Mohon tunggu...
rasyid
rasyid Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa yang mencoba menganalisis apa yang terjadi di sekitarnya. mengungkapkan kegundahan hatinya. dan mempertanyakan apa makna semua ini.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Haruskah Sultan?

5 Desember 2010   12:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:00 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gaduh. Itulah kesan saya yang tangkap dari polemik tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terutama pada poin Pemilihan/Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur. Poin ini memiliki sejarah yang panjang di DIY.

Gubernur pertama Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Beliau menjadi gubernur sejak tahun 1945 hingga beliau wafat pada 1988. Pada tahun 1988, setelah Sri Sultan HB IX wafat, Sri Paduka Paku Alam VIII diangkat menjadi Gubernur DIY. Sri Paduka Paku Alam VIII wafat pada tahun 1998. Baru pada tahun 1998, Mendagri saat itu Syarwan Hamid melantik Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur DIY.

Dasar hukum penetapan Sri Sultan HB IX memang sangat kokoh. Beliau yang membuat Maklumat 5 September 1945 yang menyatakan daerah kekuasaan Keraton Kasultanan Ngayogyakarta adalah bagian dari Republik Indonesia. Legitimasi ini diperkuat oleh UU No. 5 Tahun 1974 (UU Pemda 1974) yang mengukuhkan penetapan Sri Sultan HB IX sebagai Gubernur DIY. Dalam salah satu penjelasan pasal UU Pemda 1974, disebutkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diangkat dari kerabat Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Paku Alam yang tidak terikat masa jabatan. UU Pemda 1974 memang tidak menabrak konstitusi apapun. Pasal 18 UUD 1945 lama (sebelum diamandemen), memberi ruang untuk itu.

Oleh karena itu, legitimasi hukum Sri Sultan HB IX sudah tidak perlu diragukan lagi. Ditambah legitimasi budaya beliau sebagai Raja Kasultanan Ngayogyakarta. Legitimasi politik diperoleh dari dukungan hampir seluruh masyarakat DIY, rasa hormat pada beliau, dan kepercayaan pada kapabilitas dan kompetensi beliau. Kapabilitas dan kemampuan beliau sudah tidak diragukan lagi. Beliau pernah mengenyam pendidikan di Universitas Leiden, Belanda. Satu almamater dengan Bung Hatta. Beliau pulang ke Yogyakarta karena ayahnya wafat sehingga beliau pulang untuk diangkat menjadi jadi Raja. Kemampuan beliau mumpuni dalam bidang ekonomi. Beliau juga sangat dekat dengan rakyat. Beliau juga berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Kepergian beliau adalah duka bagi seluruh masyarakat DIY.

Sepeninggal beliau, Sri Paduka Paku Alam VIII dilantik menjadi Gubernur DIY pada tahun 1988. Saya sendiri berpendapat pengangkatan ini kurang memiliki pijakan hukum. Akan tetapi, saya pribadi heran karena tidak ada reaksi dari masyarakat Yogyakarta yang menolak pengangkatan ini. Padahal, saat itu Sri Sultan HB IX sudah memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Gubernur DIY. Hal ini dibiarkan berlangsung sampai Sri Paduka Paku Alam VIII sakit pada tahun 1998 hingga akhirnya beliau wafat.

Sepeninggal Sri Paduka Paku Alam VIII, terjadi kekosongan Gubernur. Mendagri Kabinet Reformasi Pembangunan (Kabinet Presiden Habibie) Syarwan Hamid menarik ulur pelantikan Gubernur. Mendagri Syarwan Hamid menganggap DPRD DIY harus menuntaskan terlebih dahulu proses pemilihan sesuai prosedur UU baru kemudian dilantik. Akan tetapi, masyarakat DIY saat itu sudah mulai emosional. Mereka menginginkan Sri Sultan HB X langsung dilantik menjadi Gubernur DIY. Saat pelantikan berlangsung, Mendagri Syarwan Hamid bahkan dikeroyok massa yang marah akibat lamanya proses pelantikan.

Era UU Pemda 1974 berakhir pada tahun 1999. Pada pemerintahan Presiden BJ Habibie, disahkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 1999). Berbeda dengan UU Pemda 1974, UU Pemda 1999 tidak mencantumkan klausul seperti UU Pemda 1974. UU Pemda 1999 hanya mencantumkan suatu pasal yang isinya “Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dilaksanakan dengan pelaksanaan pemerintahan tetap sesuai dengan UU ini”. Pasal ini memberikan ruang interpretasi.

Keistimewaan DIY tetap dilaksanakan, namun pelaksanaan pemerintahannya yang sesuai UU. Keistimewaan DIY sendiri belum pernah didefinisikan secara jelas. Apa saja yang dimaksud dengan “Keistimewaan DIY”. Sebagian berpendapat bahwa Keistimewaan DIY salah satunya adalah pengangkatan Sri Sultan sebagai Gubernur. Artinya, Gubernur tetap diangkat tanpa batasan masa jabatan, tetapi organisasi pemerintahan, pelaksanaan pemerintah sehari-hari tetap sesuai dengan UU Pemda 1999.

Interpretasi lainnya, keistimewaan DIY itu harus dilaksanakan dengan menyesuaikan ketentuan UU Pemda 1999. Artinya, Sri Sultan HB X menjadi Gubernur dengan jabatan 5 tahun. Prosedur pemilihannya melalui DPRD. Pada tahun 2003, saat Sri Sultan HB X sudah 5 tahun menjabat. DPRD memproses pengangkatan Sri Sultan HB X. Mendagri Hari Sabarno melantik Sri Sultan HB X pada tahun 2003. Saat itu, tidak ada gejolak berarti saat Sri Sultan HB X diangkat untuk periode kedua.

Pengangkatan kedua ini menunjukkan bahwa Sri Sultan HB X terikat dengan masa jabatan, yaitu 5 tahun. Berarti sesuai ketentuan UU Pemda 1999, Sri Sultan sudah tidak dapat diangkat lagi menjadi Gubernur pada periode berikutnya.

Dinamika reformasi juga diikuti dengan amandemen UUD 1945. Pasal 18 UUD 1945 diamandemen. Setelah amandemen, terdapat 2 pasal krusial yang akan bersinggungan dengan keistimewaan DIY. Pasal 18 ayat (4) mengatur bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis. Pasal 18B mengatur bahwa Negara menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa.

Dua pasal inilah yang digunakan oleh masing-masing pihak yang pro-penetapan dan pro-pemilihan. Pihak yang pro-pemilihan menganggap bahwa pemilihan Gubernur harus dilakukan melalui “pemilihan secara demokratis” yaitu melalui Pilkada sesuai daerah lainnya. Pihak yang pro-penetapan menganggap bahwa “lex specialis derogaat legi generali”, artinya ketentuan yang bersifat khusus mengesampingkan yang ketentuan yang bersifat umum. Pihak pro-penetapan menganggap Pasal 18B adalah ketentuan khusus yang berarti dapat mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum dalam Pasal 18.

Pemerintah cenderung bersikap pro-pemilihan. Hal ini terlihat dalam RUU Keistimewaan DIY yang mengatur bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dipilih sesuai peraturan perundang-undangan. Sri Sultan HB X dan Sri Paduka Paku Alam IX ditetapkan menjadi Parardhya. Parardhya adalah sebuah badan hukum kebudayaan yang dibentuk dalam rangka keistimewaan DIY. Parardhya memiliki kewenangan-kewenangan dalam rangka keistimewaan DIY. Parardhya dapat menolak Cagub dan Cawagub yang sudah lolos seleksi administrasi KPUD. Parardhya juga dapat mengusulkan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Akan tetapi, konsep ini tentu akan memangkas kewenangan Sultan, yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur, menjadi sebatas simbol pelindung dan penjaga.

Pihak Keraton Kasultanan Ngayogyakarta sendiri cenderung bersikap pro-penetapan. Sinyalemen ini didukung dari pendapat kerabat kasultanan, seperti GKR Hemas (Wakil Ketua DPD RI saat ini) yang menyatakan DPD mendukung penetapan Sultan menjadi Gubernur DIY. Begitu pula dengan Adik Sultan HB X seperti GBPH Joyokusumo dan GBPH Prabukusumo (Ketua DPD Partai Demokrat DIY).

Bagaimana dengan sikap Sri Sultan HB X? Saya mencatat dua kali Sri Sultan HB X melontarkan pernyataan bahwa beliau tidak mau lagi menjadi Gubernur DIY, yaitu pada saat ulang tahun beliau pada tahun 2008 dan saat Pisowanan Ageng pada tahun yang sama. Tadinya saya berpendapat keinginan tersebut adalah keinginan yang sungguh-sungguh.

Pada tahun 2008, masa jabatan Sultan habis untuk periode kedua. Pemerintah memperpanjang masa jabatan Sultan menjadi gubernur untuk masa jabatan 3 tahun, yaitu sampai tahun 2011, dengan menerbitkan Keppres Perpanjangan Masa Jabatan Gubernur DIY. Perpanjangan ini sama sekali tidak memiliki pijakan hukum. UU Pemerintahan Daerah yang berlaku saat ini adalah UU No. 32 tahun 2004 (UU Pemda 2004). Dalam UU Pemda 2004, ketentuan tentang keistimewaan DIY sama sekali tidak diatur dalam pasal tersendiri. Keistimewaan DIY dirangkum bersama Otonomi khusus Aceh dan Papua, serta kekhususan DKI Jakarta dalam sebuah pasal. Pasal tersebut intinya menyatakan bahwa kekhususan dan keistimewaan untuk daerah-daerah tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang ini kecuali diatur lain menurut UU keistimewaan/kekhususan.

Hingga akhir tahun 2008, UU Keistimewaan DIY masih belum selesai dibahas. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan pemerintahan di DIY haruslah sesuai UU Pemda 2004. Hal itu bermakna bahwa pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur juga harus dilakukan sesuai UU Pemda 2004, yaitu dipilih melalui Pilkada. Itu adalah solusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Solusi lain yang mungkin diambil adalah dengan mengangakat Pelaksana Tugas hingga selesainya UU Keistimewaan. Pilihan lain yang tersedia adalah mengangkat Wakil Gubernur DIY saat itu, yaitu Sri Paduka Paku Alam IX untuk menjadi Gubernur. Perlu diketahui bahwa Sri Sultan HB X dan Sri Paduka Paku Alam IX tidak diangkat secara bersamaan. Sri Paduka Paku Alam IX baru diangkat pada tahun 2001. Ini berarti, masa jabatan pertama Sri Paduka Paku Alam IX baru habis 2006. Kemudian diangkat lagi hingga tahun 2011. Akan tetapi, pilihan-pilihan tersebut tidak ada yang diambil pemerintah. Pemerintah memilih memperpanjang masa jabatan Sri Sultan HB X untuk 3 tahun dengan sebuah Keppres. Saya sendiri juga tidak mengerti mengapa dipilih 3 tahun. Apakah itu menyesuaikan masa pembahasan UU atau ada pertimbangan lain.

Keppres adalah sebuah Keputusan Presiden yang tidak boleh bertentangan dengan UU atau peraturan perundang-undangan lain. Sebenarnya, penggunaan Keppres dimungkinkan asalkan Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terlebih dahulu. Perppu tersebut misalkan dapat menyisipkan satu pasal dalam UU Pemda 2004 untuk dijadikan pijakan perpanjangan masa jabatan Gubernur DIY sampai selesainya pembahasan UU Keistimewaan DIY. Akan tetapi, Presiden tidak menerbitkan Perppu dan hanya menerbitkan Keppres saja.

Hingga saat ini, tidak ada yang mempermasalahkan Keppres Perpanjangan Masa Jabatan Gubernur DIY tersebut. Dengan keluarnya Keppres tersebut dan Sri Sultan HB X masih menjabat sebagai Gubernur, ini menandakan bahwa pernyataan Sri Sultan pada tahun 2008 mungkin sudah dilupakan atau mungkin sudah tidak berlaku lagi.

Jalan Tengah

Kegaduhan muncul akhir-akhir ini setelah Presiden menyatakan “tidak ada sistem monarki yang bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi”. Hal ini menandakan bahwa Presiden tidak menghendaki penetapan Sri Sultan HB X secara terus menerus menjadi Gubernur DIY. Di sisi lain, Sri Sultan HB X mungkin juga sudah lupa dengan pernyataannya pada tahun 2008. Sri Sultan meluncurkan ide referendum untuk mengetahui kehendak masyarakat DIY apakah menginginkan pemilihan atau penetapan.

Dalam sejarah pembahasan RUU di Indonesia, belum pernah ada satu pasal yang diputuskan melalui referendum terlebih dahulu. Referendum juga belum memiliki pijakan hukum dalam perundang-undangan Indonesia. Menurut hemat saya, daripada melaksanakan referendum lebih baik dilakukan pemilihan Gubernur dengan Sultan sebagai salah satu calon Gubernur. Jika masyarakat DIY masih menginginkan beliau menjabat sebagai Gubernur DIY, saya yakin beliau pasti akan terpilih kembali.

Menurut saya, pemilihan Gubernur DIY dengan Sri Sultan HB X sebagai salah satu calon adalah jalan tengah. Sri Sultan sepertinya tidak menghendaki posisi Parardhya dan sepertinya dari pernyataan-pernyataan beliau masih menginginkan untuk tetap menjadi Gubernur.

Pemilihan Gubernur DIY dengan model seperti itu tidak menabrak peraturan perundang-undangan, pemilihan juga akan menjadikan legitimasi Sultan menjadi lebih kuat. Pemilihan model seperti ini juga dapat dilaksanakan seterusnya di masa depan.

Pada masa depan, kita semua tidak dapat menjamin bahwa Sri Sultan HB yang bertakhta akan cakap menjadi gubernur atau tidak atau sudah cukup umur atau belum. Masalah lain yang mungkin timbul adalah jika ada perselisihan internal kraton tentang penetapan Sri Sultan HB. Hal ini yang terjadi pada Keraton Surakarta dan melahirkan kepemimpinan ganda.

Menurut saya, formulasi pemilihan model ini saja yang dimasukkan ke dalam UU Keistimewaan DIY agar semua kepentingan bisa terakomodasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun