[caption id="attachment_105246" align="aligncenter" width="300" caption="Pulau Ditingki yang Mempesona (Foto: Seto)"][/caption]
Ketika beberapa hari yang lalu membaca artikel tentang burung Maleo di Kompas cetak, saya langsung teringat pada sebuah pulau di Sulawesi yang merupakan habitat burung maleo. Nama pulau itu adalah Pulau Ditingki. Anda tidak perlu repot-repot membuka di google map untuk mencari dimana lokasi pulau ini. Karena luas daratannya yang relatif sempit pulau ini hanya terekam pada citra satelit resolusi tinggi atau peta-peta dengan skala besar. Tak heran jika banyak orang yang tidak mengetahui keberadaan pulau kecil ini.
[caption id="attachment_105265" align="aligncenter" width="300" caption="Hamparan pasir putih di Pulau Ditingki (Foto: Seto)"][/caption]
Pulau Ditingki terletak di pantai selatan Gorontalo, sekitar 30 menit berperahu dari Desa Torosiaje laut di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato. Pulau yang tidak dihuni manusia ini memiliki gugusan pantai berpasir putih yang sangat indah. Sekeliling pulau merupakan rataan terumbu karang dengan perairan jernih yang melingkupinya. Aneka biota laut seperti ikan karang yang beraneka warna dapat dijumpai dengan mudahnya diperairan pulau ini. Bahkan saya sempat tercengang ketika melihat seorang anak keturunan suku bajo mampu menangkap seekor ikan dengan tangan kosong. Wow....
[caption id="attachment_105264" align="aligncenter" width="300" caption="Menangkap ikan di Pulau Ditingki dengan tangan kosong (Foto: Seto)"][/caption] Pulau Ditingki menjadi rumah yang damai bagi burung Maleo. Maleo (Macrocephalon Maleo) termasuk hewan endemik Indonesia, khususnya Sulawesi karena burung ini hanya dijumpai di Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Burung ini memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, dan paruh jingga. Maleo adalah jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi. Dalam beraktivitas, burung ini lebih banyak mengandalkan kakinya yang kokoh. Maleo merupakan burung yang anti poligami karena sepanjang hidupnya burung maleo hanya punya satu pasangan dan tidak akan bertelur lagi setelah pasangannya mati. [caption id="attachment_105496" align="alignnone" width="124" caption="burung maleo (sumber:dephut.go.id)"][/caption] Burung maleo ini memanfaatkan pasir yang tersebar di Pulau Ditingki untuk menetaskan telurnya dengan cara mengubur telur tersebut di dalam pasir hingga kedalaman 10-100 cm. Telur itu "dierami" dan menetas dengan bantuan panas bumi. Burung yang memiliki warna hitam dan putih ini tidak bisa mengerami sendiri telurnya. [caption id="attachment_105270" align="alignright" width="300" caption="Telur maleo yang dipendam dalam pasir pantai yang hangat (Foto: Seto)"][/caption] Ada anekdot yang beredar di kalangan orang Gorontalo. Mereka menyebut burung maleo ini sebagai burung "pingsan" karena setiap setelah selesai bertelur burung ini langsung pingsan. Menurut cerita hal ini dikarenakan terlalu besarnya telur yang harus dikeluarkan sang maleo. Besar telur yang dikeluarkan burung maleo rata-rata 5 kali lebih besar dibandingkan dengan telur ayam atau berukuran nyaris 16 persen dari besar tubuhnya. Sedangkan telur ayam hanya berukuran 3 persen dari besar tubuhnya. Mengingat populasi maleo yang terus menurun, pemerintah menetapkan burung maleo sebagai salah satu satwa yang dilindungi. Sarang merupakan suatu komponen yang sangat penting untuk kelestarian maleo. Melindungi burung maleo juga berarti melindungi habitat atau sarang tempat spesies ini hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Salam lestari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H