Masyarakat punya memori atau ingatan. Perilaku seseorang akan disimpan dalam memori tersebut. Kalau orang itu berperilaku baik maka disimpan dan diingat sebagai orang yang baik. Demikian juga sebaliknya. Orang yang pernah berbuat salah dengan melanggar norma masyarakat maka akan diingat sebagai orang jahat.
Dalam konteks memilih pemimpin, kecenderungan masyarakat sejatinya adalah memilih pemimpin dari orang baik. Seperti masyarakat Amerika Serikat yang memilih pemimpin yang punya standar moral lebih baik dibanding masyarakat umumnya. Bahkan, meskipun maling, kalau memilih pemimpin akan memilih orang baik bukan orang jahat.
Jadi kalau orang mencalonkan diri menjadi anggota dewan atau pemimpin daerah, masyarakat akan me-recall memori yang tersimpan tentang orang tersebut. Siapa orang itu? Karya apa yang sudah dibuat? Bagaimana perilakunya di tengah masyarakat? Apakah dia orang baik atau orang jahat?
Kita perlu memiliki sensitivitas sosial dan agama. Kualitas respon terhadap peristiwa bergantung pada kualitas sensitivitas tersebut. Perbedaan kualitas membuat perbedaan dalam merespon. Rendahnya kualitas pelayanan publik atau degradasi nilai di kalangan generasi muda buat sebagian orang adalah hal biasa. Tapi buat orang yang sensitivitasnya sosial dan agamanya tinggi akan menciptakan langkah solutif.
Kita ini apa? Kita mau apa? Peran apa? Adalah pertanyaan refleksi diri  untuk menajamkan sensitivitas dan tanggung jawab di masyarakat. Kita melakukan apa yang menjadi keahlian kita. Kita bela dan perjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Pahlawan adalah orang yang sensitif dan memperjuangkan orang lain. Inilah sense of politics.
Dalam kepemimpinan ada unsur mempengaruhi, menggerakkan dan membina. Perlu sensitivitas didalamnya. Beratnya beban ekonomi masyarakat muncullah program sembako. Itu sensitivitas. Sekarang itu semua diformalkan dalam kebijakan.
Rakyat butuh seperti itu. Para pemimpin juga butuh itu untuk eksistensi diri mereka. Itu yang saya maksud mengkapitalisasi. Mereka tahu arah pembangunan dan bisa berkomunikasi dengan pemerintah. Mereka juga bisa memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
"Jika pemimpin mampu mengelola ini maka akan naik terus derajatnya. Seperti dari anggota DPRD kota ke DPRD provinsi dan seterusnya. Masalahnya banyak pemimpin tidak mampu mengelola emosi dan spiritualnya. Akhirnya mengambil keputusan yang tidak populer dan ditinggal pendukungnya. Mereka lupa karena beban jabatannya sendiri."Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H