Dariku yang berharap hujan turun sore itu
Yang ingin mencecap manisnya cinta laiknya kisah-kisah romansa pada muda-mudi yang baru mengenal cinta.
Namun, Aku tidak berharap rintiknya lebih ramai dari obrolan kita.
Diantara irama hujan aku ingin menyelipkan sanjungan termanis tentang dirimu,
Tetapi hujan tetaplah hujan, aku tak berhak mengaturnya sesuka hati.
Kiranya hujan tak segera berkemas dari tubuhmu
Wajah tanpa riasan itu lebih segar dibanding kembang merekah memamerkan kelopaknya.
Ada banyak cerita tentang hujan
Banyak yang menjadi penyanjung, tetapi tak jarang pula membencinya.
Hujan di sore itu membuatku berada di antara keduanya.
Hujan menguar petrikor, menyembuhkan tanah dari panas yang memanggang.
Namun, hujan mengekang aroma khas tubuhmu dengan bulir-bulir yang berselancar pada lekuk tubuhmu.
Sungguh, bagiku itu adalah momen paling menjengkelkan, seperti bersin yang tidak jadi atau seperti keinginan melepaskan tinju kepada orang yang membuatmu kesal sepenuh hati.
Andai saja saat itu aku mendapat ijinmu,
Untuk aku mengalirkan panas tubuh melalui dekapanku, mungkin bibirmu tidak perlu bergetar disertai gemeratak gigimu hanya untuk memperjelas penolakan mu,
tetapi kamu tetaplah kamu, aku tak berhak mengaturmu sesuka hati.
Untukmu yang lenyap saat hujan sudah berkemas sore itu, Aku masih terdiam sambil sesekali rintik hujan terdengar mengolok-olokku.
Yang tidak mereka ketahui, satu kata dalam hatiku juga tak kalah ramai memanggil namamu.
Jumat, 3 Mei 2022
11.00 Wib
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI