Desa Tuabao. Mungkin tidak begitu banyak orang di Indonesia, apalagi di dunia internasional yang tahu dan pernah datang ke desa ini. Â Tuabao adalah salah satu desa dari total 147 desa di kabupaten Sikka. Â Jarak tempuh dari kota Maumere, ibukota Kabupaten Sikka sekitar 1,1 jam dengan mengunakan kendaraan bermotor, roda dua maupun roda empat dengan menyusuri jalanan beraspal mulus melalui pinggiran pantai laut Flores di sebelah kiri dan gunung Egon di sebelah kanan.
Pemandangan indah laut Flores dan Gunung Egon ini akan terlihat indah ketika kita akan  mendarat di Frans Seda airport yang membawa kita dari penerbangan Jakarta melalui Bali dengan waktu tempuh sekitar kurang lebih 4 Jam dari Jakarta sebagai ibukota Negara Indonesia.Â
Gerbang masuk ke Desa Tuobao berada di jalan poros Maumere -- Larantuka pada kira-kira kilometer 40 dari kota Maumere. Â Jalan masuk ke desa ini menanjak dari datatan pinggir pantai menuju perbukitan yang merupakan rankaian dari pengunungan Egon. Â Sesungguhnya sudah beraspal mulus sebelumnya namun karena ada pembangunan Bendungan atau Dam besar di hulu perbukitan ini maka saat ini sudah banyak bergelombang dan berdebu karena dilalui oleh kendaraan berat yang mengangkut material yang setiap hari bisa mencapai 15 sampai 20 truk besar. Â Begitu memasuki daerah perbukitan di kiri kanan jalan langsung terlibat kebun-kebun tradisional masyarakat yang banyak ditanami jambu mete yang dicampur dengan berbagai tanaman pangan seperti padi, jagung, kacang-kacangan. Sebuah model kebun jambu mete tanaman campuran yang sering dikenal dengan istilah agroforestry.Â
Kebun mete di Desa Tuabao yang terlihat  tumbuh subur di kebun-kebun petani dan di lahan-lahan petani di desa ini. Tanaman mete yang rata-rata sudah berusia sekitar 20-30 tahun ini merupakan tanaman yang ditanam untuk pengendalian lahan kritis di sekitar tahun 80 an.  Tanaman mete ini mulai berbunga sekitar bulan Maret-April dan mulai bisa dipanen skitar bulan Agustus sampai Desember.
Panen raya dapat berlangsung dari bulan September dan Oktober, dimana pad musim panen raya ini, buah atau tepatnya biji mete gelondongan harganya dapat mencapai  Rp 21.000 per kg tetapi pada akhir musim hanya dihargai sampai Rp 1000 per kg.  Dengan musim berbuah sekali setahun, kebun mete satu petani dengan luas 2 Ha, dengan rata-rata produktifitas 580 kg/ha maka penghasilan petani mete adalah hanya 1160 kg mete gelondognan per tahun. Dengan dikalikan harga rata-rata Rp 20.000 per kg maka uang yang diterima oleh petani dalam satu tahun dari kebun mete seluas 2 Ha adalah sebesar Rp 23.200.00,- Jika dibagi 12 bulan maka penghasilan per bulannya hanya Rp 1.900.000,- .Tentunya, sumber pendapatan keluarga petani contoh kasus desa Tuabao ini dari kebun metenya tidak hanya dari tanaman mete.
Senyum khas Pak Barto (Ketua Kelompok HKm) di desa Tuabao terlihat hangat dan bersemangat  ketika bercerita tentang kesehariannya yang aktif dan inovatif mengelola kebun metenya sebagai mata pencahairan keluarganya.  Ada sumber pendapatan dari tanaman asam yang sangat subur tumbuh ditengah kebun metenya dan ada tanaman sayur-sayuran serta ada ternak sapi yang juga di gembalakan diantara tanaman mete.
Dalam setahun pendapat keluarga petani di desa Tuabao ini  bisa mencapai 4-5 juta rupiah per bulannya.  Angka ini sudah jauh diatas Upah Minimum Pekerja(UMP) propinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2020 sebesar Rp 1.950.000 per bulannya. Belum lagi jika produk mete gelondongan tersebut diolah menjadi kacang mete, selai mete, syrup  dan lain produk turunan lainnya, tentunya nilai tambah ekonominya akan meningkat lagi.Â
Pak Barto menceritakan cita dan inisiatif HKm (Hutan Kemasyarakatan)  yang sudah dirintis dan dikerjakan bersama anggotanya yang berjumlah sekitar 30 orang sejak sekitar satu setengah tahun yang lalu.  Inisiatif ini didukung dan bekerja sama dengan lembaga "Sandi Florata" di Maumere  dan Kemitraan di Jakarta.
Berbagai kegiatan telah dilakukan mulai dari pengajuan ijin HKm kepada KLHK, pengorganisasian kelompok seperti pelatihan dan pemetaan wilayah kelolah HKm, peningkatan kapasitas produksi seperti pemberian bantuan bibit mete dan tanaman produktif lainnya, upaya membangun kualitas mutu produksi melalui studi banding dan pelatihan sampai dengan membangun akses pasar atas produk mete gelondongan maupun olahan ke pasar lokal maupun nasional menjadi kerja-kerja bersama dengan berbagai pihak di tingkat daerah kabupaten Sikka, termasuk KPH yang merupakan salah satu ujung tombak KLHK di lapangan.
Berbagai upaya ini telah menunjukkan hasil yang positif, seperti telah diperolehnya IUPH HKM dari KLHK, terbentuknya kelompok HKm dan meningkatknya pengetahuan dan ketrampilan petani dalam membangun cita dan asa mereka untuk meningkatkan pendapatan melalui pengelolaan agroforestry mete dimana sekaligus menjaga kelestarian hutan di kawasan desa tersebut.
Namun menurut Pak Barto, masih ditemui sejumlah kendala dan hambatan yang masih menjadi pekerjaan rumah penting ke depan, diantaranya adalah bagaimana memperkuat kelembagaan bisnis dari kelompok yang sudah terbentuk dan meningkatkan kapasitas kelompok dalam mengakses pasar produk mete yang dihasilkan.
Pendekatan agroforestry untuk pengembangan kebun mete di HKm-HKm atau Skema Perhutanan Sosial yang sedang menjadi trending kebijakan pembangunan kehutanan Indonesia saat ini sudah sepantasnya menjadi sesuatu yang diseriusi oleh semua pihak. Â Mulai dari aparatur pemerintah di tingkat desa sampai dengan pengambil keputusan tertinggi di Jakarta.Â
Lalu kemudian aktor-aktor atau pelaku bisnis dalam rantai perdagangan produk yang dihasilkan oleh komunitas-komunitas lokal akan menyesuaikan berbagai aktifitas dan inovasi bisnisnya sesuai dengan kebijakan dan peraturan-peraturan pemerintah yang memang benar memahami realitas di lapangan.
Bukankah pelaku bisnis akan selalu berupayakan mengikuti regulasi yang ada karena tanpa mematuhi regulasi tersebut, bisnis yang dikembangkan tidak akan berjalan dengan optimal. Konsumen yang akan menjadi penerima akhir dari produk-produk yang dihasilkan aktor bisnis tersebut sudah sangat cerdas menilai sebuah yang berkualitas dan bermutu, tidak hanya mutu secara rasa dan kesehatan tetapi lebih jauh dari itu bermutu dalam konteks social dan budaya masyarakat local. Â Di era teknologi 4.0 ini telah menjadikan semua orang dapat mengawasi prilaku kita.
Akhirnya, kesadaran bersama untuk hidup bersama yang lebih baik adalah sebuah hal yang seharusnya selalu kita kampanyekan dalam berbagai upaya kita untuk membangun masa depan kita.
Tidaklah ada satu orang atau pihak yang lebih penting dari yang lain. Â Sistem kehidupan kita mengharuskan kita saling berbagi sehingga kehidupan kita akan menjadi lebih berwarna dengan indah. Â Mimpinya, senyum bahagia orang Tuabao yang berhasil mengembangkan skema agroforestry di HKm mereka akan juga menjadi senyum bahagia Kepala Desa, Â Camat, Bupati Sikka, Sandi FLorata yang tengah memperkuat inisiatif 32 HKm di Kabupaten SIkka.Â
Dan tentunya juga  Pedagang Mete dari Geliting sampai Surabaya dan Jakarta dan senyum pemangku utama di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta serta Pemangku di Perkumpulan "Kemitraan" yang berkantor di Ragunan-Pasar Minggu Jakarta.
Bogor, 16 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H