Jujur, ketika kang Maman menyatakan bahwa apa yang ditemukannya pada tahun 2012-13 tidak ubahnya dengan apa yang ia saksikan pada tahun 1987-89, saya tidak punya argumen yang cukup untuk membantah pernyataan tersebut. Dalam kemajuan teknologi saat ini semuanya seakan-akan melepas sekat-sekat moralitas yang ada. Banyak orang-orang, tua atau muda menunjukkan eksistensi dengan mengesampingkan norma-norma yang ada.
Sebagaimana Kang Maman yang mendapatkan pengajaran tentang hidup dan kehidupan dari Re:, secara tidak langsung, novel ini juga sarat akan pengetahuan dan pengajaran. Rere adalah satu dari sekian perempuan yang hidup dalam kepahitan tetapi justru meninggalkan kenangan yang manis bagi penulis dan pembaca. Di dalam kubangan yang hitam pekat, kotor dan bau, ia mengarahkan kita pada cinta yang tulus dan suci. Sosok Re benar-benar kebalikan dari orang-orang yang hidup atas nama agama dan moralitas tetapi hidup sembarangan.
Menurutku ini novel yang apik, di dalamnya terdapat banyak informasi yang bermanfaat dan berbobot karena memang novel ini lahir dari pengalaman dalam proses penyusunan skripsi dan ilmu jurnalistik. Terdapat teori-teori dan hasil lapangan yang ditemukan sehingga isi dalam novel ini terasa sangat kuat.
Tetapi tenang aja, karena bahasa yang digunakan masih mudah dipahami, istilah-istilah yang digunakan juga dijelaskan. Alurnya menggunakan alur maju sehingga mempermudah kita untuk memahami cerita tanpa sibuk bolak-balik halaman hanya untuk menghubungkan potongan-potongan yang tersembunyi.
Intinya aku suka dengan novel ini, miris, ngilu, sedih, tetapi juga meneduhkan.
Setelah menuntaskan novel ini, pertanyaan yang masih terngiang,
Siapa pembunuh Rere sebenarnya? Apa penyebabnya? Benarkah Melur terlibat dalam kecelakaan yang menyebabkan meninggalnya putra dari Mami Lani?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H