Di tengah pemulihan ekonomi global pasca pandemi, Indonesia menghadapi tantangan serius terkait stabilitas fiskal dan keberlanjutan utang. Ketergantungan pada utang luar negeri yang terus meningkat menjadi sorotan, terutama karena pemerintah terus menambah beban pinjaman untuk menutupi defisit anggaran. Kondisi ini memicu kekhawatiran akan potensi krisis utang di masa depan, terutama dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi global dan meningkatnya risiko eksternal seperti inflasi global dan fluktuasi nilai tukar. Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan: apakah kebijakan fiskal Indonesia cukup kuat untuk menghindari jebakan krisis utang, atau justru kita sedang menuju bencana ekonomi baru?
Peningkatan utang luar negeri Indonesia telah menjadi perhatian utama dalam beberapa tahun terakhir. Data menunjukkan bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) semakin meningkat, mendekati batas aman yang ditetapkan oleh pemerintah. Ketergantungan ini menjadi indikasi bahwa pemerintah terus bergantung pada sumber pembiayaan eksternal, juga menunjukkan kelemahan struktural dalam sistem keuangan negara. Argumentasi yang sering diajukan adalah bahwa utang digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur, namun ketiadaan transparansi mengenai hasil jangka panjang dari proyek-proyek ini menimbulkan pertanyaan apakah manfaat ekonomi yang diharapkan benar-benar tercapai atau justru mengakibatkan beban fiskal yang berkelanjutan.
Dengan tingginya utang luar negeri, Indonesia menjadi lebih rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi global. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, misalnya, dapat secara signifikan mempengaruhi kemampuan Indonesia untuk membayar kembali utang luar negeri dalam denominasi dolar. Kenaikan suku bunga internasional, seperti yang terjadi baru-baru ini akibat kebijakan moneter ketat di negara-negara maju, menambah tekanan pada biaya pinjaman. Dalam situasi seperti ini, Indonesia tidak hanya menghadapi risiko fiskal, tetapi juga krisis likuiditas yang dapat berdampak langsung pada stabilitas ekonomi nasional.
Ketergantungan pada utang luar negeri juga membawa risiko terhadap kedaulatan ekonomi negara. Ketika suatu negara terlalu bergantung pada utang luar, kebijakan ekonomi domestik sering kali harus disesuaikan untuk memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh lembaga pemberi pinjaman internasional. Ini bisa membatasi kemampuan pemerintah untuk menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan rakyatnya. Misalnya, dalam menghadapi tekanan inflasi dan ketidakpastian global, kebijakan yang pro-rakyat mungkin terpaksa diabaikan demi memenuhi komitmen pembayaran utang.
Kebijakan fiskal Indonesia yang terus terjebak dalam defisit anggaran menimbulkan kekhawatiran serius mengenai keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah lebih sering mengandalkan pembiayaan utang untuk menutup defisit daripada memperkuat basis penerimaan negara, seperti meningkatkan pendapatan pajak. Akibatnya, defisit anggaran semakin melebar, yang tidak hanya menunjukkan ketidakefisienan dalam pengelolaan fiskal, tetapi juga membahayakan stabilitas ekonomi di masa depan. Dengan terus bergantung pada utang, pemerintah menciptakan lingkaran setan di mana defisit yang semakin membengkak membutuhkan lebih banyak utang, sementara pembayaran utang itu sendiri semakin memperburuk defisit.
Kegagalan kebijakan fiskal untuk mengatasi defisit ini memperburuk persepsi pasar internasional terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Investor asing cenderung melihat defisit fiskal yang terus meningkat sebagai tanda ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola keuangan negara secara efektif, yang pada gilirannya dapat menurunkan kepercayaan investor. Rendahnya kepercayaan ini berdampak langsung pada prospek investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka panjang, ketidakmampuan untuk mengurangi defisit anggaran dapat menyebabkan meningkatnya risiko pembiayaan ulang utang (refinancing risk), di mana Indonesia harus menghadapi kondisi pembiayaan yang lebih buruk, baik dari segi suku bunga yang lebih tinggi maupun ketatnya akses ke pasar modal internasional.
Keberlanjutan kebijakan fiskal yang terus bergantung pada utang juga mengurangi ruang fiskal pemerintah untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang mendukung pembangunan ekonomi. Semakin besar porsi anggaran yang dialokasikan untuk membayar bunga dan pokok utang, semakin sedikit dana yang tersedia untuk investasi dalam sektor-sektor produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang benar-benar berdampak langsung pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Tanpa reformasi fiskal yang mendalam dan komitmen untuk menekan defisit anggaran, Indonesia akan terus menghadapi dilema kebijakan antara memenuhi kewajiban pembayaran utang dan memenuhi kebutuhan pembangunan nasional, yang pada akhirnya memperburuk potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Ancaman krisis likuiditas di tengah perlambatan ekonomi global semakin nyata bagi Indonesia. Perlambatan pertumbuhan ekonomi global, terutama di sektor ekspor, telah berdampak signifikan terhadap pendapatan negara. Penurunan permintaan komoditas, salah satu andalan ekspor Indonesia, mengakibatkan berkurangnya penerimaan devisa dan pada saat yang sama mempersempit ruang fiskal. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah terpaksa menambah belanja untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi domestik, misalnya melalui subsidi energi dan bantuan sosial. Namun, dengan pendapatan yang tidak meningkat, risiko krisis likuiditas semakin besar karena beban belanja yang tidak didukung oleh pendapatan yang seimbang.
Krisis likuiditas ini diperburuk oleh kebijakan yang kurang antisipatif dalam menghadapi tantangan eksternal. Ketergantungan pada utang untuk menutup defisit anggaran, terutama dengan semakin ketatnya kondisi keuangan global, dapat membuat pemerintah kesulitan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang dalam jangka pendek. Fluktuasi harga minyak global yang tidak stabil juga meningkatkan risiko ini, karena subsidi energi yang besar menguras kas negara. Jika tidak segera ditangani dengan kebijakan fiskal yang lebih disiplin dan pembenahan penerimaan negara, Indonesia dapat menghadapi tekanan likuiditas yang menyebabkan keterlambatan dalam pembayaran utang atau bahkan pemotongan belanja negara yang krusial.
Krisis likuiditas berdampak pada stabilitas fiskal, juga berpotensi memicu ketidakstabilan ekonomi yang lebih luas. Jika pemerintah tidak mampu menjaga aliran kas yang sehat, sektor-sektor penting seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan bisa mengalami pemangkasan anggaran yang mengakibatkan stagnasi pembangunan. Ketidakpastian mengenai kemampuan pemerintah untuk memenuhi kewajiban utang dapat menimbulkan kepanikan di kalangan investor, memicu capital outflow yang memperparah situasi. Diperlukan kebijakan fiskal yang lebih berfokus pada pembenahan struktur penerimaan negara, mengurangi ketergantungan pada subsidi, dan diversifikasi sumber pendapatan untuk menghindari krisis likuiditas yang dapat berdampak luas pada perekonomian nasional.
Indonesia menghadapi risiko serius terkait keberlanjutan fiskal akibat ketergantungan pada utang luar negeri, defisit anggaran yang tidak terkontrol, serta ancaman krisis likuiditas di tengah perlambatan ekonomi global. Ketiga isu ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang ada saat ini belum cukup kuat untuk menjaga stabilitas jangka panjang, dan justru memperbesar potensi krisis ekonomi. Reformasi mendalam dalam manajemen anggaran negara, peningkatan efisiensi penerimaan pajak, serta kebijakan yang lebih terukur dan adaptif diperlukan untuk menghindari jebakan utang dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan tanpa membebani generasi mendatang.