Saya merasa bersyukur bahwa sejak lulus dari kuliah Diploma di sebuah politeknik di Bandung, langsung mendapatkan pekerjaan. Tepat dua hari sesudah wisuda saya langsung pergi ke karawang untuk mulai bekerja. Masih piyik-piyik, usia masih duapuluh satu tahun kala itu.
Sejak itu berlanjut dengan banyaknya keberuntungan yang saya dapatkan dalam bidang pekerjaan. Seiring dengan waktu akhirnya sampai dengan bulan Oktober tahun kemarin saya masih bekerja di sebuah perusahaan kesehatan.
Sesuai dengan pribadi saya yang ambivert, terkadang introvert dan extrovert, saya termasuk salah seorang yang fokus dalam bekerja. Semua orang di kantor tidak pernah meragukan dedikasi saya dalam bekerja. Begitu pun dengan atasan dan rekan team saya. Dua puluh empat jam siap untuk pekerjaan. Apalagi saya berada di bagian supply chain dimana permasalahan selalu datang tanpa terduga sama sekali. Â
Sejujurnya saya menikmati pekerjaan saya. Bahkan dapat dikatakan kecanduan. Hidup sendiri membuat kepala saya tidak penuh dengan persoalan rumah tangga. Sehingga setengah bagian isi kepala saya tentu penuh dengan pekerjaan. Saya tidak keberatan dengan kondisi ini. Â
Tidak jarang saking kecanduannya saya bisa membuka laptop malam-malam hanya untuk membalas email kantor. Ini lebih dikarenakan karena saya khawatir saya lupa follow up salah satu tugas kantor.
Seperti kecanduan pada umumnya saya tidak terbebani dalam melakukan pekerjaan. Saya menikmati prosesnya. Saya menikmati waktu berkumpul dengan rekan kerja. Dan saya selalu berpikir bahwa bekerja adalah sekaligus proses pembelajaran bagi diri sendiri.
Akhir tahun kemarin dikarenakan ketidakcocokan dengan management saya memutuskan berhenti bekerja. Saya berpikir bahwa saya akan mendapatkan pekerjaan pengganti maximal dalam jangka waktu tiga bulan mendatang. Tapi ternyata Tuhan berkata lain. Sampai dengan saat ini saya masih belum mendapatkan pekerjaan kembali. Apalagi ditambah adanya wabah corona. Hilanglah sudah harapan saya.
Secara finansial memang masih belum masalah, saya masih bisa hidup dari sisa tabungan. Namun yang saya khawatirkan adalah kehilangan rutinitas yang biasanya menjadi bagian dalam hidup saya. Dulu saya terkadang tidak menyukai rutinitas yang monoton yaitu bangun, bekerja dan kembali ke rumah. Terus berulang selama lebih dari sepuluh tahun. Tapi disaat rutinitas tersebut hilang, ternyata saya merindukannya. Â
Terus terang melihat orang lain mempunyai rutinitas membuat saya stress. Ketika tetangga saya berangkat bekerja saya merasa kecil hati. Akhirnya sampai dengan sebelum pandemi, saya lebih banyak menutup diri dari lingkungan sekitar. Kebijakan Stay At Home membuat saya bernafas lega. Minimal orang tidak akan bertanya lebih banyak apabila saya tinggal di rumah terus.
Mengapa bulan Ramadan ini bagi saya masih terasa sulit? Hal ini mengingat beberapa teman dari kantor lama terkadang melakukan posting tentang rutinitas bekerja. Mengenai meeting dari rumah ataupun memasang status yang berkaitan dengan pekerjaan. Ingin rasanya saya ikut kembali bekerja.
Ada kebiasaan yang berbeda di kantor saya yang lama, kami selalu buka puasa di kantor selama sebulan penuh. Di bulan Ramadan kami mengumpulkan uang untuk membeli takjil. Dikarenakan jalanan yang macet, akhirnya setengah kantor memutuskan untuk berbuka puasa di kantor. Rasanya menyenangkan. Pada saat berbuka adalah saat yang paling santai. Kami bisa bersenda gurau dengan bebas. Kemudian setelah berbuka dilanjutkan dengan shalat magrib berjamaah di kantor. Duh, saya rindu suasana tersebut.