Gemuru percikan air mulai bertaburan.
Menawarkan bunyi yang tak tertahan.
Langit-Langit rumah menjadi parodi musik dan tarian.
Teriakan alam melantunkan irama gendang dan kentrungan.
Hujan, semakin lebat ia datang.
Menyisahkan tangis yang mengekang.
Riuk-piuknya seakan hangat menjadi hilang.
Sampai bosan perlahan datang.
Di tengah hujan lebat,
Manisku, Kau datang bersama cinta.
Menawarkan hasrat bercumbu atas namanya.
Sempat aku menolak, namun gairahmu seakan banjir yang melanda.
Hingga kita tak mampu menahan semuanya.
Ditengah hujan lebat,
Aromamu bagai kasturi kala busuk menyerang waktu.
Aromamu, membunuh hasrat cinta pada tuhanku.
Hingga aku sadar, bahwa kita telah bersatu.
Mencumbui waktu yang tak pernah setanpun tau.
Ditengah Hujan lebat,
Bisakanmu menggelitik telingaku.
Nafasmu mendesah, seakan menawarkan madu.
Hingga aku tau, itu cinta tulusmu.
Ditengah hujan lebat,
Ternyata, itu hanya mimpi.
Tersadar karena imaji,
Bangun tidur dan membuat secangkir kopi.
Ditengah hujan lebat,
Aku bermimpi lagi!
Malang, 28/11/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H