai”. Dudung menatapku tidak percaya “ Tidak mungkin Fiksi, Sri pastilah mengira itu semacam lolipop atau coklat stick”. Aku membenarkan letak dudukku menghadap Dudung “ Tidak! Sri sadar itu. Kau tidak tahu sebelumnya mati lampu dan ia meracau terus-menerus”.

Sri mulai sadar. Tangannya disuntik infus. Wajahnya kuyu tak bewarna. Suster Lina turut menjelaskan pula bahwa Sri kekurangan asupan nutrisi, lebih tepatnya ia hampir 3 hari tidak makan atau memasukkan sesuatu dalam mulutnya. Aku terkesima dengan kenyataan di depanku. Bagaimana mungkin aku tidak tahu Sri tidak makan apapun selama 3 hari?

Setelah kutelusuri, memang sudah 3 hari ini Sri enggan makan. Alasannya ia tidak suka makan makanan dari makhluk hidup. Kukira ia hanya bercanda, ternyata benar. Keripik kentang yang kuberikan padanya beberapa hari lalu ia muntahkan kembali setelah dia bertanya “ Fiksi terbuat dari apa makanan ini?” dan kujawab dengan sebenar-benarnya “ dari kentang, salah satu makhluk hidup bernama tumbuhan”.

Sri membuka matanya, yang pertama ia lihat adalah lampu di atasnya. Tersenyum lega melihat lampu. Entah apa yang sedang diimajinasikannya namun ia terasa menikmatinya. Aku memegang tangannya berbicara lembut “ Mengapa kau makan batu baterai itu?”. Sri tetap dengan pandangannya pada lampu menjawab pertanyaanku “ Karena aku lapar Fiksi”

Dan inikah wajah kota yang kusinari dengan tanpa lelah? Merekam jejak satu demi satu prostitusi pengkolan jalan. Hanya mampu menyinarinya tanpa kuat menolong Raisa. Aku ingin menolongnya, tapi tidak sanggup. Aku ingin mendekapnya, tapi tidak mampu. Aku ingin kau berhenti bersabar.

Raisa jika kau menangis dibawah sinarku, aku ingin meredupkan sinarku sebagai tanda bahwa akupun ikut bersedih. Raisa jika para hidung belang itu merayumu dibawah sinarku aku ingin membuat sinarku lebih terang ratusan kali lipat. Agar ia merasa cipratan panas neraka. Raisa kali ini aku lelah melihat tubuhmu dirajang sakit. Lebih baik aku mati saja.

Tepuk tangan itu membahana diseisi ruangan. Menjelang H-7 Sri menunjukkan monolognya dengan hampir sempurna. Dudung meluap gembira dengan perubahan-perubahan pada keaktoran Sri yang terus meningkat. Semua divisi bersiap penuh semangat. Hanya aku yang merasa janggal dengan perubahan terhadap diri Sri.

Kintan menyuruhku untuk memantau kondisi kesehatan Sri secara berkala. Pada beberapa kali cek kesehatan Sri selalu kurang makan. Jika kutanya kenapa? Sri hanya menjawab kalau dirinya sedang diet dan ia butuh badan kurus seperti lampu. Aku hanya berkata jika itu tidak perlu. Namun Sri selalu bersikukuh bahwa itu demi totalitas permainannya.

Pernah kepergoki ketika sedang break makan siang, Sri membawa kotak makanan berukuran kecil. Hatiku mulai lega melihatnya, Sri sudah mulai makan banyak. Karena penasaran dengan menu makanan yang ia bawa, iseng aku mengambil kotak makanan di dalam tasnya. Betapa terkejutnya aku ketika yang kudapatkan di dalam kotak makanannya adalah 4 buah batu baterai ukuran sedang, bukan makanan.

Tiba pada H-2 sebelum pertunjukkan. Gladi kotor siap dimulai. Para kru bersiap di posisinya masing-masing. Sri memulai monolognya. Dialog yang ia mainkan hanya seorang diri mengalir penuh asa. Plot demi plot ia mainkan bersinergi. Suaranya lantang pada waktunya, di waktu lain bagian suaranya lirih. Gerakannya seirama dengan ucapannya. Sempurna.

Lagi-lagi tepuk tangan saling bersahutan tak mau kalah. Sri turun dari panggung dan jatuh. Dudung mengangkatnya segera, namun Sri menolak. Tubuhnya basah oleh keringat, bajunya menempel pada kulit sawo matangnya. Sri berjalan tertatih menujuku. Tidak, bukan menuju ke arahku namum pada sikring colokan listrik di depanku. Ia memasukkan dua jarinya pada sikring itu. Menyetrum diri. Semua orang kontan menjerit histeris.

Masih pada ruang yang sama, rumah sakit yang sama hanya dengan kondisi waktu berbeda. Sri mendapatkan luka bakar serius di kedua jarinya. Bagian tubuh yang lain tidak terlalu parah namun sengatan listrik apalagi dalam keadaan tangan Sri yang basah keringat hampir memutuskan dua jarinya.

Kali ini tidak hanya aku dan Dudung yang menunggui Sri. Beberapa teman datang menjenguknya penuh simpatik. Sri tampak lemas, tidak ada satupun pertanyaan teman-temannya yang digubris. Ia hanya melamun. “ Sri mengapa kau masukkan jarimu pada sikring itu?”. Sri menatapku bercucuran air mata, menjawab pertanyaanku sesenggukan “ Aku hanya lapar fiksi”.

Rencana B dibuat. Kami berembug pada satu hari menjelang pertunjukkan. Sri tidak mungkin pentas dengan keadaannya yang sekarang. Aktris cadangan siap dikeluarkan untuk menggantikan Sri. Namun mengeluarkan aktris cadangan untuk pentas besok rasanya seperti mengulang kembali dari awal dan itu semua tidak mungkin dilakukan hanya dalam satu hari.

Semua panitia frustasi. Pesimis dengan pertunjukkan besaok. Dudung tampak stres tak akruan. Sebagai pemimpin ia mencoba mencari jalan keluar. Berdiskusi dua arah dengan bimbang. Kesepakatan dibuat, acara tetap berlangsung.

Ditengah kegalauan kami akan keberhasilan pentas ini, Sri datang dengan pakaian rumah sakit yang belum ia ganti. “ Dudung, aku masih bisa bermain. Tak sadarkah kau aku baik-baik saja”. Sri melepas perekat bekas infusnya. Mengguncang-guncang Dudung, “ Aku masih bisa bermain Dung”.

5 menit sebelum pentas. Sri siap naik ke atas pentas. Tirai dibuka. Sri mulai memainkan perannya. Bibirnya terbuka dan terkatup penuh intonasi. Ucapannya seperti diftong linguistik. Jarinya bermain-main nakal, dua jarinya yang hampir putus memberi aksen tersendiri pada bagian ketika dirinya menggantungkan tangannya pada sebuah tiang listrik.

Teriakannya menimbulkan bulu kuduk penonton berdiri. Tepuk tangan terus-terusan bersahutan. Sri tetap berkonsentrasi. Rambut panjangnya berantakan artistik. Kakinya berputar-putar bak penari balet. Matanya benderang berbicara. Indah, sangat indah. Sri luar biasa memukau. Beberpa pencari bakat satu persatu berebutan membidiknya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“ Fiksi, mau kemana? Masih hujan” Dudung mengejarku sampai pada parkiran motor kampus.

“ Ke rumah sakit Dung” aku berteriak menjawabnya. Badanku sudah basah kuyup tersiram hujan.

Dudung menghampiriku. Membawa sesuatu yang cantik. Ternyata bunga. Dudung memberikannya padaku. Aku menerimanya dengan curiga. Ia tertawa dan mengacak rambutku. Hujan masih lebat. Di bawah pohon sebelah parkiran kampus, kami berteduh sambil menunggu hujan reda. Dudung menggigil kedinginan.

“ Dung aku pergi sekarang yah, udah telat nih” aku bangkit menuju motorku.

“ Tunggu bentar aku mau ngomong sesuatu” Dudung berbicara malu.

“ Iya ngomong aja. Kenapa?”

“ Fiksi, hidupku akan menjadi Non Fiksi dengan kehadiranmu. Jadikanlah aku fakta dalam hidupmu” Dudung berbicara lembut, penuh perasaan.

Aku bingung harus menjawab apa. Ini waktu yang kutunggu. Tapi dulu, sekarang tak ada yang istimewa dari sosok Dudung di hadapanku. Aku mati rasa dengan Dudung atau mungkin dengan semua laki-laki.

“ Tidak bisa Dung, maaf” aku bicara biasa. Tanpa ada rasa sedikitpun.

“ Kenapa?” Dudung kecewa.

“ Karena aku lesbian”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun