Mohon tunggu...
Ahmad Sauki
Ahmad Sauki Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Uji Shahih Kasus JIS

13 April 2015   07:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:11 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Ahmad Sauki

Pendidik, Eks Aktivis HMI Ciputat

Dalam banyak kasus, kita melihat bahwa penegakkan hukum di negeri ini masih banyak menimbulkan kontroversi di mata publik. Sering kita menemukan hukum sangat “cair dan fleksibel” ketika berhadapan dengan pejabat atau masyarakat dari kelas sosial tertentu, di sisi lain hukum sangat “berwibawa” ketika berhadapan dengan masyarakat bawah. Reformasi hukum baru sebatas jargon dan formalitas, reformasi hukum baru  sebatas upaya penysuaian (adjusment) terhadap iklim demokrasi dan reformasi setelah sekian lama sistem hukum hidup dalam iklim otoritarianisme Orde Baru dan lebih diarahkan untuk melegitimasi kepentingan penguasa dan kroni-kroninya. Iklim reformasi belum melahirkan aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) yang memiliki komitmen dan integritas yang tinggi dalam mewujudkan sistem hukum yang berkeadilan. Oleh karenanya, tegaknya hukum yang berkeadilan tanpa diskriminasi serta   terwujudnya  institusi  dan aparat hukum yang bersih, berwibawa, dan  profesional masih menjadi PR besar bangsa ini.

Kasus Pelecehan Seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS) Mei 2014 lalu menyita banyak perhatian publik dan dunia pendidikan baik di tanah air maupun belahan dunia lainya. Sangat wajar bila kasus ini sangat Go International mengingat reputasi JIS sebagai Center of Excellence diakui oleh dunia International. JIS merupakan Sekolah International terbaik di dunia bukan hanya karena fasilitas dan sistem pendidikannya, tetapi juga para alumninya yang tersebar di Perguruan Tinggi terbaik di dunia (Harvard, Massachuset Institute of technologi/MIT, Oxford, dll.)

Mungkin kita bisa mengatakan, mana mungkin seseorang mengakui kejahatan yang dilakukannya, karena penolakan pengakuan merupakan bagian dari sistem proteksi diri. Akan tetapi, penyiksaan (oleh penyidik/Polisi) untuk memperoleh pengakuan dan juga rekayasa kasus merupakan sesuatu yg “lazim” terjadi di negeri ini.

Sampai saat ini bukti sodomi tersebut masih sulit ditemukan walaupun vonis sudah dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 2 April 2015 lalu. Belum ada bukti yang  shahih dan meyakinkan bahwa kasus ini benar-benar terjadi. Bahkan sebaliknya, dalam perjalanannya, validitas bukti-bukti yang diajukan semakin lemah dan layak dipertanyakan keshahihannya. Kalaupun ada bukti visum, visum awal  tersebut hanya menjelaskan terjadinya bakteri herpes di anus korban, sedangkan bakteri herpes sendiri bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, bukan hanya (bukan satu-satunya) karena pelecehan seksual. Untuk menguji lebih jauh, si ibu korban diminta datang lagi oleh tim dokter untuk pemeriksaan selanjutnya, akan tetapi hal ini tidak dilakukan oleh si ibu korban. Adalah aneh ketika sang ibu yakin anaknya menjadi korban pelecehan seksual tapi melakukan pemeriksaan secara setengan-setengah. Akhirnya, berbekal visum prematur dan intepretable tersebut, sang ibu melaporkan kasus ini ke kepolisian. Bagi si ibu korban, visum tidak dimaksudkan untuk menguji keshahihan terjadinya pelecehan seksual (sodomi), akan tetapi visum tersebut hanya sekedar syarat administratif untuk dilakukannya pelaporan/pengaduan. Bukti visum yang prematur dan interpretable tersebut membuka peluang terjadinya multi tafsir, sehingga ada pintu masuk untuk menafsirkan proses hukum sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang bermaksud merekayasa kasus sodomi ini. Karena kalo visum tersebut dituntaskan utk menguji benar tidaknya terjadi sodomi, maka kasus ini akan selesai dan tidak bisa dikembangkan lebih jauh oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan di balik kasus ini. Bahkan ketika bukti baru berupa hasil medical check up dari sebuah Rumah Sakit di Singapura yang secara tegas menyatakan tidak terjadinya sodomi tidak menjadi pertimbangan Majlis Hakim dalam mengambil keputusan. Majlis Hakim tetap bergeming dengan amar putusannya berdasarkan premis hukum yang masih bersifat dzonni (debateable) dan mutasyabihat (interpretable). Hal ini semakin menunjukkan adanya anomali dalam kasus JIS. Proses peradilan terkesan tidak berupaya menghadirkan premis-premis hukum yang bersifat qath’i (valid) agar hukum bisa berdiri tegak di atas pondasi kebenaran, kejujuran, dan keadilan yang substansial. Bukan  hukum yang hanya bersandar pada syarat-syarat admisnistratif dan prosedural semata.

Mungkin ada hidden agenda yang hendak dicapai dibalik kasus ini. Kasus pelecehan seksual hanya sebagai entrypoint dari skenario besar tersebut. Isu nasionalisme sengaja dimainkan karena JIS dianggap representasi kepentingan asing. Sentimen nasionalisme publik sengaja diseret karena isu kedaulatan nasional dan kepentingan asing merupakan sesuatu yang seksi untuk diangkat sebagaimana isu agama yang sensitif dan mudah disulut di negeri ini. Tapi mereka lupa, justru yang menjadi tumbal pertama dari skenario tersebut adalah anak-anak negeri ini, keenam Petugas Kebersihan (Cleaning Service) adalah pribumi indonesia, mereka adalah rakyat kecil yang menjadi tulang punggung keluarga, keseharian kehidupan keluarga mereka merupakan gambaran keluarga yang menanamkan nilai-nilai religiusitas, mereka berusaha tetap hidup bersahaja di tengah himpitan ekonomi yang mendera, mereka adalah gambaran masyarakat marginal yang mencoba untuk survive di tengah gemerlapnya kehidupan kota metropolitan, mereka mencoba bersaing hidup dengan mencari nafkah secara halal dan terhormat, tidak terlintas dalam pikiran mereka untuk melakukan hal-hal yang bisa merusak masa depan mereka dan keluarganya. Akan tetapi, mengapa kehidupan mereka berakhir tragis dibalik jeruji besi seperti sekarang ini. Sekarang mereka menjadi “pesakitan” di hotel prodeo atas tuduhan yang mereka sendiri tidak paham. Nasib mereka merupakan gambaran sebuah fragmen kehidupan di mana kaum proletariat menjadi korban manusia-manusia borju yg sedang memburu popularitas, karier, maupun keuntungan finansial di balik kasus ini. Perilaku aparat penegak hukum yang korup mungkin saja tidak hanya terjadi dalam film-film India, tapi juga terjadi dalam dunia nyata, karena sering kali film menggambarkan realitas kehidupan yang terjadi disekitar kita.

Keberpihakan pada nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan keadilan mrupakan panggilan nurani manusia yang bersifat universal. Dia tidak mengenal batas-batas primordial seperti suku, agama, ras, bangsa maupun bahasa. Karena nurani merupakan naluri kemanusiaan yang dikaruniakan Tuhan kepada setiap umat manusia. Kita tidak perlu menunggu bangsa lain menilai sistem hukum/peradilan kita, karena masyarakat kita sudah mafhum dengan sinetron kehidupan yang sering kali terjadi di negeri ini. Di negerinya sendiri mereka terdzolimi mendapat fitnah dan ketidakadilan oleh institusi negara, sementara di sisi lain mereka mendapat perhatian dan simpati dari belahan dunia lainnya. "Allah mengilhamkan ke dalam qolbu manusia sifat buruk dan sifat baik/ketaqwaan, beruntunglah mereka-mereka yang mensucikannya, dan merugilah mereka-mereka yang mengotorinya". Kebenaran bukan milik semua orang, kebenaran hanya milik mereka-mereka yang mencarinya. Pengadilan nurani sedang mencari tempat di negeri ini... wallahu a’lam bis shawab!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun