Pendidikan inklusi merupakan suatu sistem kebijakan yang berprinsip pada kesetaraan yang berarti bahwa anak berkebutuhan khusus dapat mengakses pendidikan seperti anak di sekolah reguler pada umumnya (Azizah & Hendriyani, 2024). Pendidikan inklusi bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak berkebutuhan khusus agar dapat bersekolah di sekolah umum (Kurniawan et. al., 2024). Hal ini berarti bahwa pendidikan inklusi memberikan kesempatan kepada semua anak dengan berbagai latar belakang yang berbeda untuk mengakses pendidikan di sekolah reguler pada umumnya. Pendidikan inklusi juga membuka harapan dan kesempatan yang sama bagi semua anak, tanpa memandang perbedaan kemampuan dan keadaan yang dialaminya untuk belajar di lingkungan yang sama.
Pendidikan inklusi di Indonesia sampai saat ini masih berada dalam proses perkembangan. Rofi’i (2023) menyebutkan bahwa Laporan Gambaran Sekolah Inklusif di Indonesia Tinjauan Sekolah Menengah Pertama 2017 mengungkapkan bahwa dari 2.465 sekolah inklusif negeri di Indonesia, hanya tersedia 728 Guru Pendamping Khusus (GPK). Sebagai ilustrasi, pada tahun 2017 terdapat 1.138 siswa dengan tuna grahita ringan hingga sedang yang bersekolah di sekolah inklusif negeri, namun hanya didampingi oleh 41 GPK. Penyebaran siswa ini meliputi 34 provinsi, sementara GPK hanya tersedia di 18 provinsi. Contoh lainnya adalah siswa dengan disabilitas tuna wicara. Di sekolah inklusif tingkat SMP negeri, terdapat 112 siswa tuna wicara, tetapi hanya ada 2 GPK yang bertugas. Selain itu, distribusi GPK antarprovinsi juga sangat tidak merata.
Tentunya, untuk mewujudkan pendidikan inklusi, pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih dalam mendukung dan mewujudkan pendidikan inklusi di Indonesia. Di samping dukungan sarana dan prasarana yang memadai untuk pendidikan inklusi, pemerintah juga harus mulai bergerak untuk menyediakan guru pendamping khusus (GPK) di setiap sekolah reguler. Apabila ditelisik, sekolah umum di Indonesia masih kekurangan guru pendamping khusus (GPK). Padahal, GPK ini memiliki peran yang sangat penting dalam kelangsungan pendidikan inklusi. Lantas, jika tidak ada guru pendamping khusus (GPK), siapa yang mengambil peran tersebut? Sejauh ini, biasanya tugas guru pendamping khusus untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran biasanya dialihkan kepada guru bimbingan dan konseling (BK).
Pengalihan peran ini tentu memiliki keterbatasan, mengingat keilmuan dan kompetensi yang dimiliki oleh guru BK tidak sepenuhnya mumpuni untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam konteks pendidikan inklusi. Guru BK tidak dilatih secara khusus dalam hal pedagogi dan metode pengajaran yang sesuai untuk anak dengan disabilitas atau kebutuhan khusus. Inilah mengapa guru pendamping khusus yang terlatih dalam pendidikan inklusi menjadi sangat penting. Penulis memahami bahwa guru pendamping khusus (GPK) memiliki pemahaman yang mumpuni secara keilmuan dan praktik dalam mengenai strategi pembelajaran yang sesuai dengan berbagai jenis kondisi siswa berkebutuhan khusus. Selain itu, mereka juga terlatih dan mumpuni untuk memahami kebutuhan akademik dan sosial siswa berkebutuhan khusus.
Melihat hal tersebut, pengalihan tugas guru pendamping khusus kepada guru BK dapat mengurangi kualitas pendidikan yang diterima oleh anak-anak dengan kebutuhan khusus sehingga sekolah inklusi perlu untuk memiliki guru pendamping khusus yang kompeten dan terlatih dengan baik. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah perlu segera mengkaji dan membuat kebijakan mengenai keberadaan guru pendamping khusus di sekolah-sekolah reguler pada umumnya. Meskipun sudah ada dasar hukum yang mendukung pendidikan inklusi di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2009 yang mengamanatkan pentingnya pendidikan untuk semua anak tanpa terkecuali, pelaksanaan kebijakan ini masih menghadapi tantangan yang serius, salah satunya terkait dengan keberadaan guru pendamping khusus (GPK).
Salah satu masalah utama adalah kurangnya pengalokasian sumber daya untuk mendukung keberadaan GPK di sekolah-sekolah, terutama di daerah-daerah dengan keterbatasan anggaran. Undang-Undang dan peraturan tersebut memang mengamanatkan inklusivitas dalam pendidikan, tetapi tidak memberikan pedoman yang cukup jelas atau mendetail mengenai kewajiban setiap sekolah untuk menyediakan guru pendamping khusus yang kompeten. Akibatnya, banyak sekolah tidak merasa tertekan untuk merekrut atau menyediakan GPK. Namun, sebagian orang tua memilih untuk tetap mendatangkan guru pendamping khusus (GPK) ke sekolah sehingga biayanya ditanggung sendiri oleh orang tua tersebut. Jika situasi ini dibudayakan, situasi ini dapat menciptakan beban sosial dan finansial yang tidak seharusnya ditanggung oleh orang tua, terutama bagi keluarga dengan keterbatasan ekonomi. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah untuk memperjelas dan menegaskan kebijakan terkait kewajiban penyediaan GPK, pendidikan inklusi di Indonesia akan terus terhambat.
Lantas, bagaimana solusinya?
Solusi untuk mengatasi masalah kekurangan guru pendamping khusus (GPK) dalam pendidikan inklusi memerlukan kolaborasi antara mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah. Bagi mahasiswa, terutama yang mengambil jurusan pendidikan atau bidang terkait, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mendukung penguatan pendidikan inklusi di Indonesia. Pertama, mahasiswa bisa menambah pengetahuan dan keterampilan terkait pendidikan inklusi melalui pelatihan, seminar, atau magang di sekolah inklusi. Dengan memiliki pemahaman yang baik tentang teori dan praktik pendidikan inklusi, mahasiswa dapat menjadi agen perubahan yang membantu menyebarluaskan wawasan inklusi di berbagai komunitas dan lingkungan pendidikan. Kedua, mahasiswa yang memiliki minat di bidang pendidikan khusus bisa berpartisipasi aktif dalam penelitian dan pengembangan mengenai pendidikan inklusi. Mahasiswa juga dapat bergabung dengan organisasi mahasiswa atau lembaga sosial yang fokus pada isu disabilitas dan pendidikan inklusi untuk mendorong advokasi terhadap kebijakan yang lebih mendukung. Selain itu, mahasiswa dapat menjadi pendamping sukarela atau membantu di sekolah-sekolah yang membutuhkan dukungan, terutama yang menerapkan pendidikan inklusi.
Masyarakat dapat berperan dalam mendorong kesadaran tentang pentingnya pendidikan inklusi melalui berbagai forum, baik itu di sekolah maupun komunitas, serta mendukung kebijakan yang memperkuat keberadaan guru pendamping khusus (GPK). Kemudian, pemerintah dapat segera membuat kebijakan mengenai pengalokasian anggaran yang lebih besar untuk pendidikan inklusi, termasuk untuk menggaji dan melatih guru pendamping khusus (GPK), serta memastikan bahwa setiap sekolah, baik negeri maupun swasta, memiliki kewajiban untuk menyediakan guru pendamping khusus (GPK) yang terlatih. Pemerintah juga perlu menyusun pedoman yang jelas mengenai tanggung jawab sekolah dalam menyediakan guru pendamping khusus (GPK) agar tidak ada sekolah yang abai terhadap hak anak berkebutuhan khusus. Selain itu, pemerintah harus mendorong pelatihan berkelanjutan bagi para guru, termasuk guru BK, untuk bisa mendukung pendidikan inklusi dengan lebih efektif sehingga pendidikan inklusi dapat berjalan tanpa mengandalkan biaya tambahan yang membebani orang tua pada saat guru pendamping khusus (GPK) masih belum tersedia.
Kesimpulan
Pendidikan inklusi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal meratanya guru pendamping khusus (GPK) di sekolah reguler. Meskipun sudah ada dasar hukum yang mendukung, pelaksanaan pendidikan inklusi seringkali terkendala karena kurangnya alokasi sumber daya untuk melatih dan menggaji guru pendamping khusus (GPK). Akibatnya, biasnaya tugas guru pendamping khusus  (GPK) sering dialihkan kepada guru bimbingan dan konseling (BK) yang kurang memiliki keahlian khusus untuk mendukung anak-anak berkebutuhan khusus secara optimal. Hal ini dapat berdampak pada kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa berkebutuhan khusus, terutama di wilayah dengan keterbatasan anggaran.