Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah menjadi agenda nasional dengan tujuan mulia: memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang layak. Namun, seperti banyak kebijakan besar lainnya, eksekusinya masih menyisakan banyak celah. Kita melihat berbagai masalah di lapangan---dari ketidaksiapan distribusi, buruknya koordinasi antarinstansi, hingga pemilihan vendor yang kurang transparan dan tidak berbasis kearifan lokal.
Kegagalan dalam perencanaan ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua, terutama bagi pemerintah yang menggagas program ini. MBG bukan hanya tentang membagikan makanan, tetapi tentang bagaimana program ini bisa berjalan secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Dan di sinilah peran pengusaha lokal menjadi kunci utama.
Mengapa Pengusaha Lokal?
Pemerintah perlu mengubah cara pandangnya terhadap kebijakan ini. Alih-alih bergantung pada perusahaan besar atau jaringan distribusi yang terkadang tidak memahami kondisi di lapangan, keterlibatan pengusaha lokal sebagai pihak ketiga harus menjadi prioritas utama. Ada beberapa alasan mendasar mengapa pengusaha lokal adalah solusi terbaik untuk MBG:
1. Ketahanan Ekonomi Daerah
Saat ini, banyak usaha kecil dan menengah yang masih berjuang untuk bertahan. Jika MBG melibatkan mereka, maka program ini bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan gizi anak-anak, tetapi juga menjadi stimulus bagi perekonomian lokal. Bayangkan jika katering kecil, warung makan, atau UMKM pangan di setiap daerah diberikan kesempatan untuk memasok makanan bergizi. Ini akan menciptakan siklus ekonomi yang sehat, di mana uang berputar di dalam komunitas dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat sekitar.
2. Efektivitas dan Efisiensi Distribusi
Pengusaha lokal memahami kondisi daerahnya lebih baik daripada vendor besar yang sering kali beroperasi secara sentralistik. Mereka tahu bahan baku terbaik yang tersedia, cara mendapatkan pasokan dengan harga lebih kompetitif, serta bagaimana mendistribusikan makanan dengan cara yang lebih efisien. Ini berbeda dengan sistem saat ini yang sering kali tersendat karena rantai distribusi yang panjang dan birokrasi yang berbelit.
3. Jaminan Kualitas dan Kearifan Lokal
Salah satu kritik terbesar terhadap MBG adalah standar makanan yang cenderung seragam dan tidak mempertimbangkan kebutuhan gizi berdasarkan kearifan lokal. Dengan melibatkan pengusaha lokal, makanan yang disediakan bisa lebih sesuai dengan budaya makan masyarakat setempat, lebih segar, dan memiliki cita rasa yang lebih akrab bagi anak-anak penerima manfaat. Ini bukan hanya soal gizi, tetapi juga soal kenyamanan dan keberterimaan program di masyarakat.