Rezeki Manusia, Mengapa Kita Harus Bekerja?
Buku        : Jika Tuhan MengaturPenulis       : Imam al-Muhasibi
Penerbit      : Turos pustaka
ISBN Â Â Â Â Â Â Â : 978-623-7327-70-7
Terbitan      : Cet. 1, Juli, 2022
Ada tiga teka-teki kehidupan yang Allah sembunyikan dari hambanya. Yakni rezeki, jodoh dan maut. Ketiganya adalah perihal yang tidak akan pernah kita ketahui. Jodoh kita dengan siapa, dimana dan kapan, Allah yang maengatur. Pun dengan kematian, dimana dan kapan hanya Alah yang mengetahui. Semuanya sudah Allah tentukan di alam azal. Apalagi masalah rezeki, setiap dari kita sudah Allah tentukan takarannya. Tergantung bagaimana kita meminta, mencari dan berusaha memperolehnya.
Dalam menjalani hidup, setiap insan menginginkan kekayaan melimpah. Orang-orang berlomba untuk mencapai itu semua agar disebut banyak rezeki. Dan sering kali, kekayaan dijadikan sebagai patokan dari sebuah rezeki. Harta melimpah, mobih mewah dan rumah megah adalah sederet kekayaan yang seringkali dijadikan definisi dari rezeki. Faktanya, hidup bahagia, sehat dan tenang adalah rezeki yang tiada tara, sesuatu yang tidak dapat dibeli dengan uang.
Hidup di muka bumi yang penuh dengan berbagai kebutuhan menuntut manusia untuk bekerja. Bukankah Tuhan maha memberi, mengapa kita harus bekerja? Pemberian tuhan sudah lebih dari sekedar cukup, hanya saja kita yang terlalu banyak ke-ingin-annya untuk memenuhi nafsunya.
Salah satu ulama menyebutkan bahwa rezeki terbaik bukanlah rezeki harta, tetapi ketenangan jiwa, akal yang cerah, tubuh yang sehat, hati yang bersih, pikiran yang jernih, doa seorang ibu, kasih sayang ayah, keberadan saudara, gelak tawa anak, perhatian sahabat dan doa sang kekasih kepada Allah.
Mohammad Iqbal dalam bukunya The Recontruction of Religius Thought in Islam menyebutkan bahwa munculnya tasawuf merupakan sebuah protes bisu melawan kekuatan politik aristokrasi, ketidak adilan sosial, dogma-dogma agama yang cenderung formal dan kering. Bahkan, Iqbal menilai para sufi telah berhasil menyelamatkan warisan spritual islam sejak ditinggal Rasulullah.
Sejauh ini, pemahaman kita mengenai sufi adalah tentang ahwal dan maqamat. Kedudukan spritual yang harus dilalui oleh para pejalan spritual sebelum bisa mencapai ujung perjalanan. Taubat, wara', zuhd, faqr, sabr, tawakkal dan ridha adalah rentetan yang harus dilalui.