Didunia ini tidak ada hubungan yang selalu berjalan dengan mulus, terkadang ada tikungan atau bahkan sebuah kubangan yang bisa menyebabkan bencana dalam hubungan tersebut. Begitu pula dengan sebuah rumah tangga, sebuah rumah yang tidak hanya dihuni oleh seorang saja, bisa saja semakin banyak orang malah semakin banyak masalah. Begitu pula dengan keluarga saja yang berjumlah empat orang. Setiap hari ada saja permasalahan di dalam rumah, tak ada habisnya.
Semenjak pandemic semua kegiatan dialihkan di rumah saja, namun tidak dengan perorangan di keluarga saya. Bapak yang bekerja sebagai POLRI harus tetap berjaga diluar dan malah makin membuatnya semakin sibuk. Mulai dari menertibkan protocol kesehatan, operasi yustisi, menertibkan pemakaman covid, memburu banyaknya criminal saat pandemic, hingga mengurus surat-surat secara online yang sebelumnya jarang dilakukan, dsb. Ibu saya yang bekerja sebagai kepala sekolah dipusingkan dengan perubahan gaya mengajar yang berganti secara mendadak.permasalahan pun dimulai dari banyak guru yang gaptek sehingga harus diprivate manual, murid yang tidak memiliki gadget dan TV, wali murid yang kekurangan pangan, posisi sekolah yang dekat dengan pasar menyebabkan tempat yang strategis untuk menularkan covid, dll. Tak jauh beda dengan kakak saya yang bekerja sebagai guru diboarding school, dikarenakan tidak boleh membuka sekolah, alhasil para guru harus berjuang memberikan pelajaran perorangan dalam asrama dan hal terburuknya adalah menimbulkan klaster baru di lingkungan itu. Karena namanya asrama tentu latar belakangnya juga berbeda-beda.
Rasa takut, dan waspada tentunya menyelimuti mereka semua. Tak heran karena keparnoan itu membuat semuanya ketika di rumah menjadi gelisah, tidak tentram, rasa capek yang mendalam karena harus bekerja di tengah virus, dan juga saling menyalahkan karena tidak ada waktu untuk keluarga. Karena di rumah yang tidak keluar rumah hanya saya, maka sayalah sasaran utama mereka untuk melampiaskan semuanya. Awal mulanya saya sering merasa stuck, capek, dan benci dengan keluarga saya. Hingga saya berpikir mengapa semuanya harus saya yang menanggungnya.
Sikap saya yang terbebani semakin terlihat dan berubah menjadi suka melampiaskan emosi kepada semua orang. Hal itu membuat bapak saya mengumpulkan semuanya untuk berdiskusi di ruang makan. Pertamanya saya dipersilakan untuk mengeluarkan segala uneg-uneg saya. Semuanya terdiam dan menangis. Tak ada yang menyangka tentang apa yang sedang saya alami. Kemudian bergantian saling bercerita dan tibalah saat penyelesaian masalah. Bapak saya memberikan pengertian bahwa semuanya juga sedang berjuang, tak ada lagi yang boleh melampiaskan masalah pekerjaan ke dalam rumah, tak ada lagi terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan yang terpenting jangan memendam permasalahan sendiri. Karena sudut pandang tiap orang juga pasti berbeda, maka harus mendengarkan perspektif dari orang lain juga.
Permasalahan ini mungkin terlihat sepele, namun sesungguhnya hal ini telah merubah banyak sifat ataupun sikap dalam keluarga saya. Komunikasi dan toleransi sangat dibutuhkan dalam mempererat suatu hubungan. Siapa sangka setelah kejadian ini, keluarga saya menjadi makin erat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H