Apa yang dulu dipahami sebagai literasi? Singkatnya, literasi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat membaca dan menulis. Dalam kehidupan sehari-hari penerapan literasi sangat luas misalnya membaca buku atau artikel di internet yang memberikan informasi untuk meningkatkan pemahaman.
Mampu menulis dan kemudian membaca dengan lancar hanyalah awal dari proses pembelajaran literasi. Selain itu, literasi perlu dipahami lebih mendalam agar siswa memiliki keterampilan membaca yang utuh. Kemampuan membaca sangat mempengaruhi penalaran dan kompetensi. Sehingga siswa Indonesia mencintai literasi sejak dini.
Rendahnya angka melek huruf di Indonesia disebabkan  masyarakat  kurang menyadari manfaatnya. Selain itu, sebagian masyarakat masih belum memahami pentingnya literasi. Literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Juga belum menjadi budaya di negara kita. Padahal, pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan harus dimulai dari keduanya.
Banyak membaca tidak secara otomatis meningkatkan kemampuan literasi. Bahkan, terkadang mengurangi minat atau menghasilkan informasi yang tidak pantas. Kunci sukses dalam kegiatan membaca adalah membaca aktif. Membaca aktif dapat diartikan sebagai kemampuan mengantisipasi isi bacaan atau berempati dengan latar belakang penulis sebelum membaca, mempertanyakan argumen dan mengidentifikasi dengan karakter saat membaca, menyimpulkan dan menerapkan hal-hal yang bermakna setelah membaca. Jadi jangan bangga dengan  jumlah buku atau lamanya  membaca, belajar terjadi dalam interaksi dengan literasi.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) melaporkan bahwa skor PISA Indonesia berdasarkan survei tahun 2018 adalah yang terendah di dunia. Indonesia menempati urutan ke-72 dari 77 negara dalam skor literasi. Itu ada dalam hasil matematika di  72 dari 78 negara. Nilai sains menempati urutan ke-70 di antara 78 negara. Â
Di Indonesia rata-rata waktu membaca  hanya 30-59 menit per hari. Jadi kurang dari satu jam. Pada saat yang sama, seseorang membaca rata-rata hanya 5-9 buku setahun. Tentu saja, ini jauh di bawah standar UNESCO yang mewajibkan setiap orang membaca  4-6 jam  sehari. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa tingkat literasi di Indonesia masih  sangat rendah. Kemampuan membaca  masih tertinggal. Pada saat yang sama, orang di negara industri membaca rata-rata  6-8 jam  sehari. Sangat berbeda dengan Indonesia bukan? Dan uniknya, orang Indonesia bisa menghabiskan waktu 5,5 jam  sehari hanya untuk bermain gadget, bahkan lebih.
Orang Indonesia  lebih terbiasa mendengar dan berbicara daripada membaca. Lihat saja berapa banyak waktu yang dihabiskan rata-rata orang  untuk menonton TV per hari? Berapa banyak waktu yang Anda habiskan untuk mengobrol? Bandingkan jumlah waktu yang dihabiskan untuk membaca dan menulis.  Anda mungkin pernah mendengar istilah "buku adalah jendela dunia". Mungkin sedikit aneh bagi yang belum tahu. Intinya adalah ketika kita membaca, kita melihat ke luar rumah, itu adalah dunia dari sebuah ruangan  berjendela. Kita harus membuka jendela untuk melihat keluar. Baca saja biografi ilmuwan dan tokoh besar bangsa, mereka bisa seperti itu berangkat dari kecintaan membaca buku. Kalau tidak percaya, baca saja biografi seperti Ir. Soekarno, Moh. Hatta dan tokoh-tokoh besar lainnya. Selain itu, Ir. Soekarno  menulis beberapa buku yang mungkin belum pernah dibaca oleh siswa SMA.
Dari rendahnya budaya literasi tersebut, pasti memiliki penyebab yang sering kita abaikan. Apa penyebabnya?
1. Perkembangan teknologi semakin maju
Teknologi memainkan peran penting dalam fenomena  literasi rendah saat ini. Teknologi membuat manusia lupa  waktu dan aktivitas yang seharusnya dilakukan. Padahal, kehadiran teknologi tidak serta merta bertujuan untuk mengebiri budaya literasi yang ada dan melupakan waktu begitu saja.  Dengan bantuan teknologi, kita dapat lebih mudah mengakses berbagai keterampilan literasi. Waktunya juga sama, jam weker bisa dinyalakan untuk mengingat waktu kapan  harus berhenti dan bangun dari tidur. Pengaruh teknologi dan distraksinya membuat masyarakat malas membaca. Anda dapat membaca berita palsu di media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Instagram dan lainnya. Padahal, fake news bisa dilawan dengan budaya literasi. Semakin banyak teknologi canggih seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan kesadaran dan literasi.
2. Kurangnya motivasi