Berdasarkan hasil wawancara, di antara orang tua dengan anak yang memiliki masalah status gizi, ada yang mengatakan tidak mampu konsisten untuk menyajikan menu isi piring yang sehat karena anak menunjukkan tantrum saat dilarang untuk mengonsumsi makanan atau minuman tinggi gula.
Selain itu, minimnya dukungan keluarga membuat orang tua (khusunya ibu) kurang memiliki ketahanan untuk menyajikan makanan sehat kepada anak. Hal ini berlaku bagi ibu bekerja ataupun ibu rumah tangga. Ketidakmampuan orang tua untuk merespons sikap negatif anak ketika disajikan menu isi piring yang sehat, membuat anak cenderung terbiasa menyukai makanan atau minuman yang mengandung unsur pengawet.
Melihat fenomena di atas, sebagai orang tua kita bisa melakukan refleksi bersama bahwa kesejahteraan psikologis orang tua (terutama figur ibu) perlu diperhatikan.Â
Upaya preventif untuk orang tua harus segera ditegakkan agar masalah gizi yang dihadapi anak tidak berlanjut ke persoalan kesehatan anak yang lebih serius. Kita menyadari bahwa ibu menjadi roda utama yang menggerakkan kebutuhan pangan yang sehat bagi anak. Upaya yang dapat orang tua lakukan untuk mengelola stres secara lebih efektif saat memberi makan balita antara lain:
1) Kemampuan untuk Sadar dan Mengenal Emosi Diri Sendiri
Seseorang yang mampu mengidentifikasi suasana perasaan (mood) biasanya memiliki regulasi emosi yang lebih baik (Morie, dkk., 2022). Penekanan yang disampaikan ahli ini menguatkan bahwa orang tua juga perlu memiliki keterampilan untuk mengenal perasaan yang dialaminya setiap hari dan memenuhi kebutuhan emosinya tersebut.Â
Contoh: jika ibu merasa lelah karena beban pekerjaan rumah dan pengasuhan, maka ibu bisa bertanya di dalam hati, "Apa yang sebenarnya saya butuhkan saat ini?" Penuhi apa yang menjadi kata hati ibu untuk memperoleh bantuan orang terdekat, butuh kehadiran lebih dari pasangan, perlu istirahat sejenak, atau lainnya. Tangki perasaan ibu yang terisi lebih banyak tentu akan membuat ibu merasa lebih mudah memenuhi kebutuhan psikologis anak dalam memperoleh interaksi dan suasana nyaman saat jadwal makan tiba.
2) Membingkai Ulang Pola Pikir tentang Diri Sendiri dan AnakÂ
Beberapa kasus yang terjadi adalah orang tua berpikir hitam putih tentang pola pemberian makan anak. Misalnya, "Anak saya pasti akan tantrum jika tidak diberikan jajanan sebelum makan. Jadi saya lebih baik menurutinya daripada dia tidak berhenti menangis." Kita bisa mengganti alternatif pemikiran di atas dengan pola pikir yang lebih bijak bahwa pada situasi tertentu, orang tua lah yang semestinya mengendalikan situasi anak, bukan dikendalikan anak.Â
Lalu, bagaimana gambaran kongkritnya? Kita perlu memberi afirmasi terhadap diri sendiri bahwa saat anak benar-benar merasa lapar, dia akan mengonsumsi makanan yang ada di depannya dan kita pertegas diri sendiri untuk tidak menyediakan makanan yang mengandung tinggi gula.Â
Dalam kondisi tersebut, kita hanya menyiapkan menu isi piring yang sehat. Melalui penciptaan suasana interaksi dan bermain yang menyenangkan, kemungkinan anak akhirnya mengonsumsi makanan yang diberikan orang tua akan lebih berhasil. Selain afirmasi untuk diri sendiri, orang tua juga dapat melakukan afirmasi positif pada anak tentang masalah makan yang dihadapinya melalui beragam media seperti salah satunya adalah flashcard sayuran.