Mohon tunggu...
Rara Intan Mutiara Fajrin
Rara Intan Mutiara Fajrin Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Pasca Sarjana IAIN Surakarta Program Studi Manajemen Pendidikan Islam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah Gratis Itu Enak, tapi...

30 Maret 2016   06:20 Diperbarui: 30 Maret 2016   07:36 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di era yang serba modern ini, semua serba enak, apalagi dengan sekolah yang bebas pungutan alias GRATIS. Orang tua tidak terlalu merasa berat dengan biaya sekolah anaknya, bahkan menyekolahkan 2-3 anaknya tidak merasa berat, terlebih jika semua anaknya sekolah di sekolah yang berstatus negeri. Karena kebijakan pemerintah yang membebaskan biaya sekolah  yang tentunya bagi mereka yang bersekolah di lembaga pendidikan berstatus negeri.

Sekolah gratis di salah satu sisi memang menguntungkan bagi masyarakat yang tergolong dalam ekonomi menengah ke bawah, karena keringanan biaya sekolah tersebut. Adanya sekolah gratis tentu juga dapat mengurangi anak yang putus sekolah karena tidak memiliki biaya. Mereka hanya perlu membeli peralatan sekolah dan membeli buku pedoman untuk siswa. Dengan begitu mereka juga dapat menabung untuk masa depannya, misal untuk biaya di perguruan tinggi, atau jika mereka ingin mencoba untuk berwira usaha dari hasil tabungannya selama ini.

Adanya sekolah gratis ternyata juga membawa dampak lain selain di bidang perekonomian keluarga. Jika diamati seksama, sekolah gratis hanya sekedar meringankan biaya sekolah. Sedang untuk mutu dari pendidikannya sendiri perlu dipertanyakan, apakah siswa ini benar-benar belajar di sekolah gratis, ataukah pembelajaran yang diberikan masih terkendala dengan sarana dan prasarana yang seharusnya dapat menunjang pembelajaran itu sendiri.

Terkadang terbesit dalam hati maupun pikiran, bagaimana caranya agar pendidikan di negara ini benar-benar maju, dan dari ilmu yang didapatkan benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, meskipun sekolah yang diselenggarakan ini gratis. Namun, pada kenyataannya, pendidikan gratis ini hanya sedikit membawa perubahan, pengangguran juga belum dapat diatasi seluruhnya beberapa tahun ini.

Masih ada beberapa guru yang mengeluhkan tentang keadaan siswanya yang tergolong dibawah rata-rata, padahal guru tersebut sudah berusaha sekeras mungkin agar siswanya dapat memahami materi pelajaran dengan baik, dan hasil nilai yang diharapkan adalah di atas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).

Ada pula sekolah yang dalam pembelajarannya tidak pernah mengadakan praktikum, padahal ada ketentuan untuk mengharuskan siswa mengadakan praktikum agar siswa benar-benar dapat mengetahui secara langsung dari hasil pembelajaran. Jikalau ada praktikum biasanya karena tuntutan dalam ujian praktek untuk lulusan sekolah tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa siswa yang berada di sekolah tersebut hanya belajar secara teori tanpa praktik. Belajar dengan praktik sebenarnya perlu, guna membuktikan teori yang sudah dipelajari. Sehingga ketika mereka lulus dari sekolah hanya menggenggam beberapa teori yang ada dan itu pun kalau masih ingat dengan materi pelajaran selama menempuh ujian sekolah, mengingat kebanyakan siswa sekedar belajar ketika mendekati ujian atau ulangan saja.

Ada alasan mengapa sekolah jarang mengadakan praktikum, karena sekolahnya telah diberlakukan dengan sekolah gratis. Mengadakan sebuah praktikum dalam pembelajaran memerlukan biaya operasional, sehingga dengan adanya kebijakan sekolah gratis tersebut membuat guru enggan melakukan praktikum. Jikalau praktikum tersebut gratis, ada kemungkinan untuk melakukan praktikum pada mata pelajaran tertentu. Sebagai contoh, pelajaran Biologi, ada praktek tentang meneliti hewan vertebrata atau nonvertebrata, bahan untuk praktek mudah didapat, dengan menyuruh masing-masing siswa untuk membawanya ke sekolah maka tidak perlu menggunakan biaya untuk praktikum. Berbeda dengan pelajaran Kimia, yang banyak membutuhkan senyawa unsur kimia untuk uji coba di laboratorium, atau pelajaran Fisika, yang membutuhkan beberapa alat peraga, jika persediaan alat-alat terbatas, maka siswa hanya dapat menggunakannya secara bergantian. Dengan kejadian seperti itu maka hasil dari pembelajaran tidaklah maksimal.

Berbeda lagi dengan sekolah yang memang sejak awal telah siap dengan segala resiko yang mereka terima ketika pembelajaran sedang berlangsung. Maju dan tidaknya sebuah pendidikan juga tergantung pada guru maupun segala yang ada di sekolah tersebut. Sekolah gratis harusnya dapat membuat keadaan pendidikan menjadi lebih baik. Tetapi semuanya tidak hanya bergantung pada sekolah itu saja, pengaruh di dalam keluarga dan lingkungan juga mempengaruhi keadaan siswa. Semuanya saling berkaitan, tergantung bagaimana dari kita untuk menyikapi gejala yang ada.

Bergelut dengan sebuah institusi pendidikan memang harus siap segalanya, karena pendidikan menyangkut pada keberlangsungan hidup seorang siswa atau anak itu sendiri. Tidak benar jika sekolah gratis menurunkan kondisi wawasan siswa, tidak benar pula hanya karena sekolah gratis pembelajaran tidak dapat berjalan sesuai silabus atau RPP seorang guru. Apalagi di era yang sudah mengglobalisasi ini, segalanya dapat ditunjang dengan teknologi-teknologi canggih, semuanya tergantung pada kita agar dapat mengubah pendidikan di negara ini benar-benar memiliki kualitas yang baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun