Menarik memang mengamati perilaku konsumen Elpiji di negeri kita. Elpiji dianggap seperti air dan udara yang fungsinya sangat krusial dan penting dalam kehidupan sehari-hari. Semua masyarakat membutuhkannya, entah ia kaya atau miskin, entah ia laki-laki atau perempuan, entah ia lajang atau sudah berumah tangga. Pemerintah dengan sekuat tenaga telah memformulasi berbagai kebijakan dan regulasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan gas elpiji ini.
Ketergantungan masyarakat akan gas elpiji ini membuat Pemerintah harus berpikir keras untuk menciptakan keadilan yang kompeherensif dalam hal pendistribusian dan pelabelan harga sehingga muncullah istilah elpiji non subsidi untuk masyarakat yang mampu secara finansial membeli elpiji nonsubsidi 12 kg, berbeda dengan masyarakat yang kurang mampu, pemerintah dengan bijaksana memberikan subsidi terhadap elpiji 3 kg dan masyarakat memang cukup terbantu dengan keadaan ini, pedangang bakso, mie ayam, gorengan dapat dengan mudah mengakses gas subsidi karena bagaimanapun juga penghasilan mereka tidak sebesar pedangang/ pelaku bisnis seperti restoran atau usaha besar lain yang mengkonsumsi gas elpiji dalam peruntukkan bisnisnya, terlepas dari semua kondisi tersebut faktanya masih banyak ditemui di daerah-daerah terpencil masyarakat tidak tahu harus memasak apa dengan elpiji yang ia punya sehingga akhirnya gas elpiji dijual, ditukar dengan beras dan sayur yang dimasak dengan kayu bakar.
Yang perlu menjadi catatan dan perhatian dari semua ini adalah betapa perlunya menekankan prilaku untuk mengurangi bahkan menghilangkan  perilaku konsumtif pada barang-barang yang tidak utama. Sudah saatnya masyarakat sadar bahwa kenaikan gas elpiji non subsidi dan gas 12 kg adalah sebuah keharusan yang wajar dan biasa saja, bukan sesuatu yang berlebihan atau sengaja dilakukan untuk merugikan masyarakat. Apabila masyarakat dapat memahaminya dengan baik maka permasalahan-permasalahan yang muncul akibat perbedaan cara pandang akan menjadi jembatan untuk saling percaya terhadap kinerja pemerintah yang dilakukan demi kebaikan masyarakat.
Masyarakat sebaiknya mengerti bahwa kenaikan harga gas elpiji non subsidi yang dilakukan bertahap ini tidak lebih mahal dari I-Phone 6 yang ditunggu-tunggu sampai harus membelinya ke Singapore, tidak lebih mahal juga dari tas-tas impor yang tiba-tiba menjadi semacam 'kebutuhan' demi menunjang penampilan prima. Â Jangan salah, meskipun elpiji letaknya di dapur, ditaruh dibawah dan bahkan cenderung tidak terlihat, ia tetaplah menjadi salah satu penunjang hidup kita, bukan hanya gadget puluhan juta yang selalu dibawa-bawa dan diistimewakan dengan casing berwarna warni.
Sudah saatnya masyarakat mampu sadar dan bangga menggunakan gas elpiji non subsidi dan merasa malu menggunakan elpiji subsidi yang merupakan hak dari saudara kita yang lain. Dengan menumbuhkan rasa bangga dan keinginan saling membantu ini maka akan sedikit masyarakat yang mencoba-coba untuk menimbun elpiji subsidi karena ketakutan dengan kenaikan harga gas elpiji non subsidi.
Bersikap wajar dan optimis serta tidak berlebihan dalam menyikapi kenaikan harga elpiji non subsidi menjadi solusi agar setiap warga masyarakat mahfum akan pentingnya tindakan ini dilakukan demi mencapai rasa keadilan bersama pada setiap lini masyarakat.
Elpiji non subsidi untuk si mampu, baik ia mampu secara finansial maupun mampu secara managerial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H