Prasetya (2014 dalam Nimmo, 2000, p.172), menjelaskan bahwa “Televisi di era reformasi saat ini tidak hanya berfungsi sebagai media penyampai pesan saja, tetapi juga berfungsi sebagai penarik minat massa untuk meraup dukungan dalam segala hal. Sebagai media komunikasi massa yang penuh dengan tayangan-tayangan audio visual, bukan tidak mungkin televisi menjadi pusat perhatian”.
Di era pergolakan media saat ini ada banyak hal yang sangat menarik untuk kita analisa. Fungsi media yang sejatinya memberikan informasi, mendidik, serta memberikan suatu dampak perubahan positif kepada masyarakat kini mulai merosot. Kesadaran yang tinggi dari pihak media tentang masalah kebutuhan masyarakat yang seharusnya dipenuhi oleh media pun dijadikan nomer yang kesekian.
Sudah jarang sekali sebuah stasiun televisi memperhatikan sesuatu yang sebenarnya menjadi kebutuhan masyarakat, seperti halnya tayangan berupa pendidikan, wajah Indonesia, dll. Kesekian banyak yang tersedia adalah hiburan yang kurang berbobot dan kurang mendidik, hanya bersifat menghibur agar bisa santai. Sehingga dengan hal demikian masyarakat merasa harus menerima dan menikmati tayangan yang ada, lalu bermanjalah mereka dengan keasyikan yang ditawarkan oleh televisi tersebut. Tak ayal jika masyarakat sudah menampik tayangan berabau formal lagi.
Selain karena kondisi yang demikian, dewasa ini stasiun televisi juga sudah cukup tidak netral lagi. Kita ketahui pemegang stasiun televisi kebanyakn dari mereka yang juga berada di naungan suatu partai politik, sehingga seringkali mereka menayangkan nilai tawar mereka berupa kampanye pada masyarakat, tidak hanya beberapa detik, bahkan sekian menit pun telah jadi. Aturn-aturan penayangan mulai tidak dihiraukan. Sehingga yang tampak adalah pergolakan suatu kampanye partai di berbagai stasiun televisi.
Kini pencitraan seseorang dalam suatu partai politik tertentu tentu menjadi salah satu program televisi yang diunggulkan. Tidak hanya masalah kampanye yang secara terang-terangan, akan tetapi berita-berita terkait, menyinggung suatu partai politik tertentu juga disantap dengan lahap. Dalam hal ini dapat kiranya kita nilai, bahwa media sudah kurang sehat dalam mendukung demokrasi Indonesia, dengan hal ini pula semakin tersendatlah pembangunan nasional Negara Indonesia ini yang khakikatnya menjunjung tinggi nilai persatuan, kemakmuran dan kejayaan.
Dari hal tersebut perlu kiranya kita sebagai masyarakat ilmiah memahami hakikat munculnya televisi dan berbagai macam media massa lainnya ke dunia ini. Suatu bentuk apresiasi yang baik dan positif apabila kita mampu ikut serta dalam membangun pemahaman positif pada pihak media agar mampu berjalan digaris yang memang ditentukan oleh visi misi dibangunnya media tersebut, serta akan menjadi lebih baik pula jika kita tidak memberikan respon positif dengan cara tidak menonton terhadap stasiun televisi yang memang kurang memberikan manfaat pada diri kita.
Terlepas dari program televisi yang sudah tidak mempertimbangkan kualitas dan makna, di tahun 2014 ini televisi sudah menjadi barometer sebuah kemenangan atau kegagalan suatu partai politik. Kampanye-kampanye yang di gembor-gemborkan melalui stasiun televisi, pastinya pemilik media yang terkait dengan politisi membuat kebanyakan stasiun televisi penuh dengan kampanye, hal tersebut membuat masyarakat engah bahkan bosan. Ada suatu pernyataan seorang teman, “Sepertinya Golput akan lebih baik, jika saya melihat berbagai pergolakan antar dua capres di televisi” opini tersebut muncul bukan tanpa alasan, dengan hal tersebut berarti masyarakat tahu dimana yang pantas ditonton dan mana yang tidak, sehingga atas pengaruh kejenuhan tersebut akan lahir sebuah keputusan yang menjenuhkan.
Seperti suatu fenomena yang pernah ditulis oleh Prasetya (2013), “Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akhirnya memberikan sanksi administratif kepada TVRI setelah lembaga penyiaran publik tersebut menyiarkan kovensi Partai Demokrat selama dua jam, 15 September 2013. Tidak hanya teguran, KPI juga meminta TVRI membuat surat pernyataan yang isinya memberikan kesempatan siaran yang sama kepada semua partai politik peserta pemilu. Teguran KPI ini tentu patut diapresiasi”.
Pernyataan tersebut merupakan sebuah pernyataan dari kejadian tahun kemarin, sekarang pada tahun 2014 sudah lebih banyak lagi stasiun televisi yang melonjak, teguran KPI seakan-akan tidaklah menjadi sebuah peringatan yang serius. Akan tetapi bedanya, sekarang stasiun televisi memberitakan atau menampilkan kampanye seluruh partai politik, sehingga hal tersebut dinilai masihlah wajar dan tidak melanggar.
Namun, terlepas dari itu, kita lihat kembali apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dengan adanya media televisi, bukanlah sekadar ingin mengetahui perkembangan politik Indonesia yang semakin membingungkan, akan tetapi masyarakat ingin tahu informasi yang penting dan menyangkut kebutuhan masyarakat. Seperti halnya perkembangan perekonomian, kebudayaan, serta hiburan yang mendidik. Satu hal yang perlu kita pahami, bahwa masyarakat tidak hanya butuh tahu pada kondisi politik yang sekarang dari setiap sudut memanas, masyarakat butuh yang sewajarnya dan tidak menimbulkan kebingungan, apalagi bagi mereka yang masih awam.
Selain tentang tidak sehatnya persaingan partai politik dalam hal kampanye melalui televisi tertentu, menurut Sudibyo (2014), “Satu persoalan yang belum banyak disinggung dalam kontroversi tentang pemilik media yang menggunakan media yang dimilikinya sebagai instrumen kampanye politik. Persoalannya bukan sekadar ruang publik yang semestinya steril dari praktik instrumentalisasi untuk mendukung kepentingan politik tertentu, melainkan ada potensi hilangnya pemasukan negara. Ada potensi perlakuan yang tidak adil terhadap pemasang iklan yang satu dibandingkan dengan yang lain. Ada upaya memperlakukan media semata-mata properti pribadi dengan menafikan UU Pers dan UU Penyiaran yang tegas menyatakan media pertama-tama harus diperlakukan sebagai institusi publik”.
Keuntungan atau kerugian, keadilan atau ketidak adilan dilihat dalam hal yang demikian disebut diatas, suatu pajak yang kemungkinan memang tidak akan dikeluarkan oleh pemilik media yang ikut serta mengkampanyekan dirinya karena terlibat dalam partai politik. Sebut saja AnTv, MetroTv, TVone, RCTI, GlobalTv, dll. Pemilikbeberapa media tersebut beberapa bulan kemarin, sebelum ditentukannya Capres-Cawapres secara kontinyu berkampanye. Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan politisi yang tidak memiliki media dan ingin berkampanye? Apakah juga harus membayar pajak penayangan, jelas iya.
Terlepas dari kenyamanan dan kemenangan politisi yang memiliki media dalam hal kampanye, ternyata kita bisa saksikan bersama sekarang bahwa yang duduk menjadi calon presiden nyatanya mereka yang kemarin tidak sering dikampanyekan melalui televise, sebut saja Jokowi dan Prabowo. Akan tetapi setelah mereka mengadakan koalisi partai poliik, maka yang kini menjadi trending topic kampanye di seluruh stasiun televisi terkait adalah Jokowi dan Prabowo, hal tersebut pun dikarenakan partai yang menjadi koalisi mereka adalah mereka yang memiliki media.
Sehingga dengan fenomena itu seluruh stasiun televisi berlomba-lomba mengunggulkan program kampanye, baik itu dari segi jadwal, atau semacam pencitraan yang lainnya. Sehingga pertanyaan diatas tadi masih belumlah menemukan jawaban yang tepat, apakah mereka akan tetap membayar pajak yang akan menguatkan keuangan nasional atau Negara juga. Sehingga perlu rasanya kita pahami bersama bahwa pemilik media terkadang tidak begitu mempertimbangkan apa yang akan menjadi dampak terhadap elektablitas stasiun televisinya setelah fenomena ini. Apakah akan ada kecaman negativ dari masyarakat, seperti halnya penyebutan istilah TV merah dan TV biru. Sehingga dengan hal tersebut pula masyarakat suatu saat tidak akan peduli lagi pada apa yang diinformasikan oleh stasiun televisi tersebut. Dengan alasan sudah ternodainya dengan kepentingan suatu tokoh atau partai politik tertentu. Maka sikap apatisme terhadap informasi juga berupa berita akan dengan perlahan-lahan ditinggalkan oleh masyarakat.
Televisi Mediator Politisi Menyapa Masyarakat
Menurut Nimmo (2000) “Televisi merupakan salah satu media terkuat dalam membentuk opini publik. Ringkasnya, televisi tetap digunakan secara luas sebagai saluran komunikasi kampanye”.
Pernyataan tersebut terlihat pada kondisi seluruh media yang ada di Indonesia pada tahun 2014, semua sosok pemilik media bermunculan menjadi politisi lalu menggunakan media miliknya untuk berkampanye, menabur janji manis, menyapa sangat manis, lalu mendekati masyarakat hingga ke belahan bumi yang sangat terpencil dan tidak pernah tersentuh oleh bantuan pemerintah sebelumnya, hal tesebut guna meraup suara terbanyak dari rakyat setempat. Hal tersebut juga sangat diyakini bahwa televisi memang merupakan salah satu media yang paling efektiv dalam menyita perhatian masyarakat. Sebab televisi mampu menghadirkan audio dan visual, denga hal tersebut akan memudahkan masyarakat untuk memahami pesan yang disampaikan dan siapa tokoh yang diinformasikan atau dikampanyekan, karena sebagian masyarakat masih banyak yang memilih karena mereka tahu wajah, dan itu bisa dilakukan oleh televisi.
Tidak hanya demikian, dengan televisi pun masyarakat lebih merasa dekat. Maka banyak pemilik media merasa keuntungan terbesar itu ada di televisi, terlepas dari mereka juga membayar pajak pada media terkait, pada Negara atau kah tidak. Televisi juga merupakan pusat informasi yang dipercaya oleh masyarakat, maka dengan kata lain apapun yang disajikan oleh televisi masyarakat sebagian banyak akan menerima dan akan mempercayainya. Dalam hal ini tidak banyak masyarakat yang sadar akan agenda setting atau semacam peluru hipodermik. Sehingga mereka pun tidak apaham akan peran dan fungsi getkeeper dalam diri mereka ketika menikmati sebuah sajian televisi.
Kali ini, di tahun politik yang memanas ini media massa memang sangat berpengaruh baik di ranah kehidupan sosial, budaya, ekonomi, tentunya dalam hal politik. Kita pahami dari aspek terpenting dalam kehidupan kita, yaitu aspek sosial dan budaya, media menjadi tempat yang memiliki banyak nilai tawar serta menciptakan keuntungan bagi masyarakat, baik itu akan berpengaruh positif atau negativ terhadap perubahan suatu tatanan sosial masyarakat. Ironisnya dengan media pula masyarakat kni banyak melupakan budaya lokal yang ada, mereka seperti disulap atau dihipnotis oleh sajian media, contoh riilnya adalah apapun yang ditayangkan oleh media, masyarakat ingin meniru, baik gaya hidup atau bahkan merubah kondisi lingkungan yang ada.
Sedangkan dalam hal politik, media televisi menjadi alat tercanggih dalam menghubungkan para politisi terhadap rakyat. Suara-suara merdu calon presiden mengumandangkan barisan janji-janji pada masyarakat terdengar jelas dengan penguatan melalui visual yang ditayangkan oleh televisi. Sehingga sangat sedikit dan akan terasa sangat aneh jika kini masih ada masyarakat yang tidak tahu wajah Jokowi atau Prabowo sebagai calon presiden bangsa Indonesia yang akan dipilih pada 09 Juli 2014 nanti, sebab setiap waktu wajah-wajah mereka sudah menjadi hiasan televisi.
Oleh karena itu maka sudah terbukti bahwa adanya televisi sangatlah berperan penting dalam pengembangan suatu partai politik, maka tak ayal jika kini banyak politisi bergandengan tangan dengan pemilik media, atau sebaliknya banyak pemilik media yang berada di jajaran politisi. Karena memang televisi membawa keuntungan sangat besar. Tak heran lagi jika pemilik media saat ini adalah mereka yang juga duduk sebagai politisi suatu partai tertentu. Di sinilah pertarungan opini politik dimulai dan disini pulalah opini masyarakat terbentuk.
Meski kita sudah sama-sama memahami bahwa khakikatnya pemberitaan yang ada di media massa haruslah sesuai dengan kode etik jurnalistik yang sudah disepakati bersama, yaitu adil, berimbang, jujur, serta menempatkan netralitas seorang jurnalis dalam kondisi apapun, artinya tidak melakukan sesuatu karena adanya tendensi dari pihak lain. Akan tetapi ketika kita menganalisa lebih detail lagi, seorang jurnalis akan sia-sia melakukan semua pekerjaannya secara professional jika ternyata media yang menaunginya tidak bisa bersikap netral atau media yang menaunginya ternyata ada sangkut pautnya dengan suatu hal yang menjadi berita dari si jurnalis media tersebut, maka secara otomatis gugurlah berita, dan masyarakat pun tidak tahu apa-apa terhadap suatu kejadian yang seharusnya mereka tahu kebenarannya.
Maka jelas hal tersebut sudah menjadi masalah yang cukup serius yang dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat, sebab dengan terjadinya suatu penyimpangan terhadap fungsi media sebagai sarana komunikasi massa yang mengutamakan kepentingan public nyatanya sudah tidak bisa diterapkan dan diharapkan lagi. Media mulai merahasiakan sesuatu yang sejatinya masyarakat perlu tahu itu.
Kondisi pemanfaatan media sebagai motor penggerak suatu partai dalam sebuah pertarungan kampanye, sosialisasi partai politik kini tidak hanya terjadi di ranah nasional, namun politisi lokal pun memanfaatkan hal tersebut. Sehingga sudah tidak ada bedanya penyelewengan fungsi yang sama-sama dilakukan oleh televisi nasional dan lokal terhadap perannya dalam memberikan suatu informasi guna memberikan perubahan yang baik terhadap msyarakat Indonesia.
Fenomena menyedihkan ini sudah membuat kondisi masyarakat Indonesia semakin tidak terkendali. Media dengan segala yang dibuat oleh pemilik medianya tanpa disadari sudah mencederai makna demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Visi misi dalam memakmurkan rakyat, memberikan sajian guna menciptakan perubahan positif terhadap masyarakat serta memberikan contoh kehidupan demokrasi yang aman dan nyaman ternyata hanya sekadar fungsi secara definitif saja. Fungsi media sudah sedikit banyak terhapuskan, tidak lagi seperti fungsi awal munculnya media, hal tersebut dikarenakan campur tangan pemilik media yang sudah tidak netral lagi.
Pemikiran hemat, kita sebagai konsumen media massa terutama televisi, seharusnya mulai sadar untuk tidak terus menerus pasrah menikmati kondisi yang miris ini, menggunakan pikiran yang rasional dan logis dalam berupaya menanggapi setiap sesuatu yang ditayangkan oleh televisi, sehingga kita tidak hanya menjadi budak media, namun kita bisa aktif memberikan timbal-balik serupa komentar terhadap suatu tayangan tertentu dari salah satu stasiun televisi jika kita anggap hal tersebut tidak pantas ditayangkan atau dengan alasan lainnya.
Studi kasus yang terjadi di era ini, tahun 2014 tentang peraturan terhadap politisi disuatu partai politik terkait dengan kampanye yang ditayangkan di media massa, Pro-Kontra Moratorium Iklan Kampanye dan Politik di Media Massa yang ditulis oleh Kusumadewi (2014), dalam VivaNews, pada hari Rabu, 26 Februari 2014.
“Para calon anggota legislatif (caleg) dan partai politik pendukung mereka harus siap menghadapi aturan baru. Tidak boleh ada iklan kampanye dan iklan politik di media massa sebelum masa kampanye terbuka dimulai pada tanggal 16 Maret sampai 5 April 2014. Kebijakan moratorium atau penangguhan iklan politik ini ditetapkan dalam rapat antara Komisi I DPR dengan gugus tugas pengawasan dan pemantauan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilihan legislatif yang terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Komisi Informasi Pusat (KIP), Selasa 25 Februari 2014. Bukan rahasia lagi jika sejumlah partai politik dan calon presidennya gencar berkampanye lewat media, terutama televisi, meski masa kampanye belum dimulai”.
Fenomena tersebut sudah jelas menggambarkan betapa longgarnya peraturan yang dibuat oleh KPI atau yang terkait sehingga masih banyak politisi yang meloncat pagar peraturan dalam hal berkampanye diluar waktu yang telah ditentukan sebelumnya oleh KPI dan yang terkait. Sehingga percuma jikalau peraturan tidak dijunjung tinggi dan ditetapkan hukum yang berat bagi yang melanggar, maka mereka akan tetap membudayakan aksi tidak menaati peraturan itu.
Bukan Sekadar Alat Menyapa, Televisi Juga Alat Ajang Persaingan
Komunikasi politik tidak hanya di ranah balai desa, kacamatan, kabupaten bahkan pemerintahan kota, namun komunikasi politik juga naik status ke media yang lebih elit dan ideal, sebut saja media massa televisi, para politisi sudah berpidato panjang lebar di layar kaca kesayangan masyarakat, Televisi. Semua aktivitas politisi diliput, baik saat turun jalan membantu petani, pedagang, nelayan, dll. Kita biasa menyebutnya dengan nama Pencitraan.
Seperti yang telah dinyatakn oleh Rachmawati (2013), dalam tulisannya berjudul Peranan Media Massa dalam politik Dunia, bahwasanya “Keefektifan media massa dalam menyampaikan pesan politik telah menjadikannya sebagai ajang baru pertempuran politik. Dengan dicanangkannya deklarasi bahwa abad ini adalah Abad Informasi membuat siapa pun yang memiliki akses kepada media massa memiliki kemampuan untuk membentuk opini publik sesuai dengan yang diharapkannya”.
Begitulah kondisi saat ini, semua orang sudah merasa bebas berpendapat dan membela dirinya sehingga terkadang terlupa dimana batasan kebebasannya, tidak hanya masayarakat biasa yang merasa memiliki kebebasan dalam hal berpendapat atau bertindak sesuatu dalam ranah politik, namun semua orang yang duduk di kursi partai politik pun juga melakukan aksi manis yaitu mengakrabkan diri dengan pemilik media, mendekatkan tangan untuk bergandengan membuat janji manis dengan pihak media. Hal tersebut dilkukan tidak tanpa niat, namun dibalik itu ada segunung niat yang akan disampaikan, termasuk salah satunya adalah agar media meliput setiap apa yang mereka lakukan, pastinya dalam hal positif.
Dengan demikian maka media tersebut akan menayangkan mereka dengan rentetan aktivitas positif mereka di salah satu stasiun televisi, maka kenallah masyarakat, tahulah masyarakat siapa yang mencalonkan diri sebagai presiden yang harus mereka pilih nanti saat tiba pemilihan presiden. Jadilah kampanye, terciptalah opini publik, dan dikenallah calon presiden dari partai politik tersebut. Maka tinggal menunggu respon dari masyarakat. Memilih atau tidak.
Sebab dengan banyaknya iklan, kampanye dll, terkadang membuat masyarakat bosan dan apatis. Kampanye calon presiden pada tahun 2014 ini dinilai cukup panas dan sangat membosankan. Tempuran kampanye dari media massa cetak, online, televisi, lain lagi di stasiun televisi A, B, C, dan D, sungguh membuat masyarakat jenuh bahkan sampai tercipta perlakuan negatif serta anarkis dari masyarakat yang fanatik terhadap salah satu calon presiden, sehingga tak jarang pertempuran opini berlanjut ke media online seperti facebook, twitter, juga seringkali kita mendapati SMS aneh dan tidak tahu siapa pengirimnya, terjadilah pertempuran sms atau bahkan hingga level diatasnya yaitu saling marah-marah ditelepon. Itulah dampak yang sebenarnya tidak kita inginkan, timbullah perpecahan, muncullah permusuhan sehingga jauhlah tujuan demokrasi yang aman, nyaman, tentram, dan mewujudkan perubahan Indonesia baru dengan perubahan yang lebih baik.
Dampak Sistem Politik Pada masyarakat
Menurut Pitaloka (2004) “Televisi telah merubah wajah seluruh sistem politik secara luas dengan pesat. Media ini tidak hanya mempengaruhi politik dengan fokus tayangan, kristalisasi atau menggoyang opini publik, namun secara luas berdampak pada para politisi yang memiliki otoritas dalam memutuskan kebijakan publik”.
Begitu dahsyatnya dampak yang akan terjadi pada masyarakat bahkan menimpa politisinya pula. Dampak yang akan dialami masyarakat kebanyakan mungkin sedikit banyak berubahnya tatanan kehidupan sosial masyarakat ligkungannya. Mengapa demikian, sebab dalam satu daerah ada berbagai macam opini, dan berbagai macam pilihan, maka jika salah satu dari mereka tidak sependapat dengan yang lain, terjadilah perbuatan yang seharusnya tidak terjadi.
Ada sebuah kasus nyata, di suatu desa saat tiba pemilihan kepala desa ada beberapa tetangga yang bercerita bahwa mereka pernah bungkam sekian bulan dari tetangga mereka karena adanya perbedaan tokoh atau calon kepala desa yang mereka dukung. Dampaknya, mereka tidak tegur sapa, mereka saling menodong satu dengan yang lain, bahkan lebih parah ada salah satu warga yang fanatic pada salah satu calon kepala desa melemparkan petasan yang cukup dahsyat dampaknya ke halaman rumah kepala desa lawannya. Sungguh sangat tragis. Itu di ranah desa, aplagi di ranah nasional, maka seharusnya kita lebih berhati-hati dan mampu memaknai semua kondisi dengan bijaksana. Maka jika hal yang demikian ini tetap tidak ditindak lanjuti, maka perpecahan karena sebuah kondisi (pemilihan presiden) yang seharusnya demokrasi akan membuat perpecahan dan kehancuran bangsa Indonesia itu sendiri.
Khakikatnya Masyarakat Memiliki Kontrol Diri
Kita sadari bersama, bahwa ada banyak macam masyarakat di Negara kita ini. Status sosial menengah keatas, menengah kebawah, atau juga status mereka sebagai Petani, Pedagang, Pelajar, Nelayan, Wirausahawan, dll. Tidak lupa pula bahwa Indonesia ini juga terdiri dari berbagai macam budaya, dari beberapa ribu pulau, serta perbedaan lainnya, sehingga kita pun juga harus memahami dan menyadari bahwa dari seluruh masyarakat Indonesia tersebut tidak seluruhnya mereka dapat memahami bagaimana perjalanan perpolitikan Indonesia ini. Sehingga kita sebagai masyarakat ilmiah yang dipercaya memiliki pemikiran logis dan rasional oleh masyarakat pada umumnya, tidak perlu memaksakan seluruh masyarakat untuk serentak menyepakati apa yang menjadi pilihan atau keputusan kita. Misalkan tentang penyadaran mereka terhadap agenda setting suatu media pada suatu berita tertentu. Karena yang demikian tersebut merupakan luapan teoritis di bangku kuliah yang mungkin tidak semua orang pahami.
Maka yang perlu kita lakukan adalah memulai penyadaran pada diri kita sendiri, mampu memilah dan memilih yang pantas, baik, benar untuk dikonsumsi dari media massa dan dimana yang tidak. Sehingga dengan demikian secara tidak langsung kita mengajarkan kepada sebagian banyak masyarakat, setidaknya orang-orang yang ada di sekitar kita semisal keluarga untuk ikut memahami apa yang seharusnya mereka pahami. Contoh kecilnya adalah tidak menonton tayangan yang akan menimbulkan efek yang negatif terhadap hubungan sosial masyarakat sekitar kita. Di sanalah kita perlahan-lahan memberikan mereka pengertian dengan cara yang sederhana. Sehingga mereka bisa menerima dengan baik dan dengan pikiran yang jernih tanpa adanya salah persepsi yang akan menimbulkan pertengkaran.
Kondisi inilah yang akan membuat masyarakat kita akan lebih makmur. Karena sebenarnya salah paham atau pertengkaran itu terjadi karena adanya suatu ketidak mengertian. Percayalah bahwa setiap diri seseorang sebenarnya sudah tertanam penjagaan atau pengontrolan diri mereka masing-masing, hanya saja kita semua perlu memahami kembali di mana hal yang kita pahami dan di mana yang belum kita pahami. Sehingga media tidak akan menjadikan kita budak mereka yang setiap saat selalu mengangguk dan mengiyakan segala informasi atau berita yang ditayangkan. Bermula dengan cara berpikir sederhana kita akan lebih mudah mengalisa suatu permasalahan yang disuguhkan televisi dengan logis dan rasional. Sehingga kita bisa menjadi masyarakat yang ilmiah, serta menjadi pemilih yang cerdas dan berkualitas.
Referensi
Husnun. 2013. MK. Media dan Masyarakat. [Online] Available at:
<Penulisan%20Artikel/Mk.%20Media%20dan%20Masyarakat%20_%20Caknun%20Arema.htm> (Accessed 13 June 2014)
Kusumadewi, A., Sukmawati, N.E., Yulika, C.N., 2014. Pro-Kontra Moratorium Iklan Kampanye dan Politik di Media Massa. [Online] Available at:
(Accessed 13 June 2014)
Nimmo, D., 2011. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pitaloka, A., 2004. Efek Media Massa dalam Politik. [Online] Available at:<Penulisan%20Artikel/efek-media-massa-dalam-politik.htm>
(Accessed 12 June 2014)
Prasetya, A.B., 2014. Kepemilikan Media Massa Sebagai Kendaraan Politik Menuju Pemilu 2014. [Online] Available at:
(Accessed 12 June 2014)
Prasetya, W., 2013. Televisi dan Kampanye Politik. [Online] Available at: (Accessed 13 June 2014)
Rachmawati, 2013. Peranan Media Massa dalam politik Dunia. [Online] Available at:
<Penulisan%20Artikel/peranan-media-massa-dalam-politik-dunia.html> (Accessed 12 June 2014)
Sudibyo, A., 2014. Elektabilitas Pemilik Media. [Onine] Available at: <Penulisan%20Artikel/elektabilitas-pemilik-media.html>
(Accessed 12 June 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H