Hari Sabtu, di akhir bulan Maret tepatnya tanggal 31 Maret 2012. Ketika fajar datang, sekitar pukul 04.30 saya dan tiga teman lainnya sudah siap meluncur menuju kota gudeg, Yogyakarta. Semangat baru di akhir bulan Maret, karena ada kegiatan yang sangat penting yaitu mengikuti kuliah umum dari Prof. Dr. Sri Edi Swasono, seorang Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga menjadi Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa. Prof. Dr. Sri Edi Swasono adalah ekonom yang banyak berkecimpung di dunia koperasi, tampaknya klop sekali dengan cita-cita luhur Bung Hatta yang juga menjadi pionir koperasi di Indonesia yang sekaligus menjadi mertua beliau. Lahir di Ngawi, Jawa Timur tanggal 16 September 1940, saat ini sudah berumur 72 tahun. Namun sosok beliau masih tetap segar, energik dan terlihat awet muda seperti beberapa puluhan tahun silam ketika saya mengikuti acara serupa di Semarang. Sri Edi Swasono (pdk.or.id) Tampaknya kegiatan kuliah umum ini sangat menarik banyak perhatian, sehingga hampir seluruh kursi yang disediakan penuh. Bahkan banyak peserta harus rela duduk disekitar pintu masuk untuk mengikuti kuliah umum dari Prof. Dr. Sri Edi Swasono ini. Tepat pukul 09.00 protokol memberikan waktu khusus kepada beliau untuk memulai dan segeralah beliau menuju mimbar dengan santai. Melihat beberapa orang yang ada di luar dan sangat antusias untuk mengikuti kuliah umum maka kini Prof. Dr. Sri Edi Swasono justru yang mengatur protokol. Sang protokol disarankan untuk menggeser meja kedepan dengan bantuan peserta sehingga akhirnya ada ruang kosong yang dapat menampung beberapa peserta yang ada di luar. "Nah, itulah ko-operasi. Melalui ko-operasi, dengan kerjasama semua menjadi mudah." Itu komentar singkatnya. Beberapa catatan penting yang setidaknya sedikit saya pahami adalah tentang doktrin kerakyatan. Menurut beliau bahwa doktrin kerakyatan berkaitan dengan keutamaan "Daulat Rakyat", bahwa kepentingan rakyat adalah primus, bahwa pemerintahan Negara dijalankan atas kehendak dan kepentingan rakyat, bahwa "Tahta adalah untuk Rakyat". Dengan demikian posisi rakyat adalah sentral-substansial. Selanjutnya beliau mengemukakan berbagai keprihatinan nasional melalui pertanyaan-pertanyaan berikut : Pertama, mengapa pembangunan yang terjadi di Indonesia ini menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemisikinan ? Akibatnya pembangunan, sebagai kepanjangan kapitalisme global telah menjadi proses dehumanisasi. Kedua, mengapa yang terjadi sekedar pembangunan di Indonesia dan bukan pembangunan Indonesia ? Orang mancanegara yang membangun Indonesia dan menjadi pemegang konsesi bagi usaha-usaha ekonomi strategis, sedang orang Indonesia menjadi penonton atau menjadi jongos globlalisasi. Ketiga, mengapa "daulat pasar" dibiarkan begitu saja berkuasa, sehingga menggusur "daulat rakyat". Beginilah ekonomi yang berdasar pemujaan pada pasar. Keempat, bukankah seharusnya kita menjadi Tuan di Negeri sendiri, menjadi "The Master in our own Homeland, not just to become the Host", yang hanya melayani kepentingan globlalisasi dan mancanegara ? Lalu mengapa kita tetap menjadi koeli di Negeri Sendiri, sekedar menjadi master of ceremony : mengantar tamu-tamu asing duduk di kursi VIP, mengedarkan daftar hidangan, mengobral sumber daya alam, menjual masa depan, dan yang sejenisnya. Kelima, kesejahteraan rakyat yang tidak kunjung tercapai, kesenjangan antara kaya dan miskin makin meningkat. Keenam, kesenjangan antara kaya dan miskin yang pada akhirnya dapat membentuk kesenjangan frustasi pada pihak si miskin. Dalam kesempatan selanjutnya beliau juga mengemukakan tentang Nasionalisme dan Globalisasi, yang pada intinya mengharap agar para pemuda-pemudi tidak termakan oleh globlalisasi yang dapat melumpuhkan semangat nasionalisme kita. Terkait dengan ekonomi rakyat beliau menjelaskan bahwa ekonomi rakyat adalah wujud dari ekonomi yang berbasis rakyat (people-based economy) dan ekonomi terpusat pada kepentingan rakyat (people-centered economy) yang merupakan inti dari Pasal 33 UUD tahun 1945, terutama ayat (1) dan ayat (2). Hal yang paling menarik dari kuliah umum beliau adalah saat beliau mengemukakan Bupati-Bupati Inlander atau dalam bahasa yang lebih mudah adalah Bupati-Bupati Keblinger. Dijelaskan bahwa ada Bupati yang dengan bangganya mampu menghadirkan resto foreign-franchise di sekitar alun-alun, padahal tanpa disadari hal ini telah menurunkan pangkat kemegahan lokal alun-alun yang umumnya dikelilingi Masjid Agung dan beberapa kantor pemerintahan. Prof. Dr. Sri Edi Swasono menyebut bahwa bupati tersebut masih inlander, mudah terkagum-kagum pada investor namun lupa akan rakyatnya. Bagi Bupati modernisasi adalah westernisasi, mengagumi investor asing, namun lengah baginya yaitu akan tugas kerakyatannya. Berapa uang rakyat yang akan tersedot dengan hadirnya resto cepat saji, sebesar itu pula uang yang tidak dibelanjakan pada jajanan pasar dan makanan lokal lain buatan rakyat. Belum lagi banyak kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada investor asing dengan mendirikan berbagai mall, supermarket, hotel mewah dan pemukiman super mewah yang harus dilaluinya dengan menggusur tanah-tanah rakyat walaupun dengan ganti rugi. Namun beberapa kemudahan pembangunan tersebut pada dasarnya telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Akhirnya applause panjang yang luar biasa menutup kuliah umum. Terimakasih Prof. Edi ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H