Oleh
Prof. Dr. Armai Arief, MA
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Mahasiswa dengan identifikasinya sebagai insan akademis, adalah sosok yang terbiasa bergelut dengan nilai-nilai ilmiah, selalu terdorong untuk bersikap dinamis dalam menentukan langkah hidup sesuai dengan arah logika (rasional) yang ia bangun. Oleh karena itu bagi mahasiswa, keharusan untuk mampu berfikir kritis dan berani mengambil keputusan, rupanya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hal ini tentunya menjadi ciri khas tersendiri bagi mahasiswa, ia bergerak sesuai dengan hati nuraninya bukan atas dasar kepentingan pragmatis yang memang terkadang selalu menghantuinya.
Sebagai sosok yang kritis dan berani mengambil keputusan, mahasiswa memiliki landasan asumsi bahwa dalam hidup ini mesti ada kedinamisan, yaitu suatu kondisi perubahan menuju ke arah perbaikan. Maka dengan asumsi ini tidak jarang para mahasiswa melakukan preasure kepada pihak penguasa jika keadaan yang ada di sekelilingnya (dirasakan) terdapat kejanggalan-kejanggaian. Karena itu mahasiswa dapat dikatakan sebagai agent of social change, karena keberhasilannya menjalankan peran aktif dalam transformasi sosial masyarakat sekitarnya.
Dalam hal ini sejarah mencatat bahwa mahasiswa merupakan komponen bangsa yang hingga sampai saat inimasihtetapberperandalamarenasejarah perkembangan bangsa. Sebagaimana diketahui bahwa setiap beralihnya tongkat kepemimpinan nasional tidak lepas dari peran aktif para mahasiswa, bahkan sejak bangsa ini masih dalam cengkeraman penjajah, para mahasiswa sebagai pemuda yang memiliki sikap nasionalisme yang tinggi turut serta mempraksrsai berdirinya Budi Utomo, lahirnya Sumpah Pemuda, dar. berbagai organisasi kepemudaan lainnya.
Masih hangat dalam ingatan kita, bagaimana peran aktif mahasiswa dalam menumbangkan rezim Orde Baru dan menggulirkan refbrmasi. Hal ini semakin menunjukan kepada kita bahwa mahasiswa sebagai komponen bangsa memiliki peran strategis dalam mengambil langkah-langkah yang berpihak kepada kepentingan nasional.
Namun demikian, gelombang reformasi yang dahulu digulirkan oleh mahasiswa nampaknya mulai ternoda dengan adanyasekelompok mahasiswayang mendasarkanaktivitasnya(gerakannya)pada kepentingan pragmatis dan mengabaikan kepentingan nasional dalam skala yang lebih luas. Pada kondisi ini, tidak jarang gerakan-gerakan mahasiswa "diboncengi" oleh pihak-pihak luar yang secara sengaja memanfaatkan kesemangatan dan kekuatan mahasiswa, sehingga munculah "demo-demo pesanan" yang secara langsung ' maupun tidak langsung akan menurunkan kredibilitas mahasiswa itu sendiri.
Menyikapi hal ini, organisasi-organisasi kemahasiswaan termasuk di dalamnya Resimen Mahasiswa atau Menwa dituntut untuk introspeksi diri dan mengkaji secara mendalam tentang langkah-langkah strategis apa yang mesti dilakukan. Untuk itu keluasan wawasan dan ketajaman analisa lingkungan sangat diperlukan, paling tidak memperbaharui diri dalam berpartisipasi aktif untuk pembangunan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, maju dan bermartabat.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, Menwa cenderung tidak begitu populer di kalangan kampus, bahkan cenderung dipandang negatif oleh sebagian kalangan. Hal ini tentunya tidak bisa lepas dari perjuangan mahasiswa dalam menumbangkan suatu rezim yang memberikan keleluasaan lebih kepada militer di mana Menwa diidentikkan sebagai "antek-antek militer atau militernya kampus". Dengan alasan ini timbul berbagai gejolak yang menginginkan agar Menwa dibubarkan saja dari dunia kampus. Karena keberadaannya dianggap sebagai kepanjangan tangan dari militer. Apa lagi, saat ini muncul berbagai diskursus yang menginginkan adanya suatu pemerintahan yang dikelola oleh sipil, sedangkan militer dikembalikan kepada fungsi. pertahanan dan keamanan negara.
Menanggapi hal itu, introspeksi diri secara terbuka merupakan sikap yang elegan, yang bukan berarti kalah dari kecenderungan situasi yang nampaknya kurang memihak kepada Menwa. Oleh karena itu, pemikiran terhadap suatu paradigma baru untuk menjadikan Menwa sebagai organisasi yang lebih matang, solid dan independen sangat diperlukan. Dalam hal ini munculnya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah) Nomor: KB/14/M/X/2000, Nomor : 6/U/KB/2000; Nomor : 39 A tahun 2000, tanggal 11 Oktober 2000 tentang pembinaan dan Pemberdayaan Resimen Mahasiswa (Menwa) sebagai pengganti dari SKB 3 Menteri tahun 1994, jelas merupakan angin segar bagi Menwa untuk mampu menempatkan dirinya sebagai organisasi kemahasiswaan yang matang, solid dan independen. Karena dengan munculnya 8KB 3 Menteri yang baru ini, pembinaan dan pemberdayaan Menwa diserahkan kepada perguruan tinggi masing-masing. Ini menunjukkan bahwa keberadaan Menwa secara organisasi tidak berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya yang ada di lingkungan kampus.
Sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Menwa merupakan lembaga atau organisasi otonom kemahasiswaan yang ada dan diakui oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dan berfungsi sebagai wadah kegiatan khusus dalam upaya mengembangkan potensi, minat dan bakat serta pengabdian kepada masyarakat di tingkat perguruan tinggi.
Dalamkedudukannya sebagaiUnit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Menwa dituntut untuk mampu membuktikan dirinya sebagai organisasi yang telah mapan, tangguh dan propesional, karena jika hal ini gagal dilakukan oleh Menwa, maka tidak menutup kemungkinan eksistensinya akan kembali terusik. Ini merupakan cost yang mahal, yang mesti dibayar oleh Menwa baik secara organisasi maupun secara personal. Untuk itu sikap selalu memperbaiki diri dan membuka diri terhadap cakrawala kecenderungan dunia luar sangat diperlukan.
Dalam hal ini bukan berarti saya mendudukan Menwa pada posisi yang "salah" walaupun kesalahan itu sendiri tidakmampu teridentifikasi, karena dalam hal ini masih menyisakan sebuah pertanyaan besar yaitu "dosa apa yang dilakukan olehMenwa sehinggaia menanggung akibat dari kebencian sebagian masyarakat terhadap militer"-. Namun pada posisi ini, bukan juga merupakan suatu kearifan jika pihak Menwa menyalahkan adanya pandangan sebagian mahasiswa yang menyatakan bahwa Menwa adalah kepanjangan militer di lingkungan kampus, karena hal ini terjadi berdasarkan ketidaktahuan masyarakat dan mahasiswa terhadap Menwa itu sendiri.
Oleh karena itu, sikap yang terbaik dalam hal ini adalah mensosialisasikan jati diri Menwa sebagai organisasi kemahasiswaan. Sebagai salah satu UKM yang berada di lingkungan kampus dan memiliki kedudukan yang sama dengan organisasi-organisasi yang lainnya dan bukan merupakan kepanjangan tangan dari militer. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai macam kegiatan pembinaan baik pembinaan fisik maupun mental. Dalam hal ini justru Menwa memiliki "ciri khas" yang tidak dimiliki oleh UKM-UKM lainnya, yaitu sikap memegang teguh disiplin, setia, dan cinta tanah air dengan mensinergikan pembinaan fisik dan mental yang dibarengi dengan penajaman wawasan intelektual.
Dengan demikian, kegiatan-kegiatan olah keprajuritan yang selama ini lebih ditonjolkan akan lebih baik jika dibarengi dengan kegiatan-kegiatan yang bertumpu pada pengembangan diri, ilmu pengetahuan (intelektualitas) dan pengabdian kepada masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat.
Dalam kedudukannya sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Menwa dituntut untuk senantiasa menjadi organisasi yang lentur -bukan berarti tanpa pendirian- dan demokratis namun tetap mengedepankan sikap tegas dan disiplin terhadap para anggotanya dengan memegang garis komando yang merupakan ciri khas tersendiri dan yang membedakan organisasi ini dengan UKM-UKM yang lainnya di lingkungan kampus.
Sebagai organisasi yang tumbuh dan berkembang di lingkungan kampus, Menwa merupakan organisasi mahasiswa yang bukan saja menekankan kegiatannya kepada kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang biasa dilakukan, seperti peningkatan intelektualitas dan lain sebagainya, akan tetapi merupakan wadah partisipasi mahasiswa dalam upaya bela negara. Sejarah mencatat bahwa Menwa yang didirikan oleh Jenderal Besar (Purn) A.H. Nasution pada pemerintahan Orde Lama terutama sekali ditujukan untuk turutserta dalam upaya membendung penyebaran paham komunis khususnya di lingkungan kampus. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan Menwa dilingkungankampussebagaiupaya memberikan ruang yang lebih terbuka kepada para mahasiswa untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pertahanan dan keamanan dan pemeliharaan stabilitas nasional.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari gerakan kemahasiswaan, Menwa tidak saja dibekali dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, melainkan juga dibekali dengan ilmu keprajuritan yang dikenal dengan m ottonya "Widya Castrena Dharma Siddha". Dengan demikian tidak berlebihan jika Menwa diharapkan dapat mengabdikan dirinya kepada perguruan tinggi tempat ia bernaung dalam menciptakan ketertiban kampus.
Berkaitan dengan bela negara, maka setiap warga negara berhak turut serta dalam usaha bela negara. Karena itu Menwa tidak lebih merupakan bagian kecil dari komponen masyarakat InÂdonesia yang diharapkan berpartisipasi aktif dalam kegiatan bela negara. Justru peranan masyarakat yang lebih luas sangat diharapkan, sehingga stabilitas nasional dapat terjaga.
Namun demikian, usaha-usaha bela negara tidak bisa hanya dimaknai dengan kegiatan mengangkat senjata untuk melawan musuh. Di sini ada pemaknaan yang lebih luas dari sekedar mengangkat senjata, melainkan dapat berupa aktivitas-aktivitas dalam berbagai sektor kehidupan bangsa yang didasari dengan semangat dan kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sini nampak jelas bahwa usaha bela negara dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja, termasuk oleh Menwa di lingkungan kampusnya masing-masing.
Kegiatan menanamkan rasa kebangsaan juga merupakan bagian dari aktivitas bela negara, begitupun dengan sikap saling menghormati, saling menolong sesama, memelihara keamanan dan ketertiban di lingkungan masing-masing, juga merupakan bagian dari aktivitas bela negara. Karena hal tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung akan dapat menciptakan suasana kerukunan yang pada gilirannya akan memelihara persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berangkat dari pemikiran di atas, Menwa yang merupakan bagian integral dari warga negara Indonesia, merupakan wadah partisipasi aktif para mahasiswa khususnya dalam bidang pemeliharaan keamanan nasional. Hal ini didasarkan karena keamanan nasional tidak akan terbentuk tanpa adanya keamanan dalam lingkup terkecil yaitu keamanan pribadi, keluarga, lingkungan kampus, dan lingkungan masyarakat.
Seperti umumnya mahasiswa, anggota Menwa juga diharapkan mampu memainkan peran dan fungsinya baik ketika ia masih duduk di bangku kuliah maupun ketika sudah menyandang predikat sebagai sarjana. Ketika masih duduk di bangku kuliah, ia diharapkan dapat memainkan perannya sebagai agent of social change dalam pesatnya transformasi kehidupan sosial masyarakat. Namun bukan berarti ia dituntut untuk aktif dalam kegiatan di luar kampus dengan mengabaikan tugas intinya yaitu memmtut ilmu. Melainkan adanya keseimbangan yang didasari kesadaran pribadi dan kesadaran sosial. Ketika ia sudah menyandang predikat sarjana, maka ariggota Menwa diharapkan memberikan pengabdiannya kepada masyarakat dan turut berpartisipasi aktif dalam membangun bangsamenjadi bangsa yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Sebagai bagian dari generasi penerus tongkat kepemimpinan bangsa, Menwa merupakan wahana memupuk kader pejuang dan pengabdi kepada masyarakat dan negara yang dilandasi sikap nasionalisme dan penuh tanggung jawab. Dalam hal ini Menwa banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang menanamkan sikap patriotisme, mewarisi nilai-nilai perjuangan dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih. Dengan demikian, kader Menwa adalah kader pejuang, pembaharu, pemikir, pemimpin masa depari bangsa dan kader pengisi pembangunannasionalyang tetap diharapkan kehadirannya. Oleh karena itu, Menwa merupakan kader potensial dan aset bangsa yang keberadaan dan kiprahnya akan selalu ditunggu-tunggu.
Dengan demikian, Menwa memiliki hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan yangsederajatdenganorganisasi-organisasi kemahasiswaan lainnya. Oleh karena itu ia dituntut untuk mampu mengembangkan dirinya di tengah-tengah ketatnya kompetisi di antara organisasi kemahasiswaan yang ada. Menwa berhak melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah merupakan ciri khasnya, seperti pendidikan olah keprajuritan yang dibarengi dengan peningkatan intelektual para anggotanya. Kegiatan ini dapat berbentuk Latsarmil (Latihan Dasar Kemiliteran), Pendidikan dan Latihan Perlindungan Masyarakat dan lain sebagainya. Karena dalam hal ini, pihak perguruan tinggi tidak berhak memperlakukan diskriminatif terhadap Menwa.
Sebagian bagian dari warga negara yang peduli terhadap bela negara, Menwa merupakan wadah partisipasi aktif para mahasiswa khususnya dalam bidang pertahanan dan keamanan nasional. Sebagai organisasi yang pada kegiatannya telah dibekali latihan-latihan khusus tentang kemiliteran, Menwa dituntut untuk berpartipipasi aktif dalam segala usaha pembelaan terhadap negara. Hal ini juga sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 27 ayat 3 dan pasal 30 ayat 1. Di samping itu juga, usaha bela negara merupakan wujud dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan Panca Dharma Satya Resimen Mahasiswa dalam lingkungan masyarakat, bangsa negara Indonesia.***
Di atas adalah tulisan dalam buku Setengah Abad Resimen Mahasiswa Jayakarta, berikut link buku tersebut yang dapat diunduh:
http://rasminto-rasminto.blogspot.com/2014/01/buku-setengah-abad-menwa-jayakarta.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H