Mohon tunggu...
Rastra Rochima Sitoresmi
Rastra Rochima Sitoresmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi menulis dan bertukar pikiran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan Aplikatif Suku Baduy

27 Februari 2023   15:00 Diperbarui: 27 Februari 2023   15:00 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

KBBI menyatakan bahwa arti dari pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang/ kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Terlalu muluk-muluk bukan ? Dari panjangnya pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa makna dari pendidikan adalah sebuah proses memanusiakan manusia. Namun pada kenyataannya apakah makna itu diterapkan pada pendidikan di Indonesia tercinta ini ? Tentu saja jawabannya bervariasi, ada yang pura-pura menerapkan, ada yang senantiasa menegakkan pendidikan yang sesungguhnya, bahkan ada juga yang hanya berkedok pendidikan.

Beragamnya tipe pendidikan di Indonesia melahirkan karakter manusia yang berbeda pula. Begitu juga dengan suku Baduy di Banten, salah satu suku di Indonesia yang terkenal sebagai suku yang sangat menjaga kelestarian tradisi adatnya. Dengan falsafah hidup “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung”, yang berarti hiduplah dengan kejujuran dan kesederhanaan menjadikan pondasi sikap dan perilaku bagi orang-orang Baduy atau kalau kata anak sekarang adalah secukupnya. Sejak zaman dahulu kala, Baduy memang selalu memperjungkan nilai-nilai leluhurnya. Tak heran jika Baduy sangat kental dengan hal-hal yang pada masa kini dikenal sebagai kekolotan.

Berbicara tentang kekolotan, lalu bagaimana pendidikan di suku Baduy ? Dalam suku ini tidak terdapat sekolah formal pada umumnya. Pendidikan bagi suku Baduy memiliki konotasi yang berbeda. Menurut mereka menjadikan anak pintar itu adalah suatu perkara yang mudah, namun mencetak anak untuk hidup dengan benar adalah sebuah tantangan. Kepintaran tidak selalu menghasilkan hal yang baik, namun juga menimbulkan potensi untuk menjadi orang yang sombong, memberontak dan suka membodohi orang lain dengan alih-alih dirinya lebih pintar.

Karena tidak memiliki sekolah formal, lalu bagaimana cara mereka untuk mengatasi buat aksara ? Awalnya mereka belajar membaca dan menulis dari kemasan produk yang dibawa turis saat berkunjung seperti bungkus kopi, bungkus teh, dan lain-lain. Dari hal itu mereka belajar mengeja, dan menghafalkan semua hurufnya. Semakin lama makin banyak wisatawan yang berkunjung ke Baduy dan membawa kemasan produk baru, mereka mengenal huruf baru dan siklusnya selalu berulang. Ditambah lagi sekarang di Baduy luar sudah diperbolehkan untuk memiliki dan mengakses smartphone, hal ini semakin memudahkan mereka untuk belajar tidak mengenal tua maupun muda.

Budayawan Banten, Uday Suhada mengatakan bahwa cermin pola pendidikan suku Baduy adalah tata krama terhadap orang lain, keluarga dan diri sendiri. Hal itu dikarenakan Baduy tumbuh dari didikan tradisi lisan dan keteladanan, sehingga nilai kesederhanaan dari leluhur terinternalisasi dengan baik sampai sekarang. Perkembangan globalisasi juga bisa ikut masuk dalam suku Baduy dan tidak dilarang, namun memang proses sosial itu terbilang berjalan cukup lambat karena pemilahan yang sangat ketat agar sebisa mungkin tidak merusak dan bertentangan dengan tradisi dalam suku Baduy. Baduy percaya bahwa semua tetap ada nilai positif dan negatif, maka dari itu dalam suku Baduy teknologi masih dianggap tabu ibarat seperti pisau dengan dua mata sisi, bisa jadi berguna dan juga bisa menyayat jiwa.

Pendidikan formal dalam suku Baduy berganti menjadi istilah pendidikan aplikatif yang berarti pendidikan tentang apapun yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari seperti menenun untuk membuat baju, ilmu mencari makan, berjualan untuk mendapatkan uang, hingga bagaimana cara untuk bertahan hidup. Mereka lebih menekankan pada praktek daripada harus fokus terhadap satu teori dalam buku. Bahkan mungkin mereka tidak membutuhkan teori dan hanya mengandalkan angan-angan saja untuk bekerja dikarenakan sudah terbiasa sejak kecil akan rutinitas yang dilakukan.

Tidak usah ditanya lagi jika soal pendidikan karakter suku Baduy, bagaimana tidak jika sedari kecil saja anak-anak Baduy sudah dituntut untuk mandiri mencari uang sendiri. Berbeda dengan anak-anak biasa yang setiap pagi bisa sarapan enak dilanjut dengan pergi ke sekolah dengan naik kendaraan mewah. Suku Baduy harus bangun pagi dan pergi ke hutan untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan dan dijual agar mendapatkan uang. Mereka dididik untuk menjadi pribadi pekerja keras dengan mental baja agar dapat melanjutkan tradisi leluhur yang mencintai alam. Suku Baduy sangat menghargai alam dan menganggap alam sebagai keluarga sendiri. Mereka juga belajar bahwa jika kita menghargai dan menjaga alam, maka alam pun kan berbuat sama kepada kita.

Pendidikan aplikatif secara tidak langsung merujuk pada arti pendidikan yang sebenarnya yakni memanusiakan manusia. Banyaknya polemik perihal pendidikan, mungkin model pendidikan seperti inilah yang dibutuhkan oleh Indonesia. Dimulai dari proses, cara hingga hasil semuanya ada pada suku Baduy. Mereka menjadi lebih menghargai hasil. Asik juga kalau seluruh Indonesia menjadi negara yang bisa menghargai sesuatu dan bahkan bisa menghargai orang lain. Ah, indahnya.

Pendidikan karakter yang digadang-gadang akan menjadi benteng pelajar dari kenakalan tampaknya sudah terlebih dahulu direalisasikan oleh suku Baduy. Lalu apakah bisa pendidikan Indonesia meniru pendidikan aplikatif milik suku Baduy ? Jawabannya tidak ada yang tidak mungkin. Namun walaupun Indonesia menerapkan pendidikan aplikatif, Indonesia tetap membutuhkan teori dimana teori menjadi suatu landasan untuk mempelajari suatu ilmu. Antara teori maupun praktek, keduanya harus seimbang agar tidak menjadikannya berat sebelah.

Banyak orang salah kaprah menyimpulkan kesederhanaan Baduy, sehingga menimbulkan orang-orang berdalih tidak mau sekolah agar tidak keblinger akan ilmu. Berbeda dengan penuturan Baduy Mursid, “kalau diluar itu penting (sekolah), karena adat dan budayanya sudah berbeda”. Semuanya memang sudah memiliki porsi masing-masing, tinggal bagaimana tiap pribadi itu sendiri menjalaninya dengan baikkah atau hanya menyia-nyiakannya.

Faktanya pendidikan itu memang penting adanya, entah pendidikan formal biasa, pendidikan aplikatif, maupun pendidikan karakter semua itu menyangkut kepada masa depan bangsa Indonesia. Saat ini semua orang sedang berlomba-lomba agar bisa menjadi pribadi yang baik lagi. Entah bagaimanapun itu caranya, mulailah dari menyadari betapa pentingnya pendidikan dan setiap ilmu yang kita dapat dari alam yang begitu berharga. Perbedaan yang begitu beragam bukanlah problematika yang harus dipecahkan dengan kekerasan. Perbedaan itu ada untuk disatukan, bukan untuk disamakan. Agar bisa menjadi satu kesatuan, Bhinneka Tunggal Ika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun