Pertanyaan ini muncul ketika saya membaca kisah seorang siswa SMU Negeri di Yogyakarta yang tidak diluluskan oleh sekolahnya meski nilai rata-rata ujian nasionalnya cukup bagus. Apa yang menyebabkan dia tidak lulus? ternyata nilai budi pengertinya C. Siswa tersebut mengadu ke LBH karena merasa telah dirugikan oleh pihak sekolah. Pihak sekolah berdalih siswa tersebut telah berkali-kali melakukan pelanggaran berat sehingga nilai budi pekertinya rendah. Sekolah tersebut menggunakan nilai pelajaran budi pekerti untuk mempertimbangkan kelulusan siswanya.
Budi pengerti memang bukan termasuk mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Namun budi pekerti menjadi tolok ukur penting ketika kita mempertanyakan apa sesungguhnya sasaran pendidikan nasional? membentuk manusia pintar?manusia berbudi? atau bahkan keduanya?
Pelaksanaan ujian nasional dengan menetapkan batas nilai tertentu sebagai standar kelulusan membuat sekolah-sekolah semakin memacu siswanya untuk belajar, bekerja keras, agar memenuhi standar nilai yang disyaratkan untuk lulus ujian nasional. Lulus Ujian Nasional menjadi tujuan terakhir pendidikan di sekolah. Bahkan beberapa guru mengeluhkan terjadinya diskriminasi di kalangan siswa maupun sekolah yaitu mata pelajaran yang di-UN-kan mendapat perhatian lebih dibandinding mata pelajaran lain yang tidak di-UN-kan. Dari sini terlihat bahwa pendidikan saat ini hanya mengejar "nilai". Yang terpenting adalah nilai bagus dan lulus UN! Bukan rahasia ketika ada cerita tentang kunci jawaban yang bocor bahkan hingga guru yang diduga membatu murid dalam ujian.
Kembali pada pertanyaan di atas, apakah yang ingin kita hasilkan dari sistem pendidikan ini? hanya sekedar manusia cerdas? atau kah manusia cerdas dan berbudi? Tentunya yang terakhir yang kita inginkan. Apalah gunanya kita menghasilkan generasi cerdas tapi bermental korup, anti sosial. Atau seperti kasus diawal tulisan ini, nilai akademisnya tinggi tapi yang bersangkutan kerap membolos tanpa keterangan, terlibat perkelahian,pelaku bullying, memalak. Mungkin ada yang berdalih, tidak apa-apa membolos, toh tidak merugikan orang lain. Jika seperti itu, untuk apa sekolah? bukankah ketika kita sudah memasuki suatu institusi kita terikat pada aturan berlaku, dan dalam hal ini adalah berlajar untuk disiplin dan tanggung jawab.
Saya yakin bangsa kita tidak kurang menghasilkan manusia-manusia cerdas. Tapi tengok pula, betapa tingginya angka korupsi. Setiap hari berita yang kita dengan adalah
"si A terjerat kasus pengadaan proyek fiktif",
"si B tertangkap basah menerima suap",
"si C mempunyai rekening mencurigakan", dll.
Inikah hasil yang kita inginkan? Tidak apa-apa mencontek, yang penting nilai bagus dan lulus ujian. Tidak apa-apa membolos yang penting pintar.
Beberapa hari yang lalu saya mendapat cerita dari seorang teman yang kebetulan juga seorang guru bahwa guru-guru di sekolah tempatnya mengajar sedang berduka dan berkabung karena muridnya tidak lulus UN. Apakah mereka juga berduka ketika muridnya terlibat tawuran bahkan ditahan aparat kepolisian karena tawuran tersebut memakan korban jiwa?
Orang tua sedih ketika anaknya tidak lulus ujian nasional. Apakah mereka juga sedih ketika tahu anaknya memalak, menjadi pelaku bullying?
Semoga saja jawabannya iya….
Pendidikan memang bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah. Orang tua, keluarga, memegang peranan sangat penting dalam pendidikan seseorang. Kesibukan orang tua bekerja mencari uang membuat mereka menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada pihak sekolah. " Saya sudah membayar mahal untuk biaya sekolah, jadi guru-gurunya yang harus mendidik dengan baik". Mungkin mereka lupa bawa orang tua lah yang diberi amanah oleh Tuhan untuk menjaga titipanNya...
Salam hormat untuk para guru
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H