Setelah ditetapkan bahwa Ujian Nasional bukan penentu kelulusan siswa pada tahun ini, selain sebagai upaya agar UN dapat digunakan sebagai tolok ukur peningkatan mutu pendidikan menurut Mendikbud Anies Bawesdan perubahan tersebut juga sebagai perwujudan dari semangat kembali ke UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Tujuan perubahan UN adalah membentuk generasi pembelajar yang berintegritas dan sekolah menentukan kelulusan berdasarkan keseluruhan mata pelajaran termasuk karakter. Hal ini disampaikan oleh Mendikbud Anies Baswedan pada bulan Januari 2015 beberapa bulan sebelum UN dilaksanakan.
Beberapa saat setelah Ujian Nasional tingkat SMA/SMK/MA dilaksanakan secara serentak pada tanggal 13 April 2015 sampai dengan 15 April 2015 lalu, ditemukan oleh pihak Kemendikbud terjadinya kebocoran soal yang sempat di upload melalui Google Drive sebelum UN dilaksanakan. DI Yogyakarta dan Aceh terindikasi sebagai tempat terjadinya kebocoran soal. Paket yang diunggah di Google Drive adalah paket soal SMA IPA yang digunakan di 2 tempat, Aceh dan Yogyakarta. Menurut Mendikbud Anies Baswedan, kejadian tersebut telah mencederai jutaan para pelaku pendidikan yang telah berusaha keras untuk melaksanakan UN dengan penuh kejujuran. Seperti para siswa yang telah belajar dengan keras, serta para guru yang mengajar dengan keras untuk mensukseskan UN yang jujur.
Ujian Nasional dan kebocoran soal-soal UN dalam pelaksanaannya, mungkin bagi sebagian siswa bukanlah hal baru. Namun yang cukup melegakan barangkali ketentuan nilai UN tidak menentukan kelulusan siswa merupakan hal yang menggembirakan tidak saja bagi siswa tapi bagi orangtua siswapun turut merasa lega. UN yang dahulunya sebagai penentu kelulusan menyisakan banyak cerita yang kurang baik, dan tahun ini siswa dapat bernafas sejenak sebelum memikirkan hal lain setelah itu. Karena ternyata bukan hanya permasalahan UN saja yang cukup melelahkan para siswa untuk berfikir dan berjuang keras melaluinya, namun kelanjutan ke jenjang berikutnya yaitu perguruan tinggi yang diminati juga merupakan hal yang perlu dipertimbangkan semua pihak terkait pendidikan.
Jenjang perguruan tinggi negeri bagi sebagian siswa mungkin hanya merupakan angan-angan. Perguruan Tinggi Negeri / PTN sepertinya hanya terisi oleh siswa-siswa berprestasi dengan asal sekolah yang tentunya terkenal. Pengajuan seleksi melalui nilai-nilai raport untuk dapat mengisi di perguruan tinggi yang diminati, barangkali hanya sekedar mencari keberuntungan. Di satu sisi yang lain,
perguruan tinggi swasta belum banyak yang memiliki akreditasi yang diinginkan siswa dan program-program studi dengan biaya yang cukup tinggi. Perguruan Tinggi Negeri idaman sulit diraih sementara Perguruan Tinggi Swasta sulit dijangkau (beban biaya tinggi). Permasalahan lain yang harus dihadapi siswa setelah lulus tanpa beban nilai UN adalah berjuang keras mendapatkan tempat di perguruan tinggi yang diinginkan.
Peran Pemerintah khususnya Kemendikbud dalam mengatasi keinginan siswa untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi sangat dibutuhkan. Pemerintah harus mendorong perguruan tinggi swasta yang telah terakreditasi A dan B untuk dapat mengefisiensikan biaya pendidikan sehingga dapat terjangkau. Semakin banyak perguruan tinggi swasta yang dapat dijangkau biayanya, akan semakin terbuka kesempatan siswa-siswa berprestasi namun terkendala biaya dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi negeri. Pemerintah Pusat harus mendorong pemerintah daerah untuk mendirikan perguruan tinggi negeri di tingkat kabupaten, sehingga dapat memenuhi keinginan para siswa yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pada akhirnya negara kita akan memiliki sumberdaya manusia dengan pendidikan terakhir Strata 1 atau Sarjana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H