"Good Service" dalam pelayanan Jamaah Haji indonesia bukan hanya sekedar kebutuhan Jamaah Haji, tapi lebih jauh adalah bentuk kewajiban negara kepada masyarakat dan juga harga diri di hadapan bangsa-bangsa lain di Dunia, karena di Madinah dan Mekkah, Â terdiri dari berbagai bangsa yang melaksanakan ibadah haji dari tahun ke tahun, maka dapat di lihat langsung, negara mana yang jamaahnya mengalami kesulitan dan tidak terdapat petugas yang cepat tanggap, oleh karena itu "Good Service" dalam pelayanan haji adalah juga harga diri bangsa, apalagi Haji tahun 2019 ini diinformasikan dalam suasana panas dengan perkiraan lebih dari 40 derajat, diperkirakan akan cukup melelahkan bagi Jamaah, terutama Jamaah dengan kebutuhan khusus.
Haji adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia bagi yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) di Madinah dan Mekkah, yang Hajinya adalah di Mekkah pada bulan Dzulhijjah penanggalan Islam.Â
Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu, sehingga untuk ibadah haji ini, Umat Muslim pada umumnya berkeinginan untuk dapat melaksanakan Ibadah haji, paling tidak sekali seumur hidup.
Sejak tanggal 6 Juli 2019, Jamaah haji Indonesia telah mulai berangkat ke tanah suci, sekitar 221 ribu yang diberangkatkan haji di tahun 2019 ini sesuai dengan kuota yang tersedia untuk jamaah asal Indonesia. Sementara, menurut Kementerian Agama, jumlah jamaah haji yang terdaftar di tahun 2019 perkiraan sekitar 4,34 juta jiwa.
Negara dengan jumlah Jamaah Haji yang cukup banyak setiap tahunnya, seperti Indonesia, tentu perlu kerja keras dalam mengupayakan pemberian pelayanan yang optimal oleh Penyelenggara kepada para Jamaah. Dari aspek regulasi, tahun 2019, dilakukan perubahan atas Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang telah disahkan pada 26 April 2019 lalu.
Dalam Undang-Undang (UU) tersebut dilakukan sejumlah perubahan dalam tata cara pemberian pelayanan haji, antara lain; a). Pelimpahan Porsi, Jemaah haji yang wafat setelah diumumkan berhak melunasi biaya yang nomor porsinya dapat dilimpahkan kepada salah satu keluarga (suami, istri, anak, atau menantu), b). Dalam Undang-undang ini, persentase jemaah haji khusus secara tegas disebutkan sebesar 8% dari kuota haji nasional, yang mana sebelumnya ditentukan pada tahun berjalan.
Selain itu, yang dilakukan perubahan adalah berupa penataan dan perubahan nomeklatur dan istilah, baik istilah Petugas dan lain sebagainya, yang secara subtansi mengakomodir ketentuan lama.
Kementerian Agama, berdasarkan informasi di website-nya, menyatakan sejak tahun 2018 yang lalu, telah melakukan inovasi pada 10 hal dalam penyelenggaraan ibadah haji, yaitu; Pertama, rekam biometriks jemaah bisa dilakukan pada semua embarkasi haji di Indonesia.
Kedua, QR Code pada gelang jemaah. QR Code berisi rekam data identitas jemaah yang dapat diakses melalui aplikasi haji pintar, yang memudahkan petugas haji; Ketiga, sistem sewa akomodasi satu musim penuh di Madinah;
Keempat, penggunaan bumbu masakan dan juru masak (chef) asal Indonesia; Kelima, layanan katering bagi jemaah haji Indonesia selama di Makkah ditambah;
Keenam, penandaan khusus pada paspor dan koper, serta penggunaan tas kabin; Ketujuh, pengalihan porsi bagi jemaah wafat kepada ahli waris; Kedelapan, Pencetakan visa yang saat ini sudah bisa dilakukan oleh Kemenag, yang mempercepat proses penyiapan dokumen keberangkatan jemaah. Sebelumnya, Kemenag harus menunggu visa dari Kedutaan Saudi sehingga prosesnya menjadi lebih lama;