Berdasarkan respons netizen yang beragam, "Venom: The Last Dance" bisa dibilang sebagai kekacauan sinematik yang menyenangkan dan mungkin sulit dipahami bagi penonton umum. Disutradarai oleh Kelly Marcel, film terakhir dari trilogi ini melanjutkan perjalanan Eddie Brock dan Venom, yang menceritakan pelarian mereka dari kedua dunia mereka masing-masing, yang alhasil berakhir dengan sebuah konklusi yang mampu menyentuh hati penonton. Meskipun demikian, dampak emosional dari film ini tidak cukup untuk menutupi berbagai isu yang dimilikinya.
The Last Dance memperkenalkan banyak karakter baru, diperankan aktor-aktor hebat seperti Chiwetel Ejiofor dan Juno Temple. Sayangnya dengan kurangnya penjelajahan karakter, mereka hanya terasa sebagai tempelan untuk menciptakan nuansa baru. Film ini berdurasi 100 menit namun tidak sempat menelusuri latar belakang karakter-karakter baru ini secara lebih dalam, sehingga membuat keberadaan mereka kurang bermakna, walau berhasil menambah keseruan cerita. Salah satu isu karakter film yang tidak tertangani dengan benar adalah antagonis utamanya yang terasa tidak begitu penting ataupun mengintimidasi.
Knull, diperankan oleh Andy Serkis, adalah makhluk pencipta spesies alien Symbiote yang bertujuan memusnahkan cahaya alam semesta dan disebut sepanjang film sebagai ancaman dahsyat. Karakter ini didasari oleh komik Venom yang terbit tahun 2018, tetapi tak sekalipun film The Last Dance ini memperlihatkan alasan Knull sangat ditakuti oleh kaum Symbiote. Tidak hanya itu, Knull sendiri bahkan tidak banyak terlibat dalam alurnya karena kebanyakan sisi antagonis film ini ditampilkan melalui munculnya anak buah Knull, yaitu para pemburu Symbiote yang disebut Xenophage. Sebagai pengikut cerita komiknya, saya menghargai keputusan penulis-penulis The Last Dance menyertakan Knull sebagai antagonis terakhir dalam serial film ini, tetapi keterbatasan waktu dalam memperkenalkannya sebagai antagonis puncak gagal memberi konklusi yang memuaskan, baik bagi penonton biasa maupun pecinta komik.
Masalah antagonis ini juga terkait dengan kecenderungan film untuk terlalu banyak menggunakan eksposisi. Naskah yang efektif seharusnya tidak secara langsung menjelaskan semua informasi yang harus diketahui penonton. Sebagai contoh, alih-alih menunjukkan kekejaman Knull kepada penonton, The Last Dance terlalu lama menjelaskan secara lisan mengapa ia ditakuti, yang mana hal ini kurang tepat untuk memperkenalkan karakter baru, terutama bila karakter tersebut merupakan penggerak plot utama.
Selain tujuan antagonis yang tidak begitu menarik, petualangan Eddie Brock dan Venom pun terasa tidak memiliki tujuan. Mereka berniat pergi ke New York, tetapi apa gunanya bila pasukan Knull yang mematikan dan militer bumi sendiri tetap membuntuti mereka? Film ini seolah-olah melupakan tujuan utama yang ingin dicapai karakter Eddie dan Venom, dan justru malah mengikuti tujuan lain yang tidak penting dalam pelarian mereka, sehingga menyebabkan perasaan bahwa film ini adalah kumpulan adegan yang acak daripada alur yang linier demi durasi yang panjang.
Meski cerita yang ditulis tipis, setidaknya mayoritas penonton setuju bahwa Tom Hardy memerankan karakter tituler Venom sepanjang 3 film dengan penuh dedikasi dalam memberikan penggemar Marvel sebuah pengalaman sinematik yang memuaskan, dan hasilnya cukup mengesankan. Sebenarnya, semua pemeran yang muncul di film ini melakukan kerja yang luar biasa memainkan tokoh-tokoh yang variatif, hanya saja kedangkalan penulisan karakter mungkin menyebabkan kehadiran mereka kurang menonjol. Venom: The Last Dance, sebagai penutup trilogi, adalah akhir yang seru dan penuh emosi, tetapi tampaknya lebih ditujukan untuk para penggemar komik asli yang bisa menikmati aksi terakhir tokoh anti-hero Marvel yang dicintai banyak orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H