Mohon tunggu...
rara wilis
rara wilis Mohon Tunggu... -

Pecinta kehidupan yang tengah belajar tentang hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Panua, Hutan yang Terancam

16 Februari 2010   06:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:54 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_75430" align="alignnone" width="300" caption="Cagar Alam Panua di Kabupaten Pohuwato (Foto: Dok. Pribadi)"][/caption]

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kawasan hutan di negeri ini tidak ada yang luput dari kegiatan perambahan. Perambahan tersebut terjadi mulai dari skala kecil seperti pembukaan ladang oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, maupun dalam skala besar seperti yang dilakukan oleh cukong-cukong kayu. Fenomena perambahan hutan nampak dengan nyata ketika saya mengunjungi kawasan Cagar Alam Panua, sebuah kawasan konservasi untuk melindungi habitat Maleo yang merupakan satwa endemik Sulawesi.

Dari tepi jalur trans Sulawesi, tepatnya di Desa Libuo, Kecamatan Paguat, Kabupaten Pohuwato, kawasan cagar alam Panua tampak rimbun oleh pepohonan. Bersama beberapa orang rekan dan petugas dari sebuah instansi kehutanan, saya memasuki kawasan cagar alam ini melalui sebuah jalan setapak sempit. Sebenarnya jalan ini secara resmi tidak bisa disebut sebagai jalan, karena hanya merupakan jalur yang agak lapang di sela-sela pepohonan. Saya agak heran ketika menemukan jejak roda motor pada tanah yang basah. Siapakah yang mengendarai motor di hutan? Akan kemanakah mereka gerangan? Ketika saya menanyakan hal tersebut kepada petugas yang mendampingin kami, beliau menjawab mereka adalah pemilik ladang yang terletak di kawasan cagar alam ini. Saya jadi semakin terheran-heran.

[caption id="attachment_75432" align="alignnone" width="300" caption="Ada motor masuk di dalam kawasan CA Panua (Foto: Dok. Pribadi)"][/caption]

Setelah berjalan beberapa puluh meter, hutan yang kami masuki bukan menjadi semakin gelap karena tajuk yang semakin rapat sehingga sinar matahari susah menembus, tapi justru semakin terang. Di sana-sini tampak ranting-ranting patah karena tebasan senjata tajam. Akhirnya sampailah kami di sebuah tempat yang sangat terang. Tempat tersebut menjadi sangat terang karena tidak ada lagi tajuk-tajuk pohon yang menaungi. Tempat tersebut ternyata sebuah ladang jagung yang sangat luas. Sisa pembakaran lahan masih tampak di sana sini, begitu juga bonggol-bonggol pohon yang masih tersisa di di berapa tempat. Melihat ladang jagung tersebut, saya lupa jika saat itu saya berada di kawasan konservasi yang ditetapkan untuk melindungi habitat Burung Maleo yang kian langka. Saya merasa seperti di tengah-tengah ladang jagung yang biasa dijumpai di luar hutan. Di sekeliling saya hanya ada jagung, jagung, dan jagung. Informasi yang kami peroleh, ladang jagung yang ada di kawasan hutan ini mencapai luasan sekitar 4000 Ha. Wow...!!!

[caption id="attachment_75438" align="alignnone" width="300" caption="Sebagian kawasan yang baru saja dibersihkan (Foto: Dok. Pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_75435" align="alignnone" width="300" caption="Ladang jagung di dalam kawasan CA Panua (Foto: Dok. Pribadi)"][/caption]

Masih dengan kepala dipenuhi pertanyaan, kami meninggalkan lokasi ladang jagung, melanjutkan perjalanan dengan harapan bertemu dengan Burung Maleo pada habitat aslinya. Namun hingga akhir waktu yang kami miliki, hingga lelah menyusuri bagian pantai berpasir putih tempat Maleo biasa menyimpan telurnya, kami tidak bertemu dengan seekor pun burung Maleo. Menurut penduduk yang bermukim di sekitar kawasan cagar alam ini, burung Maleo memang semakin jarang terlihat. Mungkin karena habitatnya yang telah terusik oleh manusia.

[caption id="attachment_75440" align="alignnone" width="300" caption="Pantai berpasir yang berbatasan dengan hutan, rumah bagi Maleo (Foto: Dok. Pribadi)"][/caption]

Ketika kembali ke penginapan, saya masih terngiang-ngiang dengan ladang jagung yang saya temui di CA Panua. Jika dilihat mereka memiliki kendaraan bermotor untuk ke ladang, tentunya mereka bukan petani miskin yang hidupnya tergantung pada usaha ladang mereka di hutan. Atau justru mereka bisa membeli motor karena membuka ladang di hutan?

Hutan sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui atau dapat pulih (renewable resources) memiliki peluang untuk dapat dimanfaatkan secara rasional dan optimal untuk kepentingan rakyat. Meski demikian ada beberapa aturan main yang wajib ditaati dalam memanfaatkan sumber daya hutan. Tidak sembarang lokasi hutan dapat dibuka untuk lahan pertanian. Menjadi sebuah tantangan bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani miskin yang tinggal di sekitar kawasan hutan di satu sisi dan menjaga hutan agar tetap lestari di sisi lain.

Salam lestari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun