Aku dan Sebotol Bir
Aku, lelaki tangguh dan sekokoh batu karang yang berada di lautan sana. Cukup teguh walau terhempas kerasnya ombak. Kini aku duduk di atas hamparan pasir ini, sendiri. Sesekali aku menghisap rokokku, menghirup asapnya dalam-dalam, dan menghembuskannya lagi kuat-kuat. Hingga keluar kepulan asap, pekat. Mataku jauh memandang ke depan, ke arah lautan lepas yang sedang berkolaborasi dengan langit jingga. Ya, sekarang adalah senja. Senja paling sunyi yang aku alami, walau sekitarku masih ramai oleh pengunjung yang menggemari pantai ini.
Aku meneguk birku. Mengecap sedikit sensasi rasanya di lidah, lalu menelannya dengan yakin hingga merasakan alirannya di rongga kerongkongan. Mataku masih tetap asik dengan ilustrasi di depan sana. Sesekali aku melirik jam hitam di tangan kiriku atau melirik ponsel tipe lawas yang masih saja menemani hari-hariku. Selanjutnya aku menunggu. Menunggu bola raksasa berwarna oranye kemerah-merahan itu hilang di balik awan kemudian terlahap oleh laut.
Tangan kananku masih saja memegang botol bir. Sesekali aku membiarkan ujung botol menyentuh bibirku, meneguknya berkali-kali. Mataku masi tetap sama, memandang lautan. Otakku? Jangan ditanya. Sudah keliling dunia, mungkin. Ah, aku bercanda. Tidak otakku masih pada tempatnya. Cuma pikirannya yang sedang ke mana-mana. Biasanya pikiran dan tubuhku selalu kompak di tempat yang sama, kantorku tercinta. Kantor megah di salah satu tepian pantai di sisi selatan pulau ini. Tapi sekarang, aku berkhianat. Pikiranku entah ke mana, dan tubuhku masih di sini, duduk manis di hamparan pasir putih.
Matahari pun terbenam. Menciptakan kreasi warna di langit sana. Kilau jingga kemerahan. Aku tersenyum simpul. Tanganku memainkan botol bir yang isinya sudah aku renggut dengan sempurna, habis. Beberapa detik mataku tak berkedip. Aku terkagum,sangat. Aku terlalu mencintai semesta ini. Otak dan tenagaku kuperas untuk membantu menyeimbangkan keasrian dan kelestarian sekitar dan lingkungan yang menjadi tanggung jawabku. Ya, sampai-sampai tak ada celah sedikitpun untuk hal lain, untuk perasaanku, misalnya. Mungkin aku mati atau hilang rasa.
Langit pun mulai gelap. Bola raksasa mulai hilang seperti di makan lautan. Aku menikmati sunset kali ini. Tak berapa lama aku meraih ponselku, mengirimkan pesan singkat. Aku mengetik satu kalimat.
Aku baru saja menikmati wonderful sunset di kuta.
Aku memasukkan sebuah nomer kemudian menekan tombol send. Tak perlu menunggu terlalu lama untuk menerima balasan darinya.
Dengan siapa?
Buru-buru aku mengetik : Sendirian.
Sepertinya dia juga segera membalas saat menerima jawabanku.
Are u happy?
Aku terdiam. Dan jari ini mengetik : No.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H