Mohon tunggu...
Rasyiq Arif Buamona
Rasyiq Arif Buamona Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mantan mahasiswa

Mencoba produktif

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Agresivitas Tiongkok di Kawasan Laut China Selatan, UNCLOS, dan Dampaknya terhadap Kedaulatan Indonesia

31 Mei 2024   21:53 Diperbarui: 31 Mei 2024   22:02 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Selama dua dekade pertama di abad ke-21 ini, dunia telah bersama-sama menyaksikan kemunculan Tiongkok sebagai salah satu kekuatan besar di kawasan Asia bahkan dunia. Dalam memperluas pengaruhnya di kawasan, Tiongkok terbilang cukup agresif dan cenderung ekspansionis. Tidak hanya aktif memberikan pinjaman kepada negara berkembang yang sedang melakukan pembangunan, mereka juga aktif melakukan klaim terhadap wilayah tertentu yang berbatasan dengan negara lain. Hal ini membuat Tiongkok terlibat dalam beberapa sengketa perbatasan. Sebut saja sengketa perbatasan antara Tiongkok-India, Tiongkok-Jepang atas Kepulauan Senkaku, dan yang paling dekat dengan Indonesia, sengketa yang terjadi antara Tiongkok dengan negara-negara ASEAN di kawasan Laut China Selatan (LCS).

LCS sendiri adalah wilayah laut seluas 3,5 juta kilometer persegi yang berbatasan dengan Tiongkok daratan di arah utara, Vietnam di arah barat, Taiwan dan Filipina di sebelah timur, dan Indonesia di bagian selatan. LCS merupakan salah satu wilayah perairan penting nan strategis di dunia karena merupakan jalur dari sepertiga perdagangan maritim global. Selain itu, LCS juga merupakan rumah bagi perikanan, hidrokarbon, dan sumber daya alam yang melimpah.

UNCLOS

Hak milik dan hak kelola atas zona maritim sejatinya telah disepakati dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Sebuah negara berhak atas zona maritim yang meliputi perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan landas kontinen.

Laut teritorial, sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan 3 UNCLOS, adalah wilayah selebar 12 nautical miles (22.224 kilometer) dari garis pangkal, di mana negara memiliki kedaulatan penuh (sovereignty) atasnya. Kedaulatan ini tidak hanya terbatas pada wilayah perairan saja, tetapi juga meliputi ruang udara, serta dasar dan lapisan tanah di bawahnya.

Dalam pasal 33 UNCLOS, zona tambahan berjarak tidak lebih dari 24 nautical miles (44.448 kilometer). Berbeda dengan laut teritorial, negara tidak memiliki kedaulatan atas wilayah ini, namun memiliki hak berdaulat (sovereign rights) atau yang dikenal juga dengan istilah yurisdiksi. Negara hanya dapat memanfaatkan wilayah perairan dari zona tambahan sehingga penggunaannya hanya sebatas pada pengawasan dan pencegahan pelanggaran di bidang fiskal, imigrasi, bea cukai, kesehatan, dll.

Adapun dalam ZEE, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 56 UNCLOS, sebuah negara memiliki hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan manajemen sumber daya alam (SDA), baik hayati maupun non-hayati, yang terletak di perairan di atas dasar laut, dasar laut, maupun tanah di bawahnya sejauh 200 nautical miles dari garis pangkal. Negara juga memiliki yurisdiksi untuk membuat dan menggunakan pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset di bidang kelautan, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

Dari pemaparan di atas, dapat kita lihat bahwa terdapat perbedaan antara kedaulatan penuh dan hak berdaulat. Kedaulatan adalah bentuk tertinggi dari kekuasaan dan kepemilikan atas wilayah atau teritorial sedangkan hak berdaulat adalah hak-hak eksklusif yang dimiliki oleh negara pantai terhadap SDA dalam batas tertentu yang telah ditentukan. Negara lain tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan SDA tersebut tanpa izin dari negara pemilik hak berdaulat.

Klaim Tiongkok

Diadopsi pada tahun 1982, UNCLOS, yang memuat ketentuan-ketentuan di atas, telah diratifikasi oleh 169 negara, termasuk Tiongkok dan Indonesia. Masalah yang kemudian timbul adalah, meskipun telah meratifikasi UNCLOS 1982, Tiongkok tetap saja masih melakukan klaim terhadap sebagian besar wilayah LCS yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus yang masyhur dengan nama nine-dash line (9DL). Mereka berargumen bahwa kawasan ini merupakan wilayah tangkap ikan tradisional mereka sejak dulu kala berdasarkan peta yang digambar pada tahun 1929. Pada tahun 1947, pemerintah Republik Tiongkok, mengeluarkan peta resmi dengan sebelas garis putus-putus, namun kemudian dikurangi menjadi Sembilan garis putus-putus oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1952. Pengklaiman ini mengundang protes dari Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia karena wilayah laut, pulau, dan karang milik mereka menjadi terancam oleh Tiongkok. Negara-negara yang bersengketa dengan Tiongkok tersebut dikenal dengan sebutan claimant state.

Terdapat beberapa alasan mengapa kawasan LCS penting bagi Tiongkok. Pertama, wilayah LCS mengandung SDA yang melimpah baik hayati maupun non-hayati. Menurut Council on Foreign Relations, diperkirakan terdapat sebanyak 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam di LCS. Kedua, Kawasan LCS merupakan jalur sepertiga pelayaran dan perdagangan senilai lebih dari 3 triliun USD setiap tahunnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun